Stambul adalah mushaf yang berukuran sekecil kuku jempol. Stambul dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini karena, pada zaman dahulu, Nusantara didatangi oleh pedagang dan saudagar yang berasal dari timur tengah, kebanyakan dari mereka adalah kaum penganut aliran sufi tasawuf yang menyebarkan agama Islam.
Menurut kepercayaan orang dulu, Stambul dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Tinta Emas
2. Tinta Merah
3. Tinta Hitam
Stambul di Indonesia memiliki beberapa ciri khas, yaitu :
1. Terdapat lambang sembilan bintang yang melingkar di atas sebuah pohon palm dan dibawahnya terdapat dua pedang Zulfiqar yang saling menyilang
2. Kotak penyimpanannya terbuat dari bahan logam dan terdapat lensa optik berupa loupe (kaca pembesar berbentuk bulat)
3. Bahan kertasnya terbuat dari perkamen (kulit hewan)
4. Kalimat "walyatalaththof" (surat Al-Kahf ayat 19) ditulis menggunakan tinta berwarna merah untuk semua jenis tingkatan Stambul
Awal mula nama Stambul berasal dari kota Istanbul pada zaman kekhalifahan Turki Utsmaniyah (Ottoman). Sebelumnya, kota Istanbul dikuasai oleh Yunani dan diberi nama Byzantium. Setelah itu, direbut oleh bangsa Romawi dan diberi nama Constantinople. Dan yang terakhir, ditaklukkan oleh Turki dan diberi nama Istanbul.
Di timur tengah, Stambul disebut sebagai "Mushaf Musaghghar". Stambul tertua di dunia adalah Qur'an Arabe 399, dikenal sebagai "Qur'n of Charlemagne" (karena legenda palsu yang menyebutkan bahwa itu adalah salah satu hadiah yang dikirim oleh khalifah Harun al-Rasyid kepada Charlemagne , raja kaum Frank , untuk menyegel aliansi Abbasiyah-Karoling antara tahun 797 dan 809 M). Saat ini disimpan di perpustakaan nasional Prancis. Salinannya masih berada di Timur pada abad ke-16, dan telah dipugar di sana. Salinan tersebut dibawa ke Prancis setelah tahun 1787.
Perpustakaan Nasional Skotlandia mengatakan produksi manuskrip tradisional Al-Qur'an mini merupakan tradisi lama, tetapi pencetakan buku-buku semacam itu, khususnya di Mesir, terkait dengan munculnya Fotolitografi pada abad ke-19. Perpustakaan ini memperkirakan versi cetakan Istanbul dan Delhi dibuat pada tahun 1892 dan 1899, tetapi penyebaran luas buku-buku mini dilakukan oleh David Bryce. Semua versi cetakan memiliki kotak logam dan kaca pembesar kecil yang diberikan kepada tentara Muslim yang bertempur untuk Inggris selama Perang Dunia I.
Dalam sebuah karya abadi oleh Thomas Edward Lawrence, ia mengatakan: " Auda kemudian memberi tahu saya dengan sangat rahasia bahwa ia telah membeli Al-Qur'an mini seharga seratus dua puluh pound, tiga belas tahun sebelumnya, dan sejak itu tidak pernah terluka lagi ... Buku itu adalah salah satu reproduksi kecil Glasgow, yang harganya delapan belas pence di Inggris, tetapi orang-orang Arab terlalu takut dengan kefanaan Auda untuk menertawakan takhayulnya ... atau menjelaskan kepadanya tentang tawarannya yang buruk". Halaman-halaman buku ini memiliki margin kosong, terkadang dengan gambar-gambar seni timur tengah dan diperlukan kaca pembesar untuk membaca teks-teksnya. Beberapa tentara Iran memilikinya selama Perang Iran-Irak.
Pada tahun 2012, surat kabar The Hindu mengutip dari Museum Salar Jung berbicara tentang versi tertua Stambul (sebagian ayat) berdimensi 3 x 2 cm dengan 31 lembar perkamen dalam tulisan tangan Kufi pada abad ke-9 (kemungkinan zaman kekhalifahan Abbasiyah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H