Kenapa saya mengambil judul seperti itu, dalam Debat I Capres-Cawapres terlihat Prabowo melakukan penyederhanaan masalah untuk beberapa masalah. Saya tak menyaksikan secara utuh acara Debat ini dari awal, namun segmen bertema Korupsi, Prabowo memberikan solusi memberantas korupsi dengan memberikan gaji tinggi kepada semua ASN dan Pejabat Negara, Kepala Daerah.
Saya cukup terkejut dengan jawaban itu, namun apakah gaji tinggi bakal menutup peluang korupsi?
Saya pikir tidak, Korupsi berakar dari keserakahan manusia, semakin tinggi penghasilan seseorang bakal diikuti juga dengan naiknya kebutuhan. Baik secara kualitas dam kuantitas, misalnya saat masih bergaji 5 juta sebulan alat transportasi sehari-hari cukup dengan bus umum atau Ojol.
Lalu ketika gaji meningkat tergoda untuk beli mobil meski hanya mobil bekas, sudah pasti ada kenaikan pengeluaran. Pada satu titik ternyata penghasilan rutin tidak cukup untuk biaya operasional mobil, disinilah mulai terpikirkan untuk mencari tambahan penghasilan.
Ada orang secara positif menyikapi dengan bekerja secara halal atau bisnis di luar kantor, namun tak sedikit yang mengambil keuntungan dari dalam kantor. Nah, pada fase ini korupsi mulia dilakukan.
Bisa jadi Prabowo tak pernah merasakan itu, meski pernah menjadi tentara dengan gaji tak lebih tinggi dari ASN namun kekayaaan keluarga dan mertuanya membuat dirinya berbeda dari prajurit-prajurit lain. Apalagi Prabowo menantu orang pertama di Republik ini, otomatis perlakuan istimewa didapatkan tanpa susah payah, seperti jabatan bintang satu lebih cepat dari rata-rata seangkatannya di Akmil.
Kita tahu tidak semua lulusan Akmil bisa menyandang bintang emas di pundak, banyak yang sampai pangkat Kolonel sudah pensiun.
Dengan rekam jejak ini, saya yakin Prabowo tak memahami dari dalam kenapa orang bisa korupsi, faktor gaji tidak bisa menjadi variabel tunggal seseorang tidak korupsi. Faktanya banyak ASN dengan gaji rata-rata tidak melakukan korupsi.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin seorang seperti Prabowo bisa membuat kebijakan efektif terhadap korupsi bila tak memahami akar persoalannya.
Jokowi dengan pengalaman di pemerintahan mulai dari Walikota, Gubernur sampai Presiden lebih memahami cara mengendalikan nafsu korupsi ASN, Presiden RI ke-7 ini mengedapankan sistim pengawasan lebih dan sistim renumerasi untuk memacu produktifitas SDM pemeritah.
Siapa pun pakar Human Resources pasti setuju dengan pendekatan ini, lebih masuk akal dibandingkan hanya memberikan gaji tinggi. Kita tak pernah tahu berapa tingkat kecukupan kita, masing-masing orang berbeda.
Dari dua tema HAM dan Terorisme, pernyataan Prabowo juga senada, terorisme di Indonesia bisa diatas apabila pemerintah melakukan investasi besar-besaran untuk mendeteksi ancaman teror dari luar.
Apa arti pernyataan tersebut? Pemerintah membeli alat-alat canggih saja atau dibarengi dengan wewenang tanpa batas seperti Kopkamtib di era Orde Baru.
Dalam bayangan saya, Prabowo berniat kembali mengembalikan lembaga Kopkamtib seperti jaman sang mertua mengingat Prabowo ingin investasi besar untuk mencegah terorisme. Apakah artinya punya tehnologi canggih untuk memantau ancaman teror bila tak memilik wewenang hukum?
Saya lebih tertarik dengan jawaban Kyai Ma'ruf Amin, kyai NU ini dengan tenang menjawab bahwa untuk mengatasi terorisme perlu dilakukan pendekatan-pendekatan persuasif dan manusiawi terhadap kelompok-kelompok teroris itu. Deradikalisasi dengan pendekatan non-militer menjadi perhatian Kyai Amin, berlawanan dengan cara Prabowo dengan pendekatan militer.
Saya yakin bila Prabowo mendapatkan kesempatan menjadi Presiden, hutang RI bakal melejit berlipat-lipat, namun tak jelas peruntukan. Bisa jadi hanya untuk menaikan gaji dan memberikan fasilitas lebih ASN tanpa melakukan pengawasan kinerja mereka.
Boleh jadi ASN bakal disiplin, toh menurut mereka disiplin saja gampang kalau gaji sudah tinggi, namun untuk produkitif belum tentu. Buat apa capek-capek, kalau tidak produktif digaji tinggi.Â
Kedua soal terorisme, Prabowo membanggakan dirinya adalah pendiri satuan Penanggulangan Teroris (Gultor), apa yang dibanggakan apabila ujung-ujung menghilang orang yang dicurigai tanpa proses pengadilan fair.
Bila seperti itu sama hal mengembalikan era otoriterisme seperti jaman Orde Baru. Saya pribadi tidak rela bila Indonesia kembali seperti masa lalu dimana hukum hanya menjadi alat penguasa untuk menindas kebebasan demokrasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H