Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Haruskah Politik dan Kekuasaan Diracuni oleh sadisnya "Pembunuhan Karakter"?

24 Desember 2020   17:54 Diperbarui: 24 Desember 2020   17:59 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar via Kastara.id

Haruskah politik dan kekuasaan diracuni oleh sadisnya pembunuhan karakter?

Ya, begitulah kiranya pertanyaan penulis berdasar pengamatan atas dinamika politik, demokrasi dan kekuasaan yang sedang berlangsung di negeri ini.

Strategi politik yang diterapkan oleh para politisi dan Parpol secara umunya memang bermacam-macam, ada strategi politik identitas, politik dua kaki, politik dagang sapu dan berbagai strategi tetek bengek lainnya yang sejenis.

Yang jelas, dari semua strategi tersebut, memunculkan panggung dan status politiknya masing-masing, baik itu memunculkan pihak yang menang ataupun pihak yang kalah, hingga memunculkan pihak koalisi dari kedua belah pihak ataupun munculnya pihak opisisi dan lawan politik.

Dan hal ini adalah masaih dalam hitungan wajar dalam tatanan demokrasi dan dinamika politik, yang pada praktiknya di lapangan terjadi saling adu panggung, saling adu argumen, saling adu kritik, saling bersaing, saling bertarung di antara Parpol maupun para politisinya.

Namun demikian, dari sudut pandang penulis, ternyata dari sekian jenis strategi yang dijalankan tersebut, penulis menemukan satu fenomena aneh ataupun cara yang dirasa kurang fair dan terkesan amat licik serta tidak beradab yang terlahir dari berstrategi politik ini.

Ya, fenomena aneh tersebut adalah pembunuhan karakter atau perusakan reputasi, yaitu dengan melakukan usaha-usaha ataupun cara tidak beradab untuk saling mencoreng reputasi.

Praktik yang terjadi meliputi seperti, pernyataan yang melebih-lebihkan atau manipulasi fakta untuk memberikan citra yang buruk, menyudutkan, memprovikasi, memfitnah, menjelek-jelekan, merekayasa, mempersekusi yang dilakukan dalam rangka saling menghancurkan reputasi.

Umumnya, bila melihat dari catatan sejarah, pembunuhan karakter ini lebih dominan digunakan oleh pihak penguasa ataupun pihak pemenang dalam kontestasi demokrasi politik.

Dari pandangan penulis, sejarah pernah mencatat, bahwa praktik pembunuhan karakter dalam politik ini pernah dimainkan secara kejam dan biadab oleh Rezim Orde Baru.

Bila bisa mundur mengingat sejenak kebelakang, bagaimana kejam dan biadabnya Rezim Orde Baru membungkan lawan-lawannya dalam berkuasa.

Seperti, kalau ada saja yang sedikit yang berseberangan akan dimatikan karakternya, dibungkam agar tidak melawan, bahkan bisa hilang entah di mana rimbanya.

Setelah Rezim Orde Baru tumbang, seiring itu juga secara perlahan praktik kejam pembunuhan karakter ini dapat berkurang dan dihilangkan.

Kaitannya dengan itu, dari situasi aktual dan faktual beberapa tahun belakangan ini, nampaknya praktik cara-cara pembunuhan karakter ini sudah mulai terlihat kembali.

Sedikit demi sedikit semakin kentara dan terkuak nyata, bahwa di negeri kita Indonesia belakangan ini, praktik pembunuhan karakter ini sudah mulai menggejalai pihak penguasa dan pihak pemenang demokrasi politik.

Artinya dalam hal ini, kalau melihat perkembamgannya dan perjalanannya, dapat dikatakan, bahwa pemerintahan Jokowi dan pihak koalisi parpol yang berdiri di belakangnya, nampaknya sedikit banyaknya sudah mulai menerapkan cara-cara pembunuhan karakter ini.

Sudah mulai terlihat penguasa saat ini mempraktikan pembunuhan karakter dengan segala cara, baik itu kepada lawan politik ataupun pihak yang berseberangan dan pihak lainnya yang mengkritisi penguasa yang sedang menjalankan roda pemerintahan.

Sedikit saja ada yang tidak sejalan dengan penguasa maka dengan segala daya dan upaya akan dibungkam, reputasinya akan dihancurkan, agar tidak lagi melawan, pokoknya apapun itu alasannya, penguasa harus menang, penguasa adalah benar.

Nah dari sini pun, penulis jadi teringat bagaimana statemen yang pernah keluar dari mulut Menkominfo RI, Johny G. Plate, yang berkata dengan keras terkait UU Cipta Kerja silam, yaitu "Kalau pemerintah sudah bilang itu hoaks ya hoaks, kenapa harus dibantah lagi".

Coba saja kalau statemen tersebut disinonimkan seperti begini, "Kalau penguasa bilang itu hoaks ya hoaks, kenapa harus dibantah lagi.

Nah, dari sini saja bisa tergambar, bagaimana pun ceritanya penguasa harus selalu menang dan penguasa itu harus selalu benar, tidak boleh ada pihak lain yang membantah dan boleh melawan penguasa.

Jangan coba-coba melawan penguasa, karena bisa dilihat di lapangan, nasib para penentang UU Cipta Kerja yang silam, dibungkam, bahkan ada yang ditangkap dengan segala tuduhan.

Satu contoh penjabaran tersebut masihlah satu di antara sekian banyaknya gejala-gejala yang mulai sangat terasa sekarang ini.

Secara perlahan ternyata pemerintahan Jokowi yang sedang berkuasa saat ini, sudah mulai terasa mengadopsi, cara-cara pembunuhan karakter ala Rezim Orde Baru dalam rangka membungkam dan menghancurkan reputasi bila tidak sejalan dengan pemerintahan.

Bahkan sebenarnya, kalau ditilik lebih mendalam lagi, tidak hanya soal menerapkan cara-cara pembunuhan karakter saja.

Belakangan ini rasa-rasanya, gejala keotoriteran pemerintahan Jokowi juga sudah mulai nampak dan hampir-hampir mulai mengadopsi cara Rezim Orde Baru berkuasa.

Secara umumnya dari pandangan Ipoleksosbudhankam gejala atau praktik pembunuhan karakter ini sebenarnya sangat rentan dan berpotensi membahayakan negara.

Apalagi hingga berlangsungnya dua periode pemerintahan Jokowi ini, polarisasi rakyat yang jadi korban kecelakaan kesumat dendam politik masih terbentuk.

Aroma polarisasi rakyat masih meniupkan ujaran kemurkaan, yang memicu dan menyuburkan letupan-letupan kebencian, akibat terpendamnya kesumat dan dendam politik.

Ditambah lagi, kalau melihat bagaimana jalannya kekuasaan pemerintahan Jokowi yang sudah mulai terasa aneh dan ada gejala otoriter ini, bukan tidak mungkin rakyat yang dahulunya ataupun sebelumnya secara taklid buta mendukung pemerintahan Jokowi, justru berbalik beralih menentangnya.

Nah, kalaulah pemerintahan Jokowi sebagai pemerintah yang sedang berkuasa saat ini tidak segera mengambil sikap bijak dan elegan, bisa saja suatu saat terjadi ledakan amarah rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa bisa akan pecah berantakan.

Sebab, Warganegara lah yang merasakan secara realita di lapangan, bagaimana jalannya pemerintahan yang berkuasa itu, lebih berpihak kepada rakyat kah ataukah berpihak pada kepentingan politik ataupun kepentingan tertentu.

Warganegara tentu bisa menilai secara kritis, bila pemerintah yang berkuasa sudah mulai terasa gejala aneh hingga melenceng dari amanah konsitusi dan rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan.

Oleh karena itu, berkaitan dengan mulai tampaknya gejala dan adanya praktik pembunuhan karakter dalam berkuasa ini, semoga kiranya pemerintahan Jokowi sebagai pemerintahan yang sedang berkuasa saat ini agar seyogianya dapat bijak hati menginstrospeksinya dan mengevaluasinya.

Dalam menyatukan visi dan misi penguasa untuk berjuang bersama tentu saja boleh dan sah-sah saja, namun demikian bukan berarti harus memaksakan kehendak dalam berkuasa, bahkan menerapkan pembunuhan karakter secara membabi buta kepada yang tidak sejalan dengan penguasa.

Setiap perhelatan dinamika politik dan panggung demokrasi, tentu akan melahirkan perbedaan, menciptakan lawan politik, oposisi dan pihak penentang maupun pengritik penguasa, dan hal ini adalah bagian dan konsekuensi dari dinamika demokrasi dan politik.

Tapi entahlah, karena bagaimana pun kedepannya, apakah penguasa saat ini semakin membaik atau semakin buruk dan apakah justru jadi otoriter, tentu ada ditangan para punggawa-punggawa dari penguasa itu sendiri.

Yang jelas dalam hal ini, Warganegara bukanlah bodoh dan dapat dibodohi dengan segala tipu daya, diakali dibawa berkuasa tapi dikuasai dengan jalan mengutamakan kepentingan politik dan kepentingan tertentu.

Karena Warganegara pasti awas soal itu, pasti kritis dan menentang penguasa, apalagi kalau mengetahui realita terpahit dan menyakitkan, bahwa Warganegara hanya dijadikan sebagai obyek kekuasaan para penguasa semata. Camkan!.

Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun