Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Google "Ngemplang Pajak", Bisakah Kita Bercerai dari Google?

17 September 2016   10:44 Diperbarui: 18 September 2016   11:57 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badan usaha Google di berbagai negara termasuk di kawasan Eropa berusaha menghindar dari kewajiban pajak pemerintah setempat, termasuk di Indonesia. Beberapa waktu lalu otoritas pajak Indonesia menyatakan perwakilan perusahaan Google di Indonesia selalu menghindar dan mengulur waktu saat ditagih pajak oleh Dirjen Pajak Republik Indonesia.

Aksi tidak hormat terhadap otoritas setempat yang dilakukan Google di berbagai negara ini, termasuk Indonesia patut kita sikapi. Cina menyikapinya salah satunya adalah tidak bergantung dengan mesin pencari Google, dan membangun mesin pencari sendiri dengan bahasa dan huruf cina dan bahasa internasional, yaitu Baidu. Digagas oleh   Robin Li berasal dari  kota Yangquan, Provinsi Shanxi, Tiongkok, alumnus Universitas Peking mengambil jurusan Manajemen Informasi dan  University at Buffalo, AS.

Pengalaman profesionalnya di Amerika Serikat menangani  pengembangan  program untuk edisi online The Wall Street Journal, selain bekerja juga pada peningkatan algoritma untuk mesin pencari. Bersama Erix Xu, membangun Baidu , kini Baidu yang kini menguasai 80% pasar di Tiongkok daratan. Bila diasumsikan penduduk Tiongkok 1 milyar jiwa, berarti Baidu digunakan oleh 800 juta orang di Tiongkok. Baidu adalah saingan utama dari Google saat ini di sektor “search engine”.

Dorongan perkembangan dan penguatan Baidu di pasar domestik tidak lepas dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang melarang Google beroperasi di Tiongkok dengan kebijakan memblokir situs Google di daratan Cina. Mau tidak mau netizen di Tiongkok menggunakan mesin pencari dalam negeri, yaitu Baidu. Kelebihan Baidu adalah menggunakan huruf Tiongkok yang memang sudah menjadi “habit” keseharian komunikasi tertulis  di sana. Alasan pelarangan Google beroperasi di Tiongkok, Pemerintah Komunis Cina kuatir konten – konten Google akan menggoyahkan nilai – nilai ideologis Partai Komunis Cina.

Nilai yang sangat ditentang oleh Partai Komunis adalah kebebasan bersuara / berpendapat  yang tersebar di situs – situs di-index mesin pencari Google. Kebutuhan Tiongkok Daratan untuk tetap menjaga integritas Partai dan kedaulatan politis dalam negeri yang menjadi alasan pelarangan itu. Pada sisi lain, kebijakan Partai ini sangat menguntungkan perusahaan lokal untuk merajai pasar dalam negeri. Bagaimana tidak, Tiongkok adalah pasar potensial  dan menjadi sasaran bagi semua produk dari seluruh dunia, dengan populasi yang sangat besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi, membuat daya beli penduduk Tiongkok tinggi.

Tak heran sekarang ini muncul milyarder – milyader dari negeri Tirai Bambu itu, dan mereka justru sekarang berekspansi ke seluruh dunia. Termasuk di bidang eCommerce, Jack Ma, salah satu orang terkaya Tiongkok yang rajin mengakuisisi situs – situs eCommerce besar, termasuk situs Lazada untuk menguasai pasar eCommerce di Asia.  Kabarnya pemerintah Indonesia dalam kesempatan mengunjungi Tiongkok, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri ke markas Alibaba.com, dan mengundang Jack Ma  menjadi penasehat pengembangan industry eCommerce Indonesia.

Bagaimana Sikap Indonesia?

Indonesia diramal akan menjadi salah satu  negara yang mengalami pertumbuhan eCommerce yang tinggi selain negara Cina dan India. Ketiga negara Asia ini, Tiongkok, India dan Indonesia mempunyai persamaan demografis. Secara demografis, Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai negara yang mempunyai penduduk terbesar di Asia setelah India dan Tiongkok nomor satu.  India akan juga menjadi pasar yang seksi bagi produk – produk dari negara – negara lain, tetapi India kesulitan mengembangkan industri dalam negeri  di seperti di Tiongkok, India tidak menganut paham  otoritarian seperti Tiongkok. Sehingga India masih kompromi terhadap serbuan produk – produk dari luar negeri, kondisi serupa juga serupa dengan Indonesia. 

Nasib India dan Indonesia hampir mirip, namun India selangkah lebih maju dalam pengembangan eCommerce.  Tiongkok memiliki Alibaba, India memiliki Flipkart, Inmobi dan Snapdeal, sementara Indonesia belum ada perusahaan eCommerce yang sekaliber mereka dalam omzet, konon omzet penjualan perusahaan eCommerce di Tiongkok dan India sudah diatas 1 milyar dollar AS dalam satu tahun. Selain itu inisiatif komunitas internet di India sangat maju, Bangalore adalah kota pengembangan industry IT India yang menjadi tulang punggung industry eCommerce India. Bangalore ibaratnya “Silicon Valley”nya India, pada awalnya industri IT di kota Bangalore dibangun oleh programmer – programmer India yang pernah bekerja di Silicon Valley, baik sebagai pekerja tetap data freelancer di sana. Apakah Indonesia sudah memilikinya?

Tingginya inisiatif ini terbukti seorang remaja India berumur 16 tahun berhasil membuat mesin pencari “segala tentang India” yang menurut para pengamat IT dan eCommerce lebih baik dan  detil daripada Google India. Situs Google India adalah mesin pencari terbesar  yang masuk 15 besar dunia,  menduduki rangking ke – 14 berdasarkan situs “Alexa” .

Masih banyak PR bagi pemerintah Indonesia untuk membangun pondasi industri  eCommerce nasional, apalagi untuk berdiri sejajar  dengan India dalam pengembangan industri eCommerce. Meskipun saat ini pemerintah telah mengeluarkan “roadmap eCommerce”, namun semua hanya diatas kertas bila tidak ada inisiatif berupa aksi nyata untuk mendorong percepatan industri eCommerce Nasional. Berikut ini adalah beberapa solusi bisa dilakukan untuk meningkatkan percepatan ECommerce nasional :

  • Membangun kawasan industri terpadu yang memberikan atmosfir bisnis internet dan eCommerce,
  • Peningkatan infrastruktur telekomunikasi lebih massif dan up to date untuk menaikan kecepatan internet,
  • Menekan biaya akses internet serendah mungkin untuk meningkatkan jumlah netizen.
  • Pendidikan SDM di bidang eCommerce.
  • Pembinaan dan insentif lebih banyak untuk perusahaan “Start up” local.
  • Membangun komunitas internet tentang Indonesia yang lebih detil daripada  Google Indonesia

Mengapa harus seperti itu, karena Indonesia tidak bisa memblokir situs – situs eCommerce dari luar negeri seperti Tiongkok, memaksa Google untuk membayar pajak saja kita kesulitan. Mungkin lebih baik kita belajar dari India yang mmapu membangun mesin pencarinya sendiri, tidak seperti Tiongkok, karena Tiongkok sangat membatasi setiap gerak-gerik warganya di dunia maya termasuk dalam pembangunan eCommerce, hal ini bertentangan dengan sistem pemerintahan yang sekarang kita anut yaitu sistem demokrasi. Semoga kita di era digital ini tidak hanya menjadi pasar eCommerce dari luar negeri, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun