Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Public Lecture Sri Mulyani, Menyingkap Gagal Paham Hutang Negara

23 November 2017   20:53 Diperbarui: 23 November 2017   20:55 2768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu, Sri Mulyani memberikan kuliah umum kepada relawan pendukung Presiden Joko Widodo (Projo)

Soal hutang negara di era pemerintahan Jokowi - JK menjadi isu "seksi" kelompok untuk mengkritik kinerja pemerintah.

Saya beberapa waktu terakhir tergoda memahami persoalan ini secara jernih. Dari sudut pandang oposan menurut saya sah - sah saja berpendapat Jokowi "tukang hutang".

Toh isu ekonomi memang paling mujarab untuk membangun persepsi publik soal ketidakmampuan pemerintah mengelola keuangan negara.

Bila sedikit menengok ke belakang, pemerintahan Orde Lama mendapatkan legitimasi  untuk dilengserkan salah satunya oleh isu ekonomi. Mahasiswa saat itu berdemonstrasi dengan mengajukan "Tritura" (3 tuntutan rakyat),  salah satunya "Turunkan Harga". Seakan sejarah berulang, rezim yang didukung mahasiswa saat itu dan memerintah sekitar 30 tahun juga jatuh oleh isu ekonomi.

Orde Baru jatuh dibawah tekanan ekonomi  global dan dalam negeri. Mahasiswa '98  juga mengusung narasi seperti senior angkatan '66 dengan kalimat beda namun substansi sama, yakni soal ekonomi. "Kolusi, Korupsi , Nepotisme (KKN).

Ekonom UGM, Tony Prasetiantono pernah menyatakan bahwa negara - negara besar yang memiliki hutang besar tidak mengalami kebangkrutan karena mereka hutang kepada rakyatnya sendiri. Berbeda dengan kasus negara Yunani yang pernah menjadi "kerikil" masyarakat ekonomi Eropa sebab hutang luar negeri mencapai 175 %  PDB.

Sri Mulyani mencontohkan kasus negara Amerika latin, Venezuela yang hampir bangkrut. Padahal politisi Indonesia pernah mengidolakan kebijakan ekonomi dengan negara itu.

Bagaimana cara Sri Mulyani menggunakan pajak sebagai instrumen fiskal?

Salah satunya adalah pajak, surat hutang dalam negeri, sisanya berasal dari  hutang luar negeri. Secara khusus, Menkeu menegaskan pihak menerapkan skala prioritas dan kehati - hatian dalam mengelola APBN. 

Berkait dengan hutang pemerintah yang makin tinggi, Dosen Ekonomi UI ini hutang nasional masih tahap aman, karena PDB kita makin tinggi. (Data bisa dilihat di website kementerian keuangan).

Dalam dua tahun terakhir menurut Sri Mulyani, pemerintah berhasil menekan angka defisit anggaran dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi  nasional ditengah ketidakpastian ekonomi dunia.

Menurut Menkeu, Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia kedua mengalami penurunan pertumbuhan. Saat ini negeri Tirai Bambu itu sedang mencari wilayah - wilayah baru untuk menanamkan investasi. Ekspansi Cina tersebut tak lepas dari keberhasilan riset di bidang tehnologi yang mendorong ekonomi nasional seperti saat ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Joko Widodo fokus pada 3 hal, pembangunan SDM, Infrastruktur, kelembagaan.

Komitmen pembangunan kualitas SDM tertuang dalam APBN 2018, sesuai UU anggaran sektor pendidikan 20 persen. APBN 2018 kurang lebih 2000 trilyun, alokasi untuk pendidikan sekitar 400 trilyun. Pembangunan SDM di Indonesia sangat mendesak mengingat ketertinggalan SDM nasional dibandingkan negara - negara tetangga.

Pembangunan infrastruktur mempunyai 2 tujuan, yakni pemerataan  sosial dan pembangunan ekonomi lokal melalui interkoneksi. Selain itu untuk  memperkuat ketahanan di sektor pangan, energi dan air. Ketiga hal ini menyangkut kelangsungan kehidupan bangsa kita. Keamanan pangan, energi dan air juga menjadi konsentrasi pembangunan banyak negara. 

Pembangunan kelembagaan menekankan reformasi birokrasi dan deregulasi di setiap lembaga negara.

Media Sosial dan Kesabaran masyarakat.

"Tidak memberi mimpi tapi berkomunikasi, tidak semua policy seperti ceplok telur", ujarnya menanggapi ketidaksabaran masyarakat.

Media sosial membuat masyarakat mudah membandingkan fasilitas dan prestasi negara lain dengan mudah. Pengguna medsos dengan cepat menghakimi berdasarkan informasi di medsos terhadap kinerja pemerintah.

Menurutnya, globalisasi memang brutal, persaingan menjadi terbuka. Prinsip di dalamnya adalah "pure market mechanism", yang ada "winner atau loser". Kita akan selalu kalah bila tidak memperhatikannya. 

Sikap terbaik adalah mencari fakta di belakangnya maka kita mampu menjelaskan dan mengidentifikasi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi.

"Tidak ada saat ini negara dengan sistim tertutup yang maju secara ekonomi", tegasnya.

Menurutnya hal ini sesuai dengan semangat Presiden Joko Widodo untuk membuka diri dan tidak takut berkompetisi. Secara mental akan mengangkat harga diri sebagai warga negara Indonesia.

Tentunya kebijakan ini menurut Sri Mulyani juga harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi nasional. Kita harus berkaca pada pengalaman Amerika yang pro lingkungan sehingga menutup semua tambang batubara. Dampaknya pengangguran meledak, stress massal, mereka itulah salah satu kelompok pemilih Trump. Tak heran jika orientasi kebijakan ekonomi AS lebih menekankan ekonomi lokal.


"Popularitas Presiden Joko Widodo makin tinggi, biasanya disertai harapan dan aspirasi masyarakat juga makin tinggi. Namun tidak disertai tingginya kesabaran masyarakat", ujarnya.

Harapan dan aspirasi tinggi berbanding terbalik dengan tingkat kesabaran makin pendek
Sikap menghadapi resiko. 

Sikap terbaik dalam menghadapi fluktuasi ekonomi dunia  dengan waspada, antisipasi resiko dan teliti dalam implementasi. Sikap paranoid, Ketakutan dan  pesimis tak ada gunanya. Kebijakan pemerintahan saat ini sudah pada jalurnya, seperti halnya mendidik anak butuh banyak pengorbanan padahal kita tak tahu akan jadi apa anak kita. 

"At least we know going that way...", tegasnya

Menurutnya saat ini pekerjaan rumah kita  adalah bagaimana mengantisipasi gerusan tehnologi yang merebut pekerjaan manusia. Pada tahun 100 tahun Indonesia merdeka penduduk Indonesia sekitar 309 juta. Mereka perlu sarana hidup dan pekerjaan. Sudah saatnya kita semua mulai mengantisipasi dan mencari terobosan untuk itu.

Hmmm....betul juga, ya !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun