Suatu kali saya pernah mengantri mengurus berkas administrasi di suatu instansi pemerintahan, saya sudah menunggu lama sesuai nomor antrian bersama dengan para pengantri lainnya, eh tiba-tiba ada seseorang yang baru datang, eh ujuk-ujuk langsung dilayani.
Padahal antrian dibelakang sudah menunggu giliran dilayani sedari tadi, masa ada yang datang belakangan kok malah dilayani duluan, kan enggak pas kalau begini namanya.Â
Tentu saja orang yang seharusnya mendapat giliran pelayanan berkas menjadi komplain, termasuk saya, kami pun mengonfirmasi mengenai hal ini, tapi apa kata pegawai-pegawai tersebut.Â
Maaf Bapak- bapak dan ibu-ibu, orang itu tadi adalah rekanan pimpinan dan sudah dapat rekomendasi dari pimpinan untuk diprioritaskan. Kami hanya menjalankan perintah, mohon maklum.
Mendengar jawaban tersebut kami sangat kecewa sebenarnya, tapi ya sudahlah mau gimana lagi, meski masih tersisa rasa dongkol kami pun kembali mengantri, mau ngotot nanti malah ribut.Â
Nah, soal privilise diatas masihlah agak mendingan karena enggak bersangkutan dengan rezeki orang, sebab keponakan saya pernah mengalami rezekinya ditukar orang lain gara-gara privilese ini.
Seharusnya keponakan saya keterima bekerja di suatu instansi BUMN ternama tapi digeser oleh titipan oknum orang dalam di instansi BUMN tersebut.
Padahal keponakan saya tersebut sudah dinyatakan diterima bekerja eh malah tersingkir secara sepihak oleh orang lain yang mendapat privelese dari oknum orang dalam, tentu saja keponakan saya ini kecewa berat atas apa yang terjadi pada dirinya tersebut.
Mentang-mentang keponakan saya orang biasa-biasa malah disingkirkan secara enggak fair, padahal seharusnya keponakan saya dapat rezeki diterima bekerja eh rezekinya malah ditukar oleh oknum orang lain dengan atas nama privilese.
Memang namanya kalau sudah rezeki itu enggak akan tertukar, tapi bagaimana kalau nasibnya seperti keponakan saya ini, rezekinya ditukar orang lain atau tertukar dengan orang lain secara tidak fair, kalah karena privilese.Â
Bukankah kalau yang begini ini adalah privilese yang salah kaprah.
Ya, privilese sejatinya boleh saja diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti privilese pelayanan publik bagi penyandang disabilitas misalnya, privilese pelayanan publik bagi ibu hamil misalnya, privilese nasabah prioritas pada suatu bank misalnya dan privilese bijak yang lainnya.
Privilese itu sejatinya diterapapkan atas nama empati, simpati, dan kebijakan pemerioritasan suatu kegiatan.Â
Tapi begitulah, privilese malah sering disalah artikan dan disalah gunakan sehingga malah menimbulkan ketidak adilan dan ketidak setaraaan serta membentuk stratifikasi sosial antara orang istimewa dan orang biasa.
Setiap individu memang punya privilese, tapi haruslah bijak dan tetap mengedepankan empati dalam menerapkannya, jangan seperti kasus yang terjadi pada keponakan saya tadi di atas, rezekinya ditukar orang lain atas nama privilese yang tidak pada tempatnya.
Yang jelas, kalau privilese ini diterapkan dengan picik maka akan dapat menyebabkan Sense of Entitlement, yaitu akan membuat kecenderungan seseorang lebih mementingkan dirinya sendiri.Â
Mereka mengira bisa melakukan apa pun seenak udelnya atas nama privilese ini, nah tentunya kalau hal ini juga akan berdampak pada anak juga kalau orangtua salah kaprah mengedukasi privilese ini kepada anak.
Karena bisa dibayangkan kalau sedari kecil anak sudah dibiasakan diprivilese yang salah dalam berbagai hal misalnya, maka anak akan terdidik selalu ingin merasa dispesialkan dan diistimewakan dalam hal apapun.
Sehingga anak akan tidak peduli mana yang salah dan benar, dan enggan menjadi orang yang lebih baik. Mereka merasa punya hak istimewa yang tidak dimiliki orang lain, sehingga berhak mendapatkan lebih dan hidup nyaman.Â
Jelaslah sampai di sini, privilese yang salah kaprah dan tidak bijak ini enggak ada baiknya sama sekali, akan berdampak merugikan bagi siapapun, baik bagi si penerima privilese sendiri maupun yang jadi korban stratifikasi sosial akibat penerapan privilese yang salah kaprah tersebut.
Penerapan privilese yang salah kaprah juga sangat berpengaruh terhadap rezeki orang lain, oleh karenanya penerapannya haruslah bijaksana.
Jangan sampai privilese ini justru mengembat ataupun menghambat rezeki orang lain, termasuk jangan sampai merebut hak orang lain serta menyakiti orang lain.
Privilise boleh diterapkan, tapi dalam penerapannya haruslah bijak, sehingga janganlah sampai merugikan orang lain.
Demikian artikel ini, semoga menjadi wawasan dan manfaat bagi bersama.
Artikel ke-60, tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H