Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

RUU KIA Disahkan, Bisa Begini Dampaknya dan Sikap Pelaku Usaha

23 Juni 2022   09:37 Diperbarui: 24 Juni 2022   08:16 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja wanita sedang mengurus bayi.| Unsplash/Hanna Balan via Kompas.com

Ya, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, yang mengatur tentang hak dan kewajiban terkait cuti melahirkan 6 bulan, cuti keguguran 1,5 bulan, cuti pendampingan suami 40 hari, akses layanan kesehatan dan psikolog, edukasi tentang kesehatan reproduksi dan kehamilan, dan sebagainya ini masih menjadi pro dan kontra.

Penulis yang juga sebagai bagian dari pelaku usaha yang juga memiliki usaha yang bergerak dalam bisnis Radio maka kalau resmi disahkan, jelas RUU KIA ini cukup memberatkan.

Yang jelas, titik beratnya bagi penulis terkait RUU KIA ini adalah di bagian pemberian cuti hamil 6 bulan bagi pekerja wanita.

Apalagi bisnis usaha milik penulis baru mulai bisa bernapas atau perlahan bangkit dari keterpurukan saat Covid-19 masih jadi pandemi silam, dan penulis rasa sepertinya banyak juga pelaku bisnis usaha yang baru bisa bernapas lagi dimasa kekinian ini.

Tapi bukan berarti bagi pelaku bisnis yang lainnya yang tidak terlalu terdampak pandemi atau pelaku bisnis yang lancar-lancar saja bisnisnya juga langsung pro dengan RUU KIA ini, tentu saja RUU KIA ini sedikit banyaknya akan berdampak ke depannya secara simultan, termasuk ke depan bagaimana sikap pelaku usaha bila diberlakukan bagi seluruh pelaku usaha.

Memang di satu sisi RUU KIA ini jelas sangat memberi kesejahteraan dan manfaat khususnya bagi para pekerja wanita, tapi disatu sisi lainnya akan jadi dilematis bagi para pelaku usaha, bagaimana ke depannya soal perekrutan dan masa depan pekerja wanita, khususnya diranah Swasta.

Ilustrasi gambar via Freepik.com
Ilustrasi gambar via Freepik.com

Kenapa?

1. Dapat semakin menutup peluang kerja bagi calon rekrutan tenaga kerja wanita.

Ya, cuti kehamilan 6 bulan bagi para pekerja wanita bukanlah waktu yang sebentar. Setengah tahun bagi pelaku usaha menggaji tanpa produktivitas kerja dan kinerja jelas saja jadi masalah.

Meskipun ada aturan 3 bulan lagi setelahnya penghasilan dibayarkan 70 persen, tetap saja kan dalam hal ini para pelaku usaha harus mengeluarkan biaya penghasilan tersebut.

Bayangkan saja kalau dalam satu kantor tidak hanya satu atau dua orang pekerja wanita yang cuti hamil 6 bulan, tapi puluhan misalnya atau bahkan hampir ratusan misalnya, berapa besar biaya pembayaran penghasilan yang harus tetap di keluarkan pelaku usaha sementara produktivitas tidak ada.

Bandingkan kalau bisa diirit bila di suatu kantor hanya ada pekerja pria saja, jelas lebih efisien biaya toh.

Itu baru bicara satu kali kehamilan, bagaimana kalau ke depan hamil lagi? Ya jelas saja keluar biaya lagi, kan.

Efisien mana bila di kantor hanya ada pekerja pria saja? Jawabannya jelaskan.

Nah, berkaitan dengan ini, kalau jadi disahkan, maka secara opini pribadi, penulis akan sangat hitung-hitungan dan mempertimbangkan banget dalam hal perekrutan pekerja wanita. Bisa jadi juga penulis malah enggan merekrut pekerja wanita.

Kemudian juga, selama para pekerja wanita cuti hamil 6 bulan, tentu akan berdampak pada kinerja kantor, tentu saja pelaku usaha akan mencari pengganti sementara yang bisa dimungkinkan dari pekerja lainnya untuk sementara rangkap kerja.

Pastinya dalam hal ini akan keluar biaya juga kan, sudah tetap bayar penghasilan yang cuti hamil 6 bulan tapi masih bayar juga biaya tak terduga untuk pekerja pengganti.

Kalau pun mau cari pengganti dari luaran kan tetap bayar juga penghasilannya toh, selain itu, ya masa cuma kerja enam bulan saja habis itu di PHK, ya enggak efektif dan efisienlah.

Jelas saja dalam hal ini efektivitas dan efisiensi biaya penghasilan yang lebih penulis pertimbangkan. 

Sangatlah jelas kalau dihitung-hitung masih lebih irit penulis memperkerjakan pekerja pria saja, meskipun dalam hal ini pekerja pria dapat cuti pendampingan bagi istrinya 40 hari, tapi masih lebih irit biaya toh.

Jadi, buat apa merekrut pekerja wanita kalau ke depannya justru akan merepotkan dan tambah membebani anggaran dari pelaku usaha. Pokoknya ribetlah.

Di sinilah juga yang jadi penyebab kenapa pada akhirnya kalau RUU KIA ini jadi diundangkan maka dampaknya ke depan akan dapat menutup peluang bagi perekrutan pekerja wanita atau peluang pekerja wanita jadi semakin kecil banget untuk direkrut.

2. Kontrak kerja para pekerja wanita bisa jadi bakal banyak yang tidak diperpanjang.

Ya, mungkin saja banyak kontrak para pekerja wanita yang tidak diperpanjang, karena yang jelas dalam hal ini, perilaku pelaku usaha pasti mengutamakan efisiensi pengeluaran biaya.

Daripada mengeluarkan biaya banyak pagi para pekerja wanita tapi tidak ada produktivitas dan kinerja saat cuti hamil 6 bulan, ya lebih baik rekrut pekerja pria. Hitungan kasar secara logika sudah jelaskan jauh lebih mengemat biaya.

Ngapain harus repot keluar biaya lebih kalau ada solusi efisiensi beban anggaran, logis dan wajarkan kalau begini yang dilakukan.

3. Aturan perekrutan pekerja wanita jadi bersyarat khusus dan akan banyak aturan yang membatasi.

Ya ke depan, perekrutan pekerja wanita jadi akan bersyarat khusus, dan bisa jadi kalaupun direkrut maka masa kontrak kerja jadi dipersingkat, bisa hanya setahun, dua tahun atau paling banter tiga tahunanlah.

Bisa berlaku syarat khusus atau batasan-batasan tertentu dalam kontrak kerja tersebut, seperti untuk tidak hamil dalam masa kontrak kerja misalnya, atau ada aturan kalau hamil saat masih dalam masa kontrak kerja maka pekerja wanita harus mengundurkan diri misalnya, dan mungkin aturan khusus lainnya.

Sehingga aturan kontrak kerja dan perekrutan bagi para pekerja wanita pada intinya ke depan akan jadi ribet urusannya.

-----

Ya, begitulah kira-kiranya beberapa dampak dan sikap pelaku usaha bila RUU KIA ini jadi diundangkan, sangat dilematis dan cukup memberatkan bagi pelaku usaha khususnya yang skala usahanya masih skala kecil dan menengah.

Apalagi bila ke depan ada aturan turunan kalau pelaku usaha turut dilibatkan atau dibebani tanggung jawab oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah semisal Permen ataupun Perda terkait keterlibatan pelaku usaha terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak selama masa kehamilan tersebut.

Tambahnya lagi akan semakin memberatkan pelaku usaha, lha mengeluarkan biaya penghasilan untuk masa cuti kehamilan 6 bulan tanpa produktivitas kerja dan kinerja saja sudah biaya percuma, apalagi kalau misalnya ke depan ditambah beban lagi oleh aturan turunannya.

Dalam hal ini juga penulis yakin, mayoritas pelaku usaha pastinya tetap mengutamakan kesetaraan gender terhadap para pekerja wanita dalam menjalankan usahanya.

Akan tetapi kalau RUU KIA jadi diundangkan, ya UU ini sendirilah yang ke depan akan berdampak pada kesetaraan gender itu sendiri.

Oleh karenanya, kalau boleh saran, maka sebelum RUU KIA nantinya disahkan, maka sebaiknya atau ada baiknya pihak DPR, pemerintah, dan pelaku usaha, termasuk para pekerja dan mungkin pihak terkait lainnya duduk bersama dalam rangka mencari solusi bersama atau setidaknya jalan tengahnya seperti apa.

Seperti cuti kehamilan berlaku 4 bulan saja, tapi tetap digaji secara utuh misalnya, yang setidaknya dalam hal ini kalau cuma menambah atau keluar biaya satu bulan gaji saja secara utuh masih lebih logis. 

Atau mungkin ada solusi lainnya misalnya, oke setuju cuti hamil 6 bulan tapi hanya terima separuh gaji misalnya dan mungkin berbagai solusi lainnya.

Nah, kalau bisa seperti yang beberapa penulis sarankan di atas ya masih bisalah pelaku usaha berpikir dan mempertimbangkannya, tapi kalau cuti hamil 6 bulan dengan 3 bulan gaji penuh dan 3 bulan dapat 70 persen gaji kayaknya cukup beratlah.

Biar bagaimanapun pelaku usaha itu pasti lebih mengutamakan hitung-hitungan untung dan rugi dalam menjalankan usahanya.

Kalau cuma untuk rugi, ya untuk apa, ya kalau enggak begitu bisa-bisa gulung tikar kan, wajar dan logis toh kalau pelaku usaha hitung-hitungan begitu.

Kesimpulannnya, serap aspirasi dari para pihak yang terlibat soal RUU KIA, jangan langsung diundangkan kalau masih jadi polemik, pro dan kontra.

Samakan dulu persepsi, agar dapat solusi yang terbaik soal bagaimana aturan UU KIA yang dapat diterima legowo, baik itu buat para pekerjanya, para pelaku usaha, pihak pemerintah dan pihak terkait lainnya.

Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun