Mohon tunggu...
Sigit Nugroho
Sigit Nugroho Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah

Berlatar belakang bahasa Inggris, berminat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Resolusi 2017: Keinsyafan Mendukung Ahok

7 Januari 2017   12:54 Diperbarui: 7 Januari 2017   17:33 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semenjak 2014 hingga 2016 saya pernah benar-benar bulat mendukung Ahok sebagai gubernur DKI beserta rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saya bahkan sempat menulis artikel mengenai terpilihnya Shadiq Khan yang terpilih sebagai walikota London, Inggris sekaligus sebagai walikota beragama Islam pertama di Inggris.

Dalam artikel tersebut saya memaparkan asal mula terpilihnya Shadiq Khan sebagai walikota London yang beragama Islam, di mana saya menjelaskan bahwa berkat demokrasi, kaum minoritas di sana berhak rise to power alias pegang kendali kekuasaan, atau lebih tepatnya menjadi pejabat publik. Dalam artikel - yang sudah saya hapus – tersebut, saya juga memberi sinyal bahwa masyarakat yang dewasa adalah mereka yang bisa memilih calon pemimpin tanda memandang SARA, dan oleh sebab itulah Shadiq Khan yang notabene kaum minoritas di Eropa, dapat melenggang ke pemerintahan.

Melalui artikel tersebut saya menyitir apa yang saya dapat dari acara Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV, bahwa terpilihnya Shadiq Khan yang notabene kaum minoritas merupakan kemenangan demokrasi, yang menjamin hak-hak kaum minoritas. Dalam artikel itu, secara subliminal (pesan yang tak nampak eksplisit namun jelas maksudnya), saya pun menggiring opini publik untuk mendukung Ahok yang berasal dari kaum minoritas supaya tetap bertahan sebagai gubernur DKI hingga periode mendatang.

Lewat tulisan ini, saya MERALAT TOTAL segala pernyataan saya tersebut, dan mencabut dukungan saya kepada yang bersangkutan. Saya harus mengakui, hari ini banyak masyarakat yang terkecoh dengan pemberitaan media mainstream, termasuk saya sendiri. Saya banyak termakan oleh berita-berita di televisi, yang belakangan baru saya ketahui bahwa tidak ada satu pun media mainstream yang benar-benar 100% netral dan tidak memihak. Semua media mainstream pada akhirnya selalu meyuguhkan pemberitaan-pemberitaan yang tak berimbang, dan memihak satu pihak dan memojokkan pihak lainnya. Dan, saya jelaskan secara vulgar dan terang-terangan di sini bahwa korban media yang selalu diperlakkan semena-mena selalu umat ISLAM. Tujuan media mainstream jelasnya adalah memburukkan citra Islam, kehidupan Islami, menyulut perpecahan antarmanusia yang menjadikan kaum muslimin sebagai tumbal. Jerry D. Gray, seorang mantan tentara Amerika yang sekaligus jurnalis dan seorang mualaf, membongkar hal ini dalam bukunya Art of Deception.

Setelah belajar sana-sini, saya menyadari bahwa saya telah keliru pernah mendukung Ahok untuk melanjutkan kiprahnya di DKI. Oleh karenanya, saya memohon maaf kepada semua kepala dan seluruh pasang mata yang telah membaca tulisan saya di Kompasiana berjudul “Kemenangan Shadiq Khan, Kemenangan Islam atau Kemenangan Demokrasi?” lebih lanjut saya memohon ampun pada Allah, semoga Allah mengampuni saya atas ribuan klik ‘share’ yang membuat artikel tersebut tersebar dan mengarus deras begitu cepatnya. Betapa pun, artikel tersebut bermuatan paham liberal yang tidak seharusnya ada di benak orang Islam, siapa pun, saya, Anda, dan siapa pun yang mengaku beragama Islam dan berKTP Islam. Sangat tidak Islami dan memalukan, serta tidak layak. Sadiq Khan sendiri bisa terpilih karena ia berpaham liberal yang melegalkan LGBT. Di Eropa sana, liberalisme berkembang pesat, menembus dinding-dinding syariat. Maka tak heran bila Sadiq dapat terpilih jika mengingat pernyataannya, ia menjadi walikota yang tidak mewakili komunitas muslim, melainkan mewakili warga London (mayoritas).

