Selaras dengan itu, dalam pandangan konstruktivisme, hasil belajar merupakan perpaduan antara pengetahuan awal dengan pengetahuan baru yang peserta didik pelajari. Dalam pandangan teori ini, belajar merupakan proses dimana individu membangun atau mengkonstruksi pengetahuan baru dan pengetahuan lama dengan cara menginterpretasi lingkungan sosial-budaya, fisik, dan intelektual di sekitarnya (Hasanuddin, 2020).
Selain itu, langkah ini juga bertujuan untuk membiasakan mereka membaca. Sebagai akademisi, kemauan dan keterampilan membaca merupakan alat penting yang harus  dimiliki. Kemauan dan keterampilan membaca inilah yang dapat digunakan oleh mahasiswa untuk membangun dan mengembangan nalar kritis mereka.  Jika yang berpendidikan tinggi saja tidak memiliki budaya membaca, bagaimana nanti mereka mampu memberikan kontribusi bagi masa depan bangsa ini?
Keterampilan membaca menjadi modal utama bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan menulis. Membaca dan menulis merupakan dua keterampilan yang tidak boleh diabaikan oleh mahasiswa. Sejak masuk kampus, sampai nanti mereka lulus, setiap hari akan selalu berurusan dengan dua keterampilan ini. Bagus tidaknya kualitas tulisan, sering ditentukan oleh keterampilan membaca seseorang. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik.
Argumen lainnya mengapa saya menerapkan sistem perkuliahan yang ketat adalah supaya teman-teman mahasiswa tidak terlena dan termanjakan dengan kelonggaran yang diberikan oleh dosen lainnya. Seringkali kelonggaran ini justru disalahgunakan. Misalnya, toleransi keterlambatan dijadikan sebagai alasan utama datang telat. Melalui sistem kuliah yang ketat ini juga, saya ingin melihat siapa saja mahasiswa yang memang benar-benar niat untuk belajar. Bukan sekadar kuliah D3 (Datang, Duduk, Diam).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H