Gerakan politik radikal di Indonesia bukan hal baru, paska berdirinya NKRI berbagai gerakan radikal bersenjata dari berbagai aliran berusaha menjungkalkan pemerintahan baru seumur jagung. Pemerintahan Orde Lama berhasil memadamkan lewat operasi-operasi militer dan pembukaan keran demokrasi pada Pemilu 1955 untuk menampung aspirasi berbagai berbagai aliran politik, Indonesia berhasil melewati masa-masa sulit tersebut.
Memasuki Orde Baru gerakan politik radikal bersenjata hampir tak mendapat ruang gerak, pemerintah Soeharto sangat ketat mengawasi dan menindak dengan tegas dengan kekuatan militer. Saking ketatnya, baru sebatas saja inisiasi radikalisme sudah dipadamkan, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan intelektual muda dari kampus-kampus pada saat itu.
Kampus pada masa Orde Baru menjadi laboratorium ideal untuk menyemai radikalisme dan kaderasisasi aliran-aliran politik termasuk aliran politik radikal sayap kanan yang melahirkan anak-anak ideologis setelah reformasi, mereka itu pembentuk parpol dan ormas. Setelah Reformasi aliran politik sayap kanan radikal mendapat ruang gerak yang dijamin UU, aliran politik ini bertransformasi menjadi Parpol dan Ormas.
Tak ada yang salah pada gerakan radikal selama sebatas "isme" bukan tindakan politik yang memaksa kehendak dengan aksi melawan siapa yang berseberangan dengan pandangan politiknya.
Radikalisme adalah keniscayaan jaman dan bisa tumbuh untuk membawa kemajuan sebuah peradaban, menjadi persoalan lain saat gerakan ini menimbulkan ekses sosial, menyemai kebencian terhadap sesama yang memiliki latar belakangan Suku, Etnis dan Agama (SARA) berlainan, pada akhirnya justru bisa meruntuhkan peradaban.
Kebencian SARA dipakai untuk menciptakan musuh bersama dan membangun ikatan kebersamaan ideologi dan psikologi simpatisan dan pendukung, platform ini umum dipakai gerakan radikal di mana pun di dunia ini untuk membangun kekuatan politik. Kebencian kepada kelompok lain melahirkan sikap sosial tidak menghargai dan menghormati (intoleran) kepada penganut agama, suku adan ras lain yang sudah hidup di negara ini sebelum Indonesia merdeka.
Bila melihat peristiwa-peristiwa politik belakangan ini kecenderungan makin menguatnya sikap intoleran bakal semakin kuat di tahun politik ini, mengingat ada kelompok kepentingan sengaja menfaatkan militansi pendukung kelompok ini untuk menyerang pihak lain yang berseberangan dalam pandangan politik.
Dua kepentingan menyatu, pada satu sisi kelompok radikal sayap kanan butuh dukungan logistik untuk bertahan dan kelompok kepentingan butuh pasukan militan untuk menyerang. Modus dan dampak aksi gerakan politik radikal dapat dilihat di beberapa negara Timur Tengah, seperti di Suriah, Irak, dimana benturan kepentingan antara kelompok sekuler dan organisasi sayap kanan radikal menimbulkan kerusakan sosial dan peradaban.
Intoleransi adalah turunan dari aksi gerakan politik radikal, tidak semua orang bisa menerima klaim sebagai pendukung gerakan politik radikal meski beberapa survei telah membuktikannya.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sempat berang dan mempertanyakan metodologi hasil penelitian Setara Institut tahun 2018 yang menyimpulkan indeks kota toleran di DKI Jakarta rendah, bahkan menempati urutan 10 besar terendah dari 94 kota yang disurvei. DKI Jakarta senasib dengan 10 kota lainnya yang indeks toleransinya rendah, yakni :Tanjungbalai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, dan Sabang.