Pantas saja kalo rakyat jadi gaduh ataupun ribut dan murka, kalo kelakuan anggota DPR yang notabene Wakil Rakyat justru takbisa diandalkan dan takdapat dipanut.
Sehingga jadi pantaslah juga bila dikatakan, bahwa UU Omnibus Law Ciptaker, adalah merupakan UU "paling aneh" sedunia.
***
Ya, pengesahan beberapa RUU jadi Undang-undang hingga terakhir adalah RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR, merupakan gambaran nyata praktik buruk legislasi dan bahkan merupakan praktik nyata pencideraan legislasi, bahkan lebih parahnya lagi, hal ini adalah yang terus berulang untuk kesekian kalinya.
Lihat saja, bagaimana proses pengesahan UU Minerba, revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU MD3 dan revisi UU Mahkamah Konstitusi.
Praktik buruk legislasi DPR sampai dengan beberapa UU sebelumnya hingga proses pembentukan UU Cipta Kerja ini, telah menunjukan bukti, bahwa DPR tidak sedang menjalankan dengan baik fungsi legislasi yang dimilikinya. DPR justru terkesan menjalankan perannya hanya sebagai pemberi stempel terhadap kebijakan pemerintah.
Kontrol-kontrol terhadap usulan berbagai materi Undang-Undang, termasuk Omnibus Law Cipta Kerja dari Pemerintah dan Presiden tidak dijalankan secara optimal.
Lebih ironi lagi, DPR terbukti telah menciderai atau bahkan melenceng dari fungsi repesentasinya, karena pembahasan RUU dilakukan kurang membuka dialog dengan publik secara terbuka, kurang transparan dan kurang mendengar aspirasi publik.
Proses legislasi DPR lebih sering dilakukan secara tergesa-gesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi. Padahal transparansi dan partisipasi publik menjadi warna yang tidak dapat dihilangkan dalam proses pembentukan berbagai Undang-Undang.
Tertutupnya ruang demokrasi, setidaknya bisa diambil contoh yang tergambar dari proses legislasi RUU Omnibus Law Cipta Kerja, lihat saja faktanya, pembahasan RUU dilakukan pada masa reses dan di luar jam kerja.
Lalu, tidak adanya draf RUU final dan risalah rapat yang bisa diakses oleh masyarakat dan disebarluaskan kepada masyarakat.