Apakah Anda sedang mengalami atau melakoni kondisi seperti di bawah ini?
Ketika orang yang dulunya adalah atasan Anda, atau sekaligus jadi mentor Anda bahkan mungkin senior jauh secara usia dari Anda, tapi seiring waktu berjalan pada akhirnya mantan atasan, senior ataupun mentor Anda tersebut justru sekarang jadi bawahan Anda?
Kalau benar begitu, maka apa yang Anda sedang lakoni tersebut, sama halnya seperti yang sedang penulis jalani sekarang ini.
Sebelumnya, terkait pengalaman yang akan penulis bagikan ini tentu saja bukan hanya untuk yang sedang mengalaminya, namun tentunya bila suatu saat Anda ke depan mengalaminya, semoga saja apa yang penulis bagikan ini bisa bermanfaat.
-----
Memang terkadang tanpa kita sadari perputaran roda waktu selalu melingkupi perkembangan karir kita, ada yang terus meningkat tapi ada juga yang memang begitu-begitu saja, nasib dan rezeki juga lah yang mempengaruhinya.
Beruntunglah bagi Anda yang memiliki karir cemerlang, namun janganlah juga berkecil hati bila Anda justru yang mengalami karirnya begitu-begitu saja, ya karena memang begitulah faktanya yang sering terjadi, seperti halnya yang sekarang penulis lakoni ini.
Baiklah kita lanjut, ya. Tentunya ketika akhirnya dulu orang yang sebelumnya jadi para atasan kita, senior kita atau mentor kita, namun sekarang justru jadi para bawahan kita, maka mulanya yang saya rasakan adalah di bawah ini.
Rasa agak tertegun dan terkejut, canggung, ewuh-pakewuh, mau mendelegasikan perintah jadi rasa enggak enakan banget, dan termasuk kalau ada kesalahan pas mau menegur jadi enggak enak banget, mau memberi punishment jadi enggak enak, takutnya kualat juga, tapi kitanya dituntut harus profesional sesuai tugas pokok.
Ya, bayangkan saja, penulis saat itu pada awalnya masih anak kemarin sore alias baru banget, saya masih CPNS (sebutan anak baru bagi pegawai instansi pemerintahan). Bahkan secara usia mereka adalah lebih senior jauh banget dari penulis, tapi faktanya seiring waktu, sekarang malah jadi bawahan penulis.
Ya, seiring waktu, dengan langkah perkembangan karir, akhirnya sampailah penulis ditempatkan sebagai penjabat kepala urusan di bidang yang sekarang masih jadi bagian tugas pokok mantan para atasan, para Senior sekaligus para mentor penulis tersebut.
Hal yang jadi keprihatinan penulis juga adalah, dalam hal golongan kepangkatan pun jauh sekali jaraknya.
Penulis waktu CPNS berpangkat Capeg III/A saat itu, beliau-beliau ini sudah PNS golongan II/D, tapi kenyataannya sekarang, saya sudah golongan III/D, namun beliau-beliaunya masih di golongan II/D.
Entah kenapa juga beliau-beliau ini kok karirnya stuck ataupun stagnan begitu-begitu saja dalam pangkat dan golongan, entahlah penulis juga jadi enggan dan segan menanyakannya, takutnya beliau-beliaunya malah tersinggung, lebih baik penulis berupaya maksimal menjaga perasaan mereka.
Sebenarnya juga sih secara keseluruhan, tidak hanya mantan atasan dan mentor penulis ini sih di satu bidang kerja saja sih, ada banyak juga sih para senior lainnya di luar bagian penulis tapi masih satu lingkungan penulis sekarang bertugas, justru sekarang jadi bawahan penulis.
Memang para senior tersebut tidak melakukan pada mentoring penulis, namun kenyataannya secara kesenioritasan pangkat/golongan dan jabatan mereka juga akhirnya jadi bawahan penulis.
Makanya penulis jadi semakin enggak enakan. Bagaimana tidak, Â mereka semua dulu adalah para atasan penulis, para mentor penulis, para senior-senior penulis, tapi sekarang ini malah jadi bawahan penulis.
Lalu berkaitan dengan itu, harus bagaimanakah kita menyikapinya?
Awalnya penulis merasa dilematis, rasa engga enak banget, harus bagaimana ini ya, legowo dan ikhlas enggak ya beliau-beliau ini sekarang jadi bawahan penulis, namun penulis akhirnya menerapkan hal-hal berikut:
1. Menguatkan, prinsip, mindset, mental dan kepercayaan diri
Perlahan penulis menanamkan mindset dan kepercayaan diri dalam diri. Yang terpenting adalah kita tetap sesuai aturan dan sistem yang berlaku dalam institusi ataupun kantor.
Terpilihnya kita sebagai unsur leader/pimpinan jelas ada legalitasnya, ada surat keputusan dan surat perintahnya secara sah, dan sudah menjadi kepercayaan dari yang lebih berwenang terkait jabatan dan kepangkatan kita di suatu institusi ataupun kantor.
Begitulah penulis memulainya, menegaskan kepada diri sendiri penulis dulu, dalam rangka untuk menguatkan prinsip, mental dan kepercayaan diri penulis.
Ya, jujur saja, pada awalnya penulis kurang diterima dengan tulus oleh para mantan atasan, mentor dan senior ini. Jelas ini wajar saja dan penulis pun memakluminya, karena mungkin mindset beliau-beliau ini masih tertanam bahwa penulis adalah junior mereka.
Tidaklah mudah memang membuat mereka ikhlas dan legowo, namun dalam hal ini penulis tetap harus punya sikap mental dan ketegasan secara tugas pokok yang diemban agar perlahan mereka semua legowo dan ikhlas menerima penulis, yang tentunya dengan sikap elegan, tidak semenjana mentang-mentang sekarang penulis jadi atasan, lalu berperilaku idealis atau seenaknya.
Pokoknya dengan cara yang paling halus banget memberi pemahaman dan pengertian kepada mereka terkait apa yang sekarang menjadi status penulis di kantor.
Perlahan tapi pasti, dengan penuh etika dan tutur kata yang penuh kesantunan dengan ditambah racikan leadership dari berbagai pengalaman karir penulis sebelumnya, termasuk bekal dari Diklat Kepemimpinan dan Diklat Spesialisasi lainnya yang pernah penulis tempuh. Dengan perlahan tapi pasti, pada akhirnya mereka semua sudah bisa menerima dan memaklumi penulis dengan ikhlas dan legowo.
2. Mendalami watak dan karakter para mantan atasan, senior dan mentor kita
Ya, dalam langkah selanjutnya, penulis menerapkan untuk memahami dulu secara mendalam bagaimana watak dan karakter mereka orang per orang, setidaknya yang ada di bagian penulis dulu, baru mulai merambah ke lainnya.
Sekaligus juga mencari celah bagaimana perlakuan yang sekiranya tidak merendahkan mereka bila ada hal-hal yang kiranya kurang benar terkait bidang tugas pokok.
Seperti misal, memanggil beliau-beliau secara empat mata bilapun ada kesalahan ataupun pelanggaran dalam kaitannya dengan tugas pokok mereka masing-masing misalnya, atau memberikan punishment yang sifatnya mendidik dan masih ada kaitannya dengan tugas pokoknya misalnya.
Bahkan kaitannya dengan punisment tersebut penulis selalu mendampingi, selalu ikut serta mengarahkan, mengedukasi dengan penuh etika. ya begitulah yang saya praktikan.
Hasilnya, perlahan ternyata sesuai dengan apa yang menjadi planing penulis, mereka akhirnya mau peduli dan selalu mau bertanggung jawab pada pekerjaannya, mau mengakui kesalahan bila mereka memang kurang disiplin terkait pekerjaan, mereka justru jadi merasa selalu terbantu, teredukasi, terbimbing dan tidak merasa terhukum, istilah lainnya adalah jadi tidak merasa digurui.
Dan otomatis, secara tidak langsung, inilah juga sejatinya yang merupakan bentuk pengakuan mereka bahwa sekarang siapa yang berlaku sebagai atasan dan siapa yang jadi bawahan. Ya tanpa penulis koar-koar, dengan sendirinya mereka malah mengakui status penulis sebagai atasan.
3. Dulu atasan, sekarang partner kerja
Ya, inilah langkah pamungkas penulis, yaitu penulis prinsipkan dalam mindset bahwa beliau-beliau adalah partner kerja penulis, tidak pernah sekalipun penulis menganggap mereka para bawahan penulis.
Meskipun kenyataannya mereka adalah para bawahan penulis, tapi lebih plong rasanya kalau mindset ini tetap tertanam bahwa mereka adalah partner kerja.
Hal ini pun secara praktiknya di lapangan, mereka justru jadi selalu di orangkan, menjauhkan pandangan minor dan sikap tidak suka mereka karena kita tidak bersikap mentang-mentang sebagai atasan.
Hasil lainnya lagi, loyalitas mereka jadi tulus, atau istilahnya bukan asal pimpinan senang dalam bekerja, bukan karena ketidakrelaan mereka karena secara formalitas saja mengakui kita sebagai atasan, tapi apa adanya mereka berbuat yang terbaik demi kepentingan bersama terkait tugas pokok.
Nah, itulah kira-kira yang penulis terapkan langsung di lapangan terkait problematika ketika dulu masih baru banget ketika atasan kita sekarang jadi bawahan kita.
Yah, meskipun butuh waktu dalam prosesnya, namun itu tadi kalau kita selalu punya sikap, prinsip dan punya celah terkait bagaimana mengatasinya dan menyikapinya, pada akhirnya perlahan tapi pasti hasilnya akan kita capai.
Inilah sedikit banyaknya yang bisa penulis bagikan, sekiranya masih ada lagi yang perlu ditambahkan, penulis sangat terbuka menerimanya, demi menambah referensi yang terbaik. Semoga bermanfaat.
Sekian dan Trims.
Salam hormat.
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H