Diskrepansi Antara Realitas dan Cita-Cita
Dicetuskannya Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) sejak Tahun 2022 menjadi penanda dimasukinya periode "pemulihan" yang dimaksudkan sebagai momentum untuk merefleksikan, menyadari dan menemukan "pengobatan" terhadap krisis pendidikan dan pembelajaran di Indonesia yang telah berlangsung lama dan belum juga menunjukkan perbaikan signifikan dari tahun ke tahun.
 Secara rutin Indonesia mengikuti Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah tes yang dirancang oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD) untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains peserta didik setelah level pendidikan dasar.
Hasil tes PISA tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan membaca memperoleh skor 371, kemampuan matematika memperoleh skor 379, dan kemampuan sains memperoleh skor 396 dari rerata OECD pada skor 500. Dari data capaian nilai tes tersebut menempatkan Indonesia berada di peringkat ke 74 dari 79 negara yang mengikuti tes.Â
Capaian senada pada tes PISA 2022 dengan hasil 359 pada membaca, 366 pada matematika, dan 383 pada sains. Berdasarkan data tersebut, Kemendikbudristek bahkan menyimpulkan jika 70% peserta didik usia 15 tahun (level pendidikan dasar) berada di bawah kompetensi minimum membaca dan matematika (Kemendikbudristek, 2022).
Kondisi capaian kompetensi tersebut diperparah dengan situasi pendidikan yang terdampak pandemi. Pembelajaran ideal melalui tatap muka di sekolah yang tergantikan dengan pembelajaran jarak jauh berakibat pada "hilangnya pembelajaran" (learning loss) potret kemajuan belajar peserta didik. Pada periode pandemi, kemajuan belajar mengalami pengurangan secara signifikan; learning loss pada literasi setara dengan 6 bulan belajar, sedangkan pada numerasi setara dengan 5 bulan belajar (Kemendikbudristek, Januari 2020 dan April 2021).
Pemerintah melalui Kemendikbudristek kemudian menetapkan penggunaan model Penyederhanaan Kurikulum (Kurikulum Kondisi Khusus) yang dalam implementasinya sepanjang 2020-2021 memberikan dampak signifikan pengurangan learning loss setara 1 bulan dibanding dengan sekolah-sekolah yang tidak menggunakan kurikulum tersebut (learning loss setara dengan 5 bulan).Â
Karakteristik Kurikulum Khusus yang memberikan kebebasan sekolah untuk memilih materi esensial, merancang pembelajaran sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan, membangun budaya belajar kolaboratif model proyek, serta memberikan penilaian model alternatif ternyata memberikan dampak positif bagi kembalinya komunitas pembelajaran kondusif yang menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar aktif.
Pertanyaan reflektifnya, jika kita masih saja berkutat dengan krisis dan persoalan pendidikan sejak masa lalu hingga kini, kapan kita memiliki waktu, tenaga, dan kesempatan untuk membangun orientasi dan mimpi pendidikan berkualitas di masa depan? Bukan menisbikan peran penting kebangkitan dari keterpurukan praksis dan output pendidikan yang selama ini terjadi, namun sekaligus memberikan ruang yang cukup untuk secara pararel melihat kebutuhan kompetensi yang muncul sebagai konsekuensi perubahan dan perkembangan jaman yang semakin disruptif ini. Ketika jaman berubah, orang-orang yang hidup di dalamnya juga pasti mengalami perubahan, pun demikian kebutuhan dan tuntutan kompetensi mengalami penyesuaian.
IKM yang memberikan perhatian pada kompetensi literasi dan numerasi, menjadi pintu masuk bagi kesadaran pentingnya penguasaan kompetensi Abad 21. Pendidikan pada era ini dituntut untuk mampu membentuk generasi muda yang teliti, kritis, adaptif, sekaligus etis; mampu mengenali masalah, menganalisis masalah, memberikan solusi, dan membuat keputusan secara tepat. Output yang diharapkan tampak dalam diri peserta didik adalah mampu menghasilkan gagasan baru sesuai dengan data, fakta, dan konteksnya, pun juga mampu berkomunikasi, berkolaborasi, dan bekerjasama dengan baik. Semua keterampilan itu mesti diperkuat dan diperkokoh dengan unsur iman, takwa, dan karakter yang unggul. Demikianlah pendidikan tidak hanya sekedar tentang intelektual, tetapi sekaligus juga sosial, emosional, dan juga spiritual, yang teridentifikasi dalam profil peserta didik yang kritis dalam intelektual, kreatif dalam pemikiran, etis dalam pergaulan, dan berkarakter dalam kehidupan.
Pendidikan Multiliterasi: Sebuah Kebutuhan