***

KARENA AL MAIDAH 51

Peristiwa Al Maidah 51 telah membelah Muslim di Indonesia menjadi dua kubu. Peristiwa itu benar-benar membedakan siapa yang benar-benar berada di jalan lurus, mana yang selama ini hanya pura-pura lurus; mana yang membela Al Quran, mana yang enggan membela martabat agamanya dengan dalih ‘Tuhan tidak butuh dibela’. Mukjizat Al Maidah 51 benar-benar terjadi di Indonesia, dan ini menjadi pertanda bahwa Al Quran 100% BENAR dan NYATA. Peristiwa di Kepulauan Seribu menjadi awal kebangkitan Islam di Indonesia. Seakan-akan Allah sedang memperingatkan kita bahwa kita sudah melanggar larangan dalam ayat tersebut dan menggunakan logika kita sendiri dan inilah akibat yang harus kita tanggung: penistaan agama. Kasus ini jelas telah merebut perhatian seluruh masyarakat Indonesia, termasuk saudara sesama manusia kita yang beragama Kristen. Mereka, yang mau menggunakan nurani, seperti seorang Jaya Suprana, bisa merasakan dan memahami perasaan kita sebagai kaum muslimin, dan menyatakan simpatinya.

Sayangnya, rakyat kita masih terkecoh oleh hal-hal yang kurang substansial. Kita masih disibukkan untuk berpolemik dan saling lempar argumen mengenai penggunaan kata ‘pakai’ dan tanpa kata ‘pakai’ dalam pernyataan Ahok tersebut. Masyarakat kita juga diayun pemikirannya ke kanan kiri haya untuk menjustifikasi apakah aksi damai umat Islam 411 dan 212 berbau politis, bermuatan makar, atau tidak. Masyarakat kita jadi termakan oleh fitnah subhat-subhat (keraguan) yang ternyata tidak terbukti. Siapa yang berperan besar dalam penggiringan opini seperti ini? Betul, Media mainstream.

Padahal, kalau kita mau berpikir mendalam, apa esensi dan intisari dari kasus ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, kita tidak perlu repot-repot membahas kata ‘pakai’ atau tanpa kata ‘pakai’. Intinya adalah pernyataan tersebut jelas telah menciderai hati umat Islam di Indonesia, dan siapa pun yang berafiliasi Islam dan berpedoman kitab Al Quran. Masalahnya, sang gubernur telah memilih kata berkonotasi negatif dan menyandingkannya dengan sesuatu yang sakral, yaitu surah dalam Al Quran. Kata berkonotasi negatif itu adalah ‘dibohongin’ dan disandingkan dengan sesuatu yang sakral yaitu Al Maidah 51.

***

LOGIKA ILMU TAFSIR ALA NUSRON WAHID


Orang seperti Nusron Wahid membela Ahok dan membodohi mereka yang tidak bisa berdebat, dengan ilmu andalannya,  ilmu hermeneutik (tafsir). Saya pribadi tidak menguasai ilmu ini, tapi saya tahu bahwa Nusron sedang menggunakan ilmunya secara kurang proporsional.

Dalam acara ILC episode “Setelah Ahok minta maaf”, Nusron terang-terangan membela Ahok dengan menyatakan bahwa teks itu bebas tafsir. Yang paling tahu tentang teks adalah pembuat teks. Yang paling tahu tentang pernyataan Ahok, ya Ahok sendiri. Sekilas kalimat ini benar. Ya, memang logika tersebut benar. Tapi logika itu digunakan tidak pada tempatnya.

Dalam debat timses capres 2014 di Mata Najwa, Nusron mengajukan ilmu itu untuk berdebat dengan Fahri Hamzah yang menyebut ‘Sinting’ dalam kicauan twitternya mengenai rencana Jokowi menjadikan hari santri. Fahri mentwit, “Jokowi janji 1 Muharram hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dianjikan ke semua orang. Sinting!”. Nusron menyatakan bahwa teks itu sifatnya BEBAS TAFSIR, dan yang paling tahu tentang tafsir dari teks tersebut adalah Fahri. Meski demikian, publik yang membaca pun BEBAS menginterpretasi kata-kata Fahri. Karena bebas untuk menafsirkan teks yang sudah menjadi konsumsi publik, maka orang tidak bisa disalahkan ketika mereka mikir macem-macem tentang Fahri. Dalam debat tersebut, argumen Nusron lengkap, benar, dan tepat sasaran, serta pas pada tempatnya.


Namun, kembali lagi, saat menghadapi kasus penistaan agama oleh Ahok, argumen Nusron berat sebelah. Ia hanya menekankan bahwa yang paling tahu makna teks adalah si pembuat teks. Yang paling tahu maksud dari ucapan Ahok di Kepulauan Seribu adalah Ahok sendiri. Bahkan ia membumbuinya dengan pernyataan bahwa yang paling tahu tafsir Al Quran hanya Allah dan RasulNya, bukan MUI dan lain-lain; dan menyitir ayat, “Al Haqqu Min Robbika Fala Takunanna Minal Mumtarin” (Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang bingung, Al Baqarah) sehingga membuat masyarakat terperangah dan memaksa kita yang awam mengangguk-angguk.

Nusron seolah lupa bahwa teorinya kurang lengkap. Seandainya lengkap, maka akan berbunyi: “Yang paling tahu makna asli dari teks adalah si pembuat teks. Yang  paling tahu maksud ucapan Ahok di Kepulauan Seribu ya Ahok sendiri. NAMUN, KEMBALI LAGI, YANG NAMANYA TEKS ITU BEBAS TAFSIR. KARENA BEBAS TAFSIR, MAKA PUBLIK, MASYARAKAT, MUI, BUNI YANI, UMAT ISLAM, DAN SIAPA PUN YANG MENDENGARKAN PIDATO AHOK DI KEPULAUAN SERIBU TIDAK BISA DISALAHKAN BILA MEREKA BERPIKIR MACEM-MACEM (NEGATIF, TERSINGGUNG) TENTANG SIKAP DAN PERKATAAN AHOK.”

Maka, umat Islam berhak untuk berang. Orang-orang beriman pasti murka, dan kaum bertauhid wajib melawan penista agama, siapa pun dari dari golongan mana pun dia berasal. Lewat penjelasan ini, semoga Anda para pembaca tahu dengan jelas ke mana si Nusron sebenarnya berpihak. Dan kita tidak perlu risau karena tidak bisa berdebat dengan teori-teori canggih tentang ilmu tafsir yang ia kemukakan. Kebenaran sudah jelas, dan yang kebatilan pun sudah terbongkar. Peristiwa ini jelas peristiwa yang amat besar, yang telah membelah (membedakan) masyarakat kita: mana yang benar-benar mengikuti dan membela Al Quran, dan mana yang berpura-pura Islam, menukil dalil sana-sini untuk membela penista Al Quran.

***

KEBENARAN ADALAH KEBENARAN

Betapa pun kita mau berdebat dengan argumen-argumen canggih untuk melumpuhkan kebenaran, kita tidak akan sanggup melawan kebenaran sejati yang datang dari Allah. Dan, rangkaian peristiwa mulai dari pidato di Kepulauan Seribu, tiga aksi damai yang dimulai dari Oktober, aksi damai 411, hingga aksi superdamai 212, telah memperlihatkan kepada kita sebuah gambaran yang teramat jelas tentang kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan yang ditunjukkan oleh umat Islam saudara-saudara kita yang telah menunjukkan kekuatan ukhuwah dan spirit ilahiah yang tak terbendung dalam kumpulan massa yang damai, tertib serta padu. Perhatikanlah angka 411,seakan angka 4 adalah ه (Ha’), dan 11 yang menempel ke ه adalah لل (dua huruf lam yang bergandeng – lam jalalah, yang digunakan untuk menuliskan lafadz Allah), sehingga 411 terlihat seperti لله. Kebetulan? Entahlah, Wallahu A’lam. Dan bagi yang jeli dan cukup sensitif memandang fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini, kini kita disuguhkan pemandangan-pemandangan dan pembuktian-pembuktian kebenaran ayat-ayat Al Quran, dan surah Al Maidah kini berlanjut ke ayat ayat berikutnya, yang menuntut kita umat muslim untuk mengikutinya, atau meninggalkannya dengan risiko yang silakan tanggung sendiri.

Para alumni gerakan aksi damai kini terus memfollow-up kegiatannya dengan kegiatan-kegiatan nyata berikutnya yang menunjukkan keseriusan umat muslim membangun peradaban yang madani, salah satunya dengan mendirikan koperasi syariah dan minimarket muslim. Waqul Jaa’al Haqqo Wazahaqol Bathil. Innal Bathila Kaana Zahuqo. Dan katakanlah, kebenaran telah datang, dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun