Di sinilah yang menjadi latar belakang dan jadi indikatornya, bahwa PKI memang jelas terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan diyakini sebagai kup yang dilakukan oleh "Dewan Revolusi" yang didalangi oleh PKI beserta Biro Khusus yang mereka miliki dalam rangka membina militer.
Gerakan tersebut pada akhirnya jadi suatu revolusi sosial yang gagal, yang disebabkan karena aspek sistemik jangka panjang buah dari pergeseran pola strategi PKI yang mengkombinasikan pola pro-Moskow dan pro-Peking, yang hanya mempunyai dua hasil, yaitu berhasil menghancurkan atau jadi dihancurkan, sukses total atau gagal total. Â
Pola "kontradiksi dan negasi" untuk memonopoli kekuasaan, dengan jalan kekerasan oleh PKI mendapat tentangan dari masyarakat yang anti-PKI.
Seiring waktu pasca peristiwa G30S, memunculkan ledakan konflik antara masyarakat Pro-PKI dan masyarakat Anti-PKI diseluruh daerah di Indonesia, yang mana masyarakat Anti-PKI bersuara untuk menghancurkan PKI.
Pasca peristiwa G30S, upaya Agitasi Propaganda (Agitprop) gagal dibangun oleh PKI, sehingga tak mampu mengimbangi kekuatan yang menyuarakan Anti-PKI.
Apalagi telah terjadi penafsiran, bahwa PKI jelas-jelas telah terlibat dalam G30S, tapi tidak segera dibubarkan  oleh Soekarno.
Sehingga tindakan masyarakat dan pihak Anti-PKI yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharto dalam penghancuran PKI tersebut dimaksudkan sebagai jalan pintas untuk melumpuhkan PKI.
Munculnya opini PKI tidak terlibat.
Pada perkembangan berikutnya, muncul opini dan doktrin bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa G30S, bahwa penghancuran PKI dianggap telah melanggar asas kemanusiaan karena terjadi genosida.
Munculnya opini dan doktrin ini, tetap harus dilihat dalam bingkai besar situasi masyarakat pada saat itu.