Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dear Girls, Jadi Atasan Jangan Gampang Banget Baperan, Ini Tipsnya

2 Juli 2020   18:19 Diperbarui: 2 Juli 2020   18:12 1928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Hai girls, kamu wanita yang sudah jadi atasan, tapi masih belum diakui secara penuh sebagai atasan karena sebab gender kamu?

Apa lagi ketika para bawahan kamu ternyata lebih banyak para kaum pria nya dibandingkan dengan yang wanita nya.

Ya, memang sih tidaklah mudah bagi kamu girls, ketika pada saatnya dalam menapaki jenjang karir akhirnya kamu dipercaya untuk mengemban amanah menjadi seorang atasan di kantor.

Disadari atau tidak disadari, diakui atau tidak diakui, memang dirasakan hegemoni patriarki para kaum pria masih saja berlaku ketika pada saatnya wanita menjadi seorang atasan.

Karena secara umumnya, kebiasaan dan budaya yang berlaku itu, para bawahan yang pria tidak akan langsung mau begitu saja untuk mengakui dan menerima bahwa atasannya ternyata adalah seorang wanita.

Para pria masih merasa lebih bergengsi, lebih dominan ataupun masih merasa yang lebih unggul meski atasannya adalah seorang wanita, padahal sebenarnya tidak boleh berlaku seperti itu, para pria seharusnya tetap loyal meski atasannya adalah seorang wanita.

Yang lebih jadi soal lagi adalah kalau sudah menyangkut pembawaan hati dan perasaan, karena yang jelas hati dan perasaan wanita itu sangat halus dan peka sekali.

Sehingga apa-apa yang dirasa nggak nyaman dan nggak berkenan soal pekerjaan terkadang langsung peka dan gampang dan mudah banget terbawa ke dalam perasaan, bahkan terkadang wanita hanya bisa memendam goresan lukanya tersebut dalam hati.

Dititik inilah girls, terkadang justru membuat wanita yang sudah menjadi seorang atasan pada akhirnya jadi tidak mampu menunjukkan kompetensinya dalam memimpin karena kalah pengaruh atau terpengaruh dengan dominasi para kaum pria yang jadi bawahannya serta seringkali terlalu peka dalam pembawaan hati dan perasaan.

Nah girls, tentu saja kamu bakalan nggak mau kan kalau hal ini terjadi pada dirimu, sehingga kalau kamu menghadapi situasi seperti ini, jangan pernah patah semangat dulu ya girls.

Karena tentu ada cara yang bisa kamu lakukan, bagaimana meracik leadership tersebut, bagaimana agar kamu bisa dianggap atau diakui oleh para pria yang menjadi para bawahan kamu.

Bagaimana agar pembawaan perasaaan dan hati kamu bisa tangguh dan kuat, tidak mudah terluka dengan hal-hal yang menggoreskannya berkaitan dengan pekerjaan dan hegemoni patriarki kaum pria.

Lalu bagaimana sih caranya membangun leadership bagi  wanita yang sudah jadi seorang atasan tersebut?


Jadi begini ya girls, sebelum berlanjut lebih jauh, penulis ingin menerangkan terlebih dahulu, bagaimana pola leadership yang diterapkan oleh seorang Manager HRD dan juga seorang Music and Announcer Director di perusahaan radio milik penulis yang posisinya di kepalai oleh wanita.

Nah, kita ke bagian Manager HRD dulu ya girls, sebelumnya dia ini adalah seorang wanita yang berkarakter introvert, bahkan sangat pendiam, tertutup, dan terlihat baperan, hingga terlihat kurang memiliki power dan energi.

Tapi ternyata karakter introvert dan beberapa hal yang menyertainya dan menjadi kepribadiannya tersebut hanya merupakan fatamorgana saja, kelihatannya saja casing nya begitu, ternyata dibalik itu semua dia adalah wanita yang sangat berpotensi dan berbakat.

Dia memiliki rancangan ide dan inovasi yang briliyan, fokus pada pekerjaannya, selalu memiliki power dan energi yang kuat dalam menunaikan pekerjaan sampai benar-benar tuntas.

Dan ternyata dia juga memiliki mental baja dan tidak segan untuk turut berkontribusi dalam hal pekerjaan di bidang yang lainnya.

Hingga pada akhirnya karena kinerja dan kontribusinya yang ajeg dan konsisten tersebut, manajemen memutuskan mempromosikan dia untuk mengepalai bidang personalia atau Manager HRD di kantor.

Pada posisi ini ternyata sesuai dengan tenggat waktu yang ditargetkan oleh manajemen, dia sudah bisa berhasil untuk beradaptasi dan mengerti bagaimana dia memposisikan diri sesuai job desk nya, artinya juga disini dia telah menemukan dan memiliki pola leadership nya sesuai job desk nya.

Hal ini juga tidak jauh beda dengan seorang karyawan kantor lainnya yang juga posisi leader nya dikepalai oleh wanita yaitu posisi Music and Announccer Director atau kepala bidang musik dan penyiaran.

Bedanya hanya dari sisi karakternya saja, karena lebih ekstrovert yaitu lebih supel, luwes, lincah, energik dan familiar, ya ini biasanya karena dari latar belakang sebelumnya sebagai penyiar dan ancour.

Pada saat dipromosikan jadi Music and Announcer Director, sesuai target yang diperkirakan manajemen, dia dapat cepat beradaptasi sesuai job desk nya, dia bisa memimpin, membimbing penyiar lainnya, bisa mengelola musik sesuai segmen dan program acara, bisa saling koordinasi dengan para kepala bagian diantaranya seperti bagian program acara, traffic, periklanan, IT, dan produksi yang kesemuanya posisi yang penulis sebut ini di tempati oleh pria.

Nah, artinya mereka berdua ini mampu memimpin dan berkoordinasi dengan para pria, mereka berdua mampu menerapkan leadership nya dengan baik dan setelah penulis amati, menilai dan menyimpulkannya, maka disinilah penulis menemukan beberapa pola leaderahip mereka yang bisa penulis referensikan buat kamu nih girls, di antaranya yaitu;

Pertama, menguatkan pancaran inner beauty dan aura pembawaan diri.

Inner beauty terkadang disalah artikan karena seringkali hanya bicara soal pancaran kecantikan secara fisik atau penampilan luar wanita saja, memang benar paras kecantikan wanita juga turut berperan tapi disini maksudnya tidak harus wajib cantik secara fisik.

Jadi tidaklah harus seperti itu, karena sejatinya inner beauty itu merupakan pancaran kecantikan yang berasal dari dalam diri yang mampu memberi energi positif yang berdampak pada sekitar.

Begitu juga soal aura pembawaan diri yang harus kuat, seperti gerak-gerik bahasa tubuh, garis dan air muka yang harus memancarkan aura kharismatik seorang pemimpin.

Nah, bisa dilihat bagaimana inner beauty seorang Bu Khofifah, Gubernur Jatim, atau Bu Risma, Walikota Surabaya, inner beauty mereka berdua tidak kalah dengan pancaran inner beauty dokter Reisa, tim komunikasi gugus tugas Covid-19.

Bukan juga ini berarti membandingkan ukuran soal kecantikan fisik di antara ketiganya, tetapi ini soal bagaimana pancaran inner beuaty dan pembawaan diri masing-masing.

Nah, kalau dokter Reisa pancaran energi inner beauty nya dan tampilan aura pembawaannya sangat dipengaruhi paras kecantikan secara fisik, namun kalau bu Khofifah dan bu Risma pancaran energi inner beauty nya dan tampilan aura pembawaannya terletak pada power nya yang kuat dan memiliki impact dari energi positif yang dikeluarkannya.

Nah, begitu juga halnya dengan kedua karyawan wanita yang penulis jabarkan pada artikel ini, yang satu orangnya introvert dan tidak good looking, tapi dia mampu menguatkannya dengan pancaran energi positif dan power yang kuat dan sangat berdampak, begