LOGIKA ILMU TAFSIR ALA NUSRON WAHID
Orang seperti Nusron Wahid membela Ahok dan membodohi mereka yang tidak bisa berdebat, dengan ilmu andalannya, ilmu hermeneutik (tafsir). Saya pribadi tidak menguasai ilmu ini, tapi saya tahu bahwa Nusron sedang menggunakan ilmunya secara kurang proporsional.
Dalam acara ILC episode “Setelah Ahok minta maaf”, Nusron terang-terangan membela Ahok dengan menyatakan bahwa teks itu bebas tafsir. Yang paling tahu tentang teks adalah pembuat teks. Yang paling tahu tentang pernyataan Ahok, ya Ahok sendiri. Sekilas kalimat ini benar. Ya, memang logika tersebut benar. Tapi logika itu digunakan tidak pada tempatnya.
Dalam debat timses capres 2014 di Mata Najwa, Nusron mengajukan ilmu itu untuk berdebat dengan Fahri Hamzah yang menyebut ‘Sinting’ dalam kicauan twitternya mengenai rencana Jokowi menjadikan hari santri. Fahri mentwit, “Jokowi janji 1 Muharram hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dianjikan ke semua orang. Sinting!”. Nusron menyatakan bahwa teks itu sifatnya BEBAS TAFSIR, dan yang paling tahu tentang tafsir dari teks tersebut adalah Fahri. Meski demikian, publik yang membaca pun BEBAS menginterpretasi kata-kata Fahri. Karena bebas untuk menafsirkan teks yang sudah menjadi konsumsi publik, maka orang tidak bisa disalahkan ketika mereka mikir macem-macem tentang Fahri. Dalam debat tersebut, argumen Nusron lengkap, benar, dan tepat sasaran, serta pas pada tempatnya.
Namun, kembali lagi, saat menghadapi kasus penistaan agama oleh Ahok, argumen Nusron berat sebelah. Ia hanya menekankan bahwa yang paling tahu makna teks adalah si pembuat teks. Yang paling tahu maksud dari ucapan Ahok di Kepulauan Seribu adalah Ahok sendiri. Bahkan ia membumbuinya dengan pernyataan bahwa yang paling tahu tafsir Al Quran hanya Allah dan RasulNya, bukan MUI dan lain-lain; dan menyitir ayat, “Al Haqqu Min Robbika Fala Takunanna Minal Mumtarin” (Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang bingung, Al Baqarah) sehingga membuat masyarakat terperangah dan memaksa kita yang awam mengangguk-angguk.
Nusron seolah lupa bahwa teorinya kurang lengkap. Seandainya lengkap, maka akan berbunyi: “Yang paling tahu makna asli dari teks adalah si pembuat teks. Yang paling tahu maksud ucapan Ahok di Kepulauan Seribu ya Ahok sendiri. NAMUN, KEMBALI LAGI, YANG NAMANYA TEKS ITU BEBAS TAFSIR. KARENA BEBAS TAFSIR, MAKA PUBLIK, MASYARAKAT, MUI, BUNI YANI, UMAT ISLAM, DAN SIAPA PUN YANG MENDENGARKAN PIDATO AHOK DI KEPULAUAN SERIBU TIDAK BISA DISALAHKAN BILA MEREKA BERPIKIR MACEM-MACEM (NEGATIF, TERSINGGUNG) TENTANG SIKAP DAN PERKATAAN AHOK.”
Maka, umat Islam berhak untuk berang. Orang-orang beriman pasti murka, dan kaum bertauhid wajib melawan penista agama, siapa pun dari dari golongan mana pun dia berasal. Lewat penjelasan ini, semoga Anda para pembaca tahu dengan jelas ke mana si Nusron sebenarnya berpihak. Dan kita tidak perlu risau karena tidak bisa berdebat dengan teori-teori canggih tentang ilmu tafsir yang ia kemukakan. Kebenaran sudah jelas, dan yang kebatilan pun sudah terbongkar. Peristiwa ini jelas peristiwa yang amat besar, yang telah membelah (membedakan) masyarakat kita: mana yang benar-benar mengikuti dan membela Al Quran, dan mana yang berpura-pura Islam, menukil dalil sana-sini untuk membela penista Al Quran.
***
KEBENARAN ADALAH KEBENARAN