Pada perkembangannya kepemimpinan Soeharto mulai goyah, seiring kekuasaannya yang mulai goyah tersebut, terbentuk retorika yang menyoal keterlibatan anak-anak Soeharto dalam bisnis dan perdagangan, sehingga jadi isu pembentukan opini dengan tuduhan kolusi, korupsi dan nepotisme.
Ditambah juga fakta terjadinya pemberedelan sejumlah media massa, corak pemerintahan yang militeristik hingga kebijakan shock treatment.
Krisis ekonomi makin menjadi, banyak PHK massal, harga kebutuhan rakyat naik sangat tinggi, mata uang negara makin jatuh nilainya, sehingga rakyat makin susah.
Bahkan semakin diperparah dengan kearogansian kekuasaan, untuk campur tangan dan mengontrol partai politik, adanya massa mengambang, masa jabatan presiden yang tidak jelas, rekrutmen politik yang diwarnai like and dislike, dan stabilitas politik yang represif.
Karena itu sumber-sumber tuntutan juga mencakup pencabutan terhadap produk Undang-Undang Politik, amendemen UUD 1945, dan penghapusan Dwifungsi ABRI, yang dipakai untuk membuka proses demokratisasi politik yang luas.
Pada perkembangan selanjutnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan kepada presiden Soeharto, karena tidak mampu mengatasi krisis berkepanjangan tersebut.
Tahun 1998 tanda-tanda krisis semakin jelas ketika fundamental ekonomi Orde Baru mulai goyah dan tidak mampu mengatasi krisis moneter.
Akhirnya demonstrasi dan kerusuhan merebak di mana-mana, lantaran krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1998.
Orde Baru akhirnya pun jatuh ketika tidak mampu mengendalikan fluktuasi rupiah terhadap dollar AS, membengkaknya utang swasta terhadap pihak asing, meningkatnya pengangguran, perbankan yang tidak sehat, inflasi yang tinggi, menipisnya cadangan devisa, jatuh tempo pengembalian utang yang dilakukan pihak swasta dan pemerintah yang mencapai 110 miliar dollar AS, terjadinya defisit transaksi sektor jasa dan lemahnya regulasi yang mengatur perbankan.
Faktor ini akhirnya bersimultan dengan demonstrasi dan kerusuhan seiring tuntutan Mahasiswa dan masyarakat, sehingga menjadi fakta penjelas terjadinya perubahan kekuasaan pada tahun 1997 sampai 1998, bahwa aksi demonstrasi, kerusuhan dan kekerasan yang terjadi, bukanlah hanya sekedar kekacauan dan ketidakpatuhan yang memberi tekanan terhadap pemerintah yang dinilai otoriter.
Karena saling bersimultan dengan elemen-elemen kepentingan lain yang menghendaki perubahan secara signifikan, yaitu meningkatnya tekanan para oposisi terkait kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai krisis dengan bersikap kritis dan tajam terhadap jalannya pemerintahan Orde Baru.