Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sopir Taksi Hanya Bisa Meratap

5 Maret 2017   21:22 Diperbarui: 5 Maret 2017   21:51 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu saya mencoba naik taksi dari salah satu perusahaan taksi terbesar di Jakarta, dari Pusat Grosir Cilitan ke Pasar Minggu. Biasanya saya naik ojek online, alasannya seperti pengguna ojek online lainnya, yaitu lebih "irit".

Saya naik dari depan lobby hotel yang berada di PGC, menaiki mobil taksi berwarna putih. Karena alasan hujan saja, sore itu saya rela mengeluarkan duit lebih, kalau cuaca normal saya hindari naik taksi. 

Seperti biasa, bila naik ojek atau taksi saya selalu mengajak " ngobrol". Biasanya saya pertama kali yang saya tanya adalah asal daerah mereka. Dari seringnya "ngobrol" itu saya dapat info, rata - rata sopir taksi bercat putih berasal dari Indramayu, Cirebon, dan Tegal. Setelah tahu asal dari daerah - daerah itu, biasanya saya menggunakan bahasa Jawa, saya lebih "sreg" dengan bahasa Jawa dibandingkan Bahasa Indonesia. 

Sore itu...

Saya : "Gimana, mas..rame nggak hari ini ?"

Sopir Taksi : "Wah.. sepi, mas. Sekarang ini susah kejar setoran."

Saya : "Kenapa,mas ? Karena taksi dan ojek online,ya mas?"

Saya mencoba menebak penyebab bapak itu susah mengejar setoran.

Sopir Taksi : "Iya, kalo saya tidak mangkal di tempat taksi resmi tadi, seperti hotel atau mall, saya tidak dapat penumpang."

"Di jalan sekarang susah penumpang." lanjutnya.

"Ohhh...gitu", ujar saya sambil pikiran saya berusaha berempati dengan apa yang dirasakannya. 

"Sekarang sehari setoran berapa, mas ?" , tanya saya lagi. 

Sopir Taksi : "Setoran sudah dipotong 50% persen sama perusahaan, tadinya 300 ribuan, sekarang cuma 150 ribuan".

" Tetap saja susah, mas kejar setoran segitu", tandasnya.

Keingitahuan saya bangkit lagi, mengapa bisa susah kejar setoran, padahal sudah dipotong jumlahnya cukup besar.

"Kenapa susah, mas?", tanya saya lagi.

" Kalau setoran 150 ribu berarti saya harus dapat uang sehari minimal 500 ribu, 150 ribu setoran, 250 ribu bensin, 50 ribu buat makan, dan 50 ribu dibawa pulang", jelasnya.

Benar juga,ya  pikir saya, untuk uang 50 ribu bapak itu harus berjuang lebih dari 12 jam sehari. Ia bercerita, mulai dari jam 5 pagi sudah keluar dari pool taksi. Pulang ke pool jam 11 malam. 

"Sering tidak setoran, pulang cuma bawa uang 100 ribu, jadi terpaksa " ngutang" ke perusahaan.", tambahnya.

Terkaget juga saya mendengar kata - kata terakhirnya, lalu apa gunanya dia terus kerja sebagai sopir taksi?

"Saya tidak ada ijasah dan ketrampilan, bingung mau kemana" , jelasnya.

Tak terasa mobil taksi sudah sampai depan rumah, saya menyodorkan lembaran 50 ribu, tagihan sebesar 45 ribu sesuai dengan meteran argo taksi. Saya minta sisanya disimpan saja.

Sesampai di rumah masih memikirkan obrolan tadi, dan mencoba membuat sebuah kesimpulan. "Ternyata tehnologi membuka peluang usaha baru, tapi juga membatasi, bisa juga  mematikan usaha yang lain".

Kegalauan sopir taksi itu yang tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi merosotnya penghasilan mereka, juga dialami sopir - sopir taksi lainnya di Jakarta. Sebaiknya ada inisiatif, entah dari pemerintah, swasta untuk memberikan jalan keluar bagi ribuan sopir taksi di Jakarta yang terombang-ambing nasibnya. Mereka hanya bisa meratap, menjalani kehidupan yang tidak pasti setiap hari.

Seperti bapak sopir taksi tadi, saya juga tidak tahu harus bagaimana? Saya akhirnya memutuskan menulis pengalaman saya di Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun