Pada tahun 1319 M, Ra Kuti bersama para Dharmaputra lainnya yaitu, Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Wedeng berhasil menguasai Kerajaan Majapahit dengan menggulingkan Prabu Sri Jayanegara.
Ya, dalam catatan sejarah Majapahit kudeta berdarah Ra Kuti memang banyak menelan korban jiwa, baik itu dari pihak Ra Kuti maupun pihak Majapahit dan merupakan pemberontakan yang paling berbahaya sepanjang Majapahit pernah berdiri, karena berhasil menguasai Kerajaan.
Setelah kudetanya berhasil, Ra Kuti akhirnya menobatkan dirinya sebagai Maharaja Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Agung Batara Prabu Kuti Wisnumurti.
Namun sayangnya, setelah bertahta jadi Maharaja Majapahit, ternyata Prabu Ra Kuti gagal jadi raja yang baik, seiring sejalan waktu, kepemimpinannya ternyata mengalami antiklimaks.
Prabu Ra Kuti justru semakin merusak tatanan Majapahit dan membuat rakyat Majapahit menderita, ini karena tindak tanduknya jadi Maharaja Majapahit justru sangat inkonsisten, hingga membawanya jadi otoriter, bengis, keji, dan kejam.
Seiring itu juga, kondisi tersebut semakin menimbulkan api dalam sekam dalam kemaharajaannya dan hal ini akhirnya berdampak kepada hilangnya simpati dan kepercayaan rakyat maupun dari para pejabat Majapahit.
Sehingga mereka para pejabat Majapahit yang sebelumnya saat kudeta berdarah memihak kepada Prabu Ra Kuti, semakin jadi mulai antipati dan tidak menyukai kepemimpinan Prabu Ra Kuti.
Padahal para pejabat majapahit ini memegang separuh lebih kekuatan pasukan Majapahit, sehingga tidak heran karenanya pada saat kudeta, Prabu Ra kuti berhasil menggulingkan Prabu Jayanegara karena separuh lebih kekuatan pasukan Majapahit tersebut justru berada dipihaknya.
Parahnya, Prabu Ra Kuti tidak cermat melihat situasi mulai hilangnya simpati rakyat dan kepercayaan para pejabat Majapahit tersebut, justru yang terjadi adalah kelakuannya semakin menggila, kepemimpinannya semakin lalim, bahkan para pejabat Majapahit justru sering diperlakukan tidak adil dan semena-mena.
Padahal kalau dilihat secara logika dengan keberhasilan kudetanya tersebut, sebenarnya Prabu Ra Kuti ini bisa dibilang orang yang cerdas dan pandai.
Buktinya, Prabu Ra Kuti cermat melihat bobroknya situasi internal pemerintahan Majapahit dan lemahnya kepemimpinan Prabu Jayanegara.
Meskipun, cara yang ditempuhnya termasuk sangat licik, yaitu dengan memainkan strategi hasutan untuk dapat mempengaruhi pejabat-pejabat Kerajaan Majapahit agar mau berpihak kepadanya.
Tapi itulah ternyata bukti kecerdasannya, karena ternyata juga, caranya tersebut justru berhasil, hingga akhirnya mencapai kesepakatan bersama, untuk bersekongkol menggulingkan kekuasaan Prabu Jayanegara dari tahta Kerajaan Majapahit.
Pada akhirnya, dengan kepemimpinan Prabu Ra Kuti yang semakin otoriter dan lalim, maka situasi jadi berbalik 180 derajat, karena seiring itu juga Gajah Mada sang Pimpinan Pasukan Bhayangkara berhasil menyusun kembali sisa-sisa kekuatan Majapahit dalam rangka merebut kembali Majapahit dari kekuasaan Prabu Ra Kuti.
Alhasil, meski dengan segala daya dan upaya Prabu Ra Kuti bersama sisa-sisa pasukannya yang masih setia bersamanya mencoba bertahan dari gempuran Gajah Mada dan pasukannya, tapi akhirnya Gajah Mada bersama pasukannya berhasil menumpasnya hingga akhirnya Prabu Ra Kuti tewas bersama sisa-sisa pasukannya tersebut.
Ya, pada akhirnya Gajah Mada dan pasukannya berhasil merebut kembali kerajaan Majapahit dari kekuasan Prabu Ra Kuti, dan mengembalikan kehormatan tahta Kerajaan Majapahit kepada Prabu Jayanegara.
Cukup tragis sebenarnya apa yang menimpa Ra Kuti ini, tapi begitulah konsekuensinya karena dirinya jadi Raja justru inkonsisten, bertindak otoriter, kejam, bengis dan lalim dan mungkin itu juga jadi sebuah karma baginya.
Andaikata saja, Prabu Ra Kuti menjadi Raja yang baik, konsisten memerintah secara arif dan bijaksana, pandai mengambil hati dan selalu berpihak pada rakyat Majapahit, bukan tidak mungkin kekuasaannya justru langgeng.
Dan bahkan sebenarnya, tidak akan mudah bagi Gajah Mada bisa mengudetanya dari tahta Kerajaan Majapahit, karena mungkin saja kalau Prabu Ra Kuti jadi Maharaja yang baik, selalu tetap solid dan bijak dalam menjalankan roda pemerintahan, akan sangat sulit sebenarnya bagi Gajah Mada menumbangkannya, bahkan bisa jadi kudeta Gajah Mada akan berujung gagal.
Tapi begitulah akhirnya konsekuensi yang harus diterima oleh Prabu Ra Kuti, namun setidaknya Ra Kuti berhasil mencatatakan sejarah, bahwa dirinyalah satu-satunya pemberontak yang berhasil dengan gemilang menguasai Kerajaan Majapahit, bahkan sempat menjadi Maharaja Majapahit.
Ya, bila diaktualisasikan dengan kepemimpinan dimasa kekinian, inilah sejatinya bagaimana dampak dan akibatnya bila seorang pemimpin itu berlaku inkonsisten.
Pemimpin inkonsisten itu adalah pemimpin yang tidak mampu memegang kata-katanya, tidak berpendirian ataupun plin-plan, berperilaku lain di mulut, tapi lain pula pada tindakan.
Pemimpin yang suka plin-plan dalam bersikap sangat berisikio mempengaruhi efektifitas kepemimpinannya, karena visi dan misinya tidak jelas, dan umumnya pemimpin yang seperti ini tidak mampu memahami antara kepentingan kelompok dengan kepentingan pribadi, sehingga karenanya, menimbulkan 'discard' atau kehilangan kepercayaan.
Seorang pemimpin itu adalah mewakili orang banyak, bukan hanya mewakili pribadi, sehingga dalam mengambil kebijakan atau keputusan harus berdasarkan atas kepentingan orang banyak.
Jika pemimpin sering inkonsisten, maka dampak yang paling parah adalah kehilangan arah dalam menyikapi berbagai masalah hingga akhirnya kehilangan rujukan yang menjadi dasar di dalam menyikapi berbagai masalah sebagai patokan yang jelas di dalam kepemimpinan.
Mengambil keputusan yang tepat memang tidaklah mudah, sangat perlu banyak pertimbangan sebelum memutuskan sebuah kebijakan ataupun aturan.
Pada dasarnya, para bawahan itu akan selalu mematuhi aturan atau keputusan yang ditelurkan ataupun diputuskan oleh seorang pemimpin, karena mereka percaya bahwa hal tersebut akan sangat baik.
Namun tentunya akan sangat berbeda jika kebijakan ataupun aturan tersebut dikeluarkan, tapi ternyata lain di mulut lain di tindakan, alias tidak konsisten dan penuh keraguan.
Jika sikap seorang pemimpin adalah seperti itu, maka sudah pasti bisa ditebak bagaimana akhirnya sikap para bawahannya menanggapi kebijakan dan aturan tersebut.
Yang jelas, bila seorang pemimpin tidak konsisten dalam mengambil keputusan, selain akan berakibat dan berdampak buruk pada bawahannya sendiri, tentunya akan menghambat pula tercapainya tujuan sebuah organisasi.
Karena pada akhirnya, keputusan yang tidak konsisten akan membuat kredibilitas seorang pemimpin jatuh, sehingga para bawahannya tidak akan mempercayainya lagi.
Dan tentunya akan semakin berdampak dan berakibat juga pada dirinya sendiri, karena bisa membawa seorang pemimpin seenaknya dalam memimpin hingga akhirnya jadi otoriter dan lalim.
Jadi, kalau kembali lagi dikaitkan dengan kepemimpinan Prabu Ra Kuti, maka begitulah kira-kiranya kepemimpinan dirinya, Prabu Ra Kuti adalah satu contoh pemimpin yang tidak patut diteladani, karena dirinya jadi Maharaja justru sering berlaku inkonsisten.
Sehingga akhirnya Prabu Ra Kuti jadi kehilangan arah dan membawanya kepada pola kepemimpinan yang otoriter, bengis, kejam, keji dan lalim dan pada akhirnya dirinya menerima akibatnya, berhasil ditumpas oleh Gajah Mada dan sirna dari muka bumi ini.
Demikianlah artikel ini, semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa dipetik.
Referensi terbuatnya artikel, dari membaca artikel terkaitnya, via tirto.id, historia.id, dan wikipedia.
Salam hangat.
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H