Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kemiskinan, Dulu dan Hari Ini

1 Agustus 2018   00:07 Diperbarui: 1 Agustus 2018   00:13 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan menjadi tema perbincangan yang "seksi", apalagi di tahun politik saat ini,  Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan ini melaporkan bahwa angka kemiskinan nasional turun. namun tak semua pihak mengamininya. Buat saya adalah soal bagaimana kita melihat dan menyikapi rilisan hasil penelitian dari BPS itu.

Sedikit menengok kebelakang, pada masa krisis keuangan 1998 banyak orang tiba - tiba  jatuh miskin, inflasi dan PHK besar - besaran sejumlah industri  padat karya membuat daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari turun drastis.  

Dampaknya banyak orang kehilangan penghasilan ditambah melambungnya harga - harga kebutuhan pokok akibat menguatnya US Dollar terhadap Rupiah. Nilai US Dollar saat itu menguat sampai 400 % dalam waktu singkat, tentu menimbulkan kekacauan banyak perusahaan yang bertransaksi dengan mata uang Amerika Serikat ini.

Soal kemiskinan ternyata begitu kompleks, kategori miskin tak sebatas dilihat dari apa yang kasat mata, banyak faktor apakah seseorang atau kelompok bisa dianggap miskin ?

Beberapa waktu lagu sempat heboh di media massa saat orang tua calon murid berduyun - duyun membuat Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM) agar sang anak dapat kursi di Sekolah Negeri. 

Akhirnya terbongkar bahwa surat - surat tersebut banyak tidak sesuai fakta. Para orang tua murid yang membuat SKTM tersebut menurut definisi miskin dari BPS atau Bank Dunia bukan golongan orang tidak mampu atau miskin. Wajar bila banyak orang mempertanyakan kevalidan proses pembuatan SKTM tersebut.

Standar Kemiskinan Indonesia

Setiap negara mempunyai indikator berbeda untuk mengkategorikan seseorang atau kelompok orang masuk dalam daftar orang miskin sehingga mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bagaimana  BPS mendefinisikan indikator kemiskinan  di Indonesia? Menurut situs BPS, ada 14 indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari rumah tangga, bila ada 9 indikator melekat pada sebuah rumah tangga,  maka yang bersangkutan masuk kelompok miskin. Berikut 14 indikator kemiskinan dari BPS :

  1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
  2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
  3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
  4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
  5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
  6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
  7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
  8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
  9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
  10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
  11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
  12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
  13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
  14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Indikator ini yang dipakai oleh Kementerian Sosial sebagai dasar memberikan bantuan sosial, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH). Kemensos bergerak berdasarkan ukuran dari BPS dan hasil survei dari BPS dan verifikasi dari Pemerintah Daerah. Peran Pemda dalam pengentasan kemiskinan sangat penting, di era otonomi daerah, Pemda mempunyai kewenangan besar dalam mengelola semua sumber daya di daerah, termasuk persoalan kemiskinan.

Upaya Pengentasan Kemiskinan

Persoalan kemiskinan menjadi tema klasik, di setiap rezim mendapat jatah persoalan ini, namun bila tak terkelola dengan baik bisa membuat jatuh sebuah pemerintahan. Di akhir rezim Orde Lama, Indonesia juga mengalami krisis ekonomi berat terlepas dari persoalan politik akhirnya membuat Presiden Soekarno jatuh, demikian juga pada rezim Orde Baru.

Menurut catatan BPS, paska runtuhnya Orde Baru (Orba) tahun 1999, angka kemiskinan di Indonesia mencapai angka tertinggi, dan hasil survei BPS per Maret 2018 angka kemiskinan di Indonesia hanya satu digit.  Padahal berdasarkan survei BPS per September 2017, angka kemiskinan kita masih dua digit, yakni 10,12 persen kini menjadi 9,82 persen atau setara dengan 25,95 juta orang.

Jumlah tersebut setara dengan jumlah 3  provinsi di Pulau Sumatera, Sumatera Utara (14,510,668), Sumatera Barat (5,366,763), dan Aceh  (5,046,182) bila digabung jumlahnya kurang lebih 25 juta orang. Bagaimana pemerintah mengelola program pengentasan kemiskinan ?

Pada era pemerintah SBY dikenal dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), pemerintah Joko Widodo pun juga memiliki program serupa yakni Program Keluarga Harapan (PKH), dan untuk pembiayaan pendidikan keluarga miskin atau kurang mampu diluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan penyempurnaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lewat Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan program pemberdayaan lainnya. 

Menurut Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Harry Hikmat dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema "Fakta Penurunan Angka Kemiskinan", adalah :

Pertama, substansi kebijakan dan program pemerintah yang didasarkan pada cita-cita kemerdekaan, amanat konstitusi, dan visi-misi Nawacita Pemerintah.

Kedua, ada sinergitas pemerintah dan lembaga-lembaga negara, antarkementerian dan antarlembaga pemerintah (BULOG, HIMBARA, TVRI, dan sebagainya).

Ketiga,  pola kepemimpinan Presiden Jokowi yang langsung turun ke lapangan memastikan bahwa seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional berjalan secara baik dan efektif.  

Lepas dari itu, kabar penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit perlu disambut gembira meski pemerintah harus berupaya keras mengentaskan 25 juta orang yang masuk kategori miskin, bukan angka sedikit. Selain itu, mempertahankan kelompok miskin yang naik kelas agar tidak jatuh lagi juga tak kalah penting, menurut Bambang Brojonegoro di forum sama mereka inilah yang disebut "rentan miskin", bisa karena pengaruh dari luar atau dari diri mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun