Soal penyelenggaraan acara perayaan Natal di Monas tiba - tiba menjadi polemik di media dan warga Kristiani. Sebagian warga Kristiani mengatakan perayaan di Monas tidak perlu, cukup di rumah ibadah saja. Kelompok lainnya mengusulkan agar terselenggara juga di Monas. Kelompok ini dimotori oleh Hashim Djojohadikusumo, adik dari Ketua Partai Gerindra, Prabowo dan gereja - gereja pendukungnya.
Sedangkan organisasi gereja Kristen, Persekutuan Gereja Kristen (PGI) sendiri mengusulkan agar perayaan diselenggarakan di tempat tertutup. Polemik menjadi panjang setelah Pemda DKI Jakarta di media merilis informasi akan membiayai acara tersebut dari dana APBD.
Apa yang janggal dari Natal tahun ini ? Saat Gubernur - Gubernur DKI Jakarta sebelumnya tidak pernah muncul polemik soal acara Natal di Jakarta. Â Baru kali ini terjadi sepanjang ingatan saya.Â
Tentu polemik ini berkait  proses pesta demokrasi  lalu. Publik tidak lupa kontestasi itu syarat dengan gesekan tajam di level horizontal, yakni soal ras dan agama.Â
Setelah menjabat Gubernur, Anies berusaha merajut kembali perpecahan akibat  friksi horizontal lewat pengumpulan massa di Monas dengan berbagai tema. Melalui  acara massal, yaitu event Kebangsaan, Reuni 212, lalu Perayaan Natal. Agenda  Anies jelas berusaha merangkul kelompok Kristiani dan umat lainnya agar ikut memfaatkan Monas sebagai tempat ibadah massal sebagai bentuk sikap egaliter-nya.
Pandangan Anies sebagai pemimpin untuk merangkul semua elemen tidak salah, dibuktikannya lewat slogannya "Jakarta Maju Bersama". Rupanya pandangan sebagian umat Kristiani tidak seragam, sebagian "cuek" dengan agenda politik dibalik penyelenggaraan Natal di Monas. Sebagian lagi mencurigai acara itu akan dijadikan alat politik untuk dukung mendukung. Satu sisi untuk melegitimasi Anies - Sandy sebagai  pemimpin toleran, sisi lain adalah Partai Gerindra milik semua umat.
Barangkali bila himbauan ini di-inisiasi oleh Presiden Jokowi, saya yakin tidak ada polarisasi diantara umat Kristiani. Masyarakat umum bisa melihat apakah himbauan itu murni kepedulian atau bagian dari penaklukan opini publik.
Lepas dari itu semua, saya melihat langkah - langkah Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terlalu dipaksakan dalam soal Natal di Monas. Seolah sebuah agenda wajib meski inisiator ini Hashim, yang nota bene seorang Kristiani. Namun sebagian masyarakat Kristiani juga paham, Â apakah Hashim murni mengangkat persamaan hak pemeluk agama atau hanya membawa agenda dari sang kakak, Prabowo. Hashim sebagai orang Kristen dan warga negara Indonesia juga punya hak untuk mendorong acara Natal di Monas.
Persoalan kedua adalah penyelenggaraan Natal saat ini rawan jadi panggung kekerasan, paska pengakuan resmi Trump terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel. Amerika sering di identikan dengan pemerintahan Kristen , simbol dan obyek vitalnya selalu menjadi target kekerasan dari kelompok - kelompok radikal anti - AS dari seluruh dunia.Â
Situasi politik global sedang memanas , bukan tidak mungkin terjadi simplifikasi isu  Yerusalem di sini  yang direspon secara radikal di Indonesia. Simplifikasi itu adalah umat Kristiani di Indonesia adalah pendukung Trump karena sama - sama beragama  Kristen.Â
Resiko ancaman terhadap keselamatan umat yang merayakan Natal di Monas lebih tinggi dibandingkan di ruang tertutup. Kalau pun ingin memastikan keamanan acara, harus melibatkan ribuan aparat. Tentunya biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, apalagi dana tersebut diambil dari APBD Â yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Sangat tidak elok, dana besar untuk penyelenggaraan acara Natal di Monas dan pengamanan bisa dialihkan untuk kegiatan lebih produktif.