Mohon tunggu...
Sigit Priatmoko
Sigit Priatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Pegiat Literasi

Selain sebagai dosen, saya juga sehari-hari sebagai Editor in Chief Madrasah: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar. Saya juga aktif dalam komunitas literasi bernama Kita Belajar Menulis (KBM) yang basisnya di Kabupaten Bojonegoro.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Melacak Akar Genealogis Antagonisme Muhammadiyah terhadap Budaya Jawa

26 April 2022   15:00 Diperbarui: 26 April 2022   15:15 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ayah Buya Hamka tersebutlah yang membawa Muhammadiyah ke tanah Minang. Namun, setelah itu terjadi pergeseran orientasi gerakan. Di bawah kepemimpinan Haji Rasul, Muhammadiyah menjelma menjadi gerakan yang puritan dengan fokus utama memurnikan ajaran-ajaran Islam dari takhayul, bid’ah, dan khurafat. Pembentukan Majelis Tarjih pada tahun 1927 turut mendukung sikap ini dan membuat paradigma syaria oriented makin tumbuh subur di kalangan kader Muhammadiyah.

Selain itu, ada faktor dari luar yang turut mendukung pergeseran sikap Muhammadiyah. Pertama, pendirian Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kedua, kemenangan Wahabi menguasai Mekah dan Madinah pada 1924. Ketiga, bangkitnya nasionalisme Indonesia yang ditandai oleh Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Sebagaimana diketahui, hubungan antara Muhammadiyah dan NU diwarnai dengan dinamika kontestasi dan koeksistensi. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam progresif yang mengusung modernisasi (dan belakangan purifikasi) kerap diperhadapkan dengan NU yang sejak berdiri mempunyai komitmen menjaga budaya dan tradisi masyarakat Jawa. Dikotomi keduanya pun tak terhindarkan. Muhammadiyah berdiri di kubu modernis dan NU berdiri di kubu seberangnya sebagai kaum tradisionalis.

Kemenangan Wahabi di Arab Saudi juga menjadi faktor penting bagi Muhammadiyah. Adanya kesamaan napas gerakan, menjadikan Wahabi sebagai inpirasi bagi Muhammadiyah. Terlebih lagi kebijakan pemerintah kolonial waktu itu tidak hanya memisahkan, tapi juga mepertentangkan antara adat dan Islam. 

Muhammadiyah menganggap pemerintah kolonial menggunakan adat untuk memerangi Islam. Karena itulah, pada Muktamar ke-22 tahun 1933, Muhammadiyah menyatakan perang melawan adat (hal 146).

Sebagai hasil riset, isi buku ini kaya akan data. Terutama data akar historis sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Penggalian secara serius permasalahan ini jarang dilakukan oleh akademisi. Umumnya, penulisan sejarah Muhammadiyah berpusat pada tokoh-tokohnya dan kiprah sosial, kegamaan, dan politik organisasi ini. 

Selain itu, informasi mengenai kapan dimulainya pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa dari akomodatif ke penolakan juga menjadi nilai positif dari buku ini.

Meski demikian, terdapat semacam kekaburan dalam buku ini. Kekaburan yang dimaksud tersebut tampak dan terasa dalam hal membedakan antara Muhammadiyah dan individu-individu yang berada di dalamnya. Misalnya, dalam penjelasan mengenai eratnya hubungan antara Muhammadiyah dengan Budaya Jawa. Untuk menguatkan klaim ini, di antara buktinya menurut Najib adalah nama yang digunakan para pendiri Muhammadiyah mayoritas menggunakan nama-nama yang berasal dari Jawa. 

Selain itu, status Ahmad Dahlan sebagai abdi dalem sampai ia meninggal juga dianggap sebagai representasi eratnya hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa. Dua argumen ini seolah menunjukkan penyatuan antara Muhammadiyah sebagai organisasi dan Ahmad Dahlan sebagai pendirinya. 

Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan, apa yang ada pada diri Dahlan itulah Muhammadiyah. Hal ini membuat pembaca sulit membedakan dengan jelas bagaimana sikap Muhammadiyah sebagai organisasi berhadapan dengan budaya Jawa.

Membaca buku ini penting tidak hanya bagi kader Muhammadiyah, tapi juga masyarakat secara umum. Informasi mengenai akar genealogis dari sikap antagonisme Muhammadiyah terhadap budaya Jawa ini bermanfaat sebagai refrensi penting jika ke depan persyarikatan ini hendak tetap istikamah dengan semangat awal berdirinya, yaitu toleran, terbuka, dan fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun