Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Kudeta Tersamar" terhadap Soeharto, Sebuah Misteri di Balik Reformasi?

17 September 2020   13:21 Diperbarui: 17 September 2020   13:27 2666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998 | Dokumen via Kompas.com

Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri, sekaligus menjadi catatan monumental, sebagai penanda berhasilnya agenda reformasi.

Ya, reformasi berdarah yang mencatatkan gugurnya empat Mahasiswa sebagai pahlawan reformasi, tercatat pada tanggal 12 Mei 1998, telah gugur di antaranya adalah, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.

Bahkan, tak sedikit juga ribuan nyawa rakyat yang melayang, akibat kerusuhan massa, yang turut mewarnai peristiwa reformasi ini.

Pada perkembangannya seiring waktu, ada misteri yang menyertainya, bahwa dibalik keberhasilan reformasi tersebut, ada dugaan terkait keterlibatan para aktor di balik layar, yang melakukan "kudeta tersamar" atau penggulingan terhadap Presiden Soeharto.

Lalu bagaimanakah analisanya, bahwa ada sebuah misteri dibalik reformasi, terkait kudeta tersamar (penggulingan) terhadap Soeharto tersebut?

Tahun 1997 - 1998, merupakan fase yang sangat genting bagi Orde Baru terkait munculnya tuntutan perubahan.

Pada tahun-tahun tersebut, aktivitas-aktivitas politik yang sedang berlangsung menjelaskan dinamika politik, khususnya bagaimana kepentingan-kepentingan politik tersebut saling bertautan, karena tahun 1997 merupakan tahun politik.

Penyelenggaraan pemilihan umum berlangsing panas, transisi politik penuh intrik, terjadi krisis moneter, hingga memicu demonstrasi Mahasiswa dan kerusuhan massa.

Sehingga memberi tensi yang menunjukkan bentuk bahasa politik yang mendistorsi sumber legitimasi Orde Baru, untuk menggeser kepercayaan rakyat terhadap Soeharto.

Bagaimana satu isu dengan isu lain saling bersaing dan bertentangan, sekaligus menunjukkan bagaimana bahasa retorika digunakan untuk melakukan seleksi, refleksi, dan defleksi (pembelokan), terhadap realitas yang disesuaikan dengan kepentingan politik.

Para politisi partai tidak hanya mempersiapkan peran yang mempunyai signifikansi politik, tetapi sekaligus menempatkan diri sebagai agen perubahan sosial, dalam gerakan aksi mahasiswa.

Pada perkembangannya kepemimpinan Soeharto mulai goyah, seiring kekuasaannya yang mulai goyah tersebut, terbentuk retorika yang menyoal keterlibatan anak-anak Soeharto dalam bisnis dan perdagangan, sehingga jadi isu pembentukan opini dengan tuduhan kolusi, korupsi dan nepotisme.

Ditambah juga fakta terjadinya pemberedelan sejumlah media massa, corak pemerintahan yang militeristik hingga kebijakan shock treatment.

Krisis ekonomi makin menjadi, banyak PHK massal, harga kebutuhan rakyat naik sangat tinggi, mata uang negara makin jatuh nilainya, sehingga rakyat makin susah.

Bahkan semakin diperparah dengan kearogansian kekuasaan, untuk campur tangan dan mengontrol partai politik, adanya massa mengambang, masa jabatan presiden yang tidak jelas, rekrutmen politik yang diwarnai like and dislike, dan stabilitas politik yang represif.

Karena itu sumber-sumber tuntutan juga mencakup pencabutan terhadap produk Undang-Undang Politik, amendemen UUD 1945, dan penghapusan Dwifungsi ABRI, yang dipakai untuk membuka proses demokratisasi politik yang luas.

Pada perkembangan selanjutnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan kepada presiden Soeharto, karena tidak mampu mengatasi krisis berkepanjangan tersebut.

Tahun 1998 tanda-tanda krisis semakin jelas ketika fundamental ekonomi Orde Baru mulai goyah dan tidak mampu mengatasi krisis moneter.

Akhirnya demonstrasi dan kerusuhan merebak di mana-mana, lantaran krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1998.

Orde Baru akhirnya pun jatuh ketika tidak mampu mengendalikan fluktuasi rupiah terhadap dollar AS, membengkaknya utang swasta terhadap pihak asing, meningkatnya pengangguran, perbankan yang tidak sehat, inflasi yang tinggi, menipisnya cadangan devisa, jatuh tempo pengembalian utang yang dilakukan pihak swasta dan pemerintah yang mencapai 110 miliar dollar AS, terjadinya defisit transaksi sektor jasa dan lemahnya regulasi yang mengatur perbankan.

Faktor ini akhirnya bersimultan dengan demonstrasi dan kerusuhan seiring tuntutan Mahasiswa dan masyarakat, sehingga menjadi fakta penjelas terjadinya perubahan kekuasaan pada tahun 1997 sampai 1998, bahwa aksi demonstrasi, kerusuhan dan kekerasan yang terjadi, bukanlah hanya sekedar kekacauan dan ketidakpatuhan yang memberi tekanan terhadap pemerintah yang dinilai otoriter.

Karena saling bersimultan dengan elemen-elemen kepentingan lain yang menghendaki perubahan secara signifikan, yaitu meningkatnya tekanan para oposisi terkait kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai krisis dengan bersikap kritis dan tajam terhadap jalannya pemerintahan Orde Baru.

Dalam berkomunikasi mereka memanfaatkan retorika untuk melakukan pencitraan yang bersifat kontraproduktif, sebagai kekuatan komunikasi di dalam gerakan demokratisasi, mereka juga memanfaatkan celah-celah kegagalan kebijakan pembangunan untuk melakukan pencitraan yang bersifat kontraproduktif.

Di sinilah dinamika komunikasi politik mendistorsi pola komunikasi yang memberi pengakuan dan penolakan terhadap Soeharto.

Hal ini dapat dilihat dari
pesan-pesan yang dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan para politisi dan pihak oposisi, dalam menyuarakan perubahan yang dikontradiksikan dengan paradoks-paradoks yang sedang berlangsung.

Masalah-masalah seperti konsensus, sosialisasi, legitimasi, konflik, otoritas, dan kekuasaan dilakukan sebagai muatan retorika dalam berkomunikasi.

Retorika mereka bekerja pada level opini di dalam bentuk-bentuk komunikasi politik, di mana hasrat prasangka lebih dominan, sehingga retorika menjadi lebih efektif dari pada memberikan pertimbangan alasan-alasan tertentu yang rasional.

Retorika juga menjadi cara untuk melakukan viktimasi terhadap pemerintah sebagai kondisi negatif, penerapannya terlihat dari berbagai bentuk antitesis yang dikembangkan dengan memproduksi pernyataan-pernyataan antitesis yang dimanipulasikan sebagai dialektik, sehingga kredibilitas Presiden Soeharto dipudarkan dengan berbagai bentuk isu.

Proses distorsi terhadap kredibilitas terhadap kapasitas Presiden Soeharto itu telah sangat matang, dengan adanya penggabungan antara kekuatan appeal to reason dan appeal to emotion.

Kontestasi dan konstelasi makna retorika terhadap reformasi jadi konstruksi perubahan terkait nilai-nilai yang diperjuangkan dari perubahan itu sendiri.

Di sinilah terdapat tautologi, adanya aktor di balik layar yang menggulingkan Soeharto, karena mereka mempunyai kepentingan dan tujuan politis.

Karena kejadian-kejadian kerusuhan massa yang terjadi, tidak dapat dilepaskan dari kejadian-kejadian lain, seperti aksi dan demonstrasi Mahasiswa.

Sehingga membentuk proses formatif, bahwa di dalam setiap kejadian ditandai adanya tindakan-tindakan komunikasi yang mencerminkan motif-motif tindakan secara keseluruhan, masing-masing pihak berusaha menentukan "definition of critical" terhadap isu yang diperdebatkan dalam upayanya memenangkan persaingan komunikasi.

Pada akhirnya para aktor di balik layar meretorikakan kerusuhan-kerusuhan massa yang disertai dengan penjarahan, pembakaran, pengrusakan yang menimbulkan korban luka-luka dan kematian, dinyatakan sebagai akibat adanya kekerasan struktural.

Tujuannya adalah menjadikan sumber kesalahan, bahwa pelaku dalam radikalisasi massa adalah pemerintah itu sendiri, sebagai kekerasan yang termanifestasikan, bahwa pemerintah melakukan berbagai kekerasan terhadap warganegaranya.

Jadi kesimpulannya, interpretasi terhadap tuntutan reformasi di Indonesia, tidak hanya dapat dipahami dan dimaknai pada sebatas upaya untuk melakukan perubahan dengan agenda-agenda reformasi saja. Tetapi lebih ditentukan oleh kebersinergian kejadian-kejadian, sebagai setting yang dimatangkan oleh tindakan-tindakan dari berbagai kalangan dan para aktor di balik layar, yang menyertakan motif untuk memberi tekanan terhadap pemerintah Orde Baru.

Sebab, terdapat banyak momentum kejadian-kejadian penting yang melibatkan perbedaan kepentingan yang kuat antara komponen-komponen penggerak reformasi dan para aktor di balik layar.

Antara konteks satu dengan konteks yang lain, mematangkan gagasan suatu tindakan dari para aktor di balik layar, untuk melakukan tuntutan reformasi yang disandingkan dengan fragmentasi orientasi kepentingan dan kekuasaannya.

Sehingga tuntutan reformasi dibangun dalam tuntutan yang disatukan oleh satu tujuan yang sama, yaitu menempatkan Presiden Soeharto sebagai sasaran dan target untuk digulingkan dari kekuasaannya.

Di sinilah kiranya yang pada akhirnya melatarbelakangi alasan, terkait adanya misteri tersebut, bahwa sejatinya ada kudeta tersamar di balik berhasilnya agenda reformasi tersebut.
***

Sigit Eka Pribadi.

Referensi berbagai sumber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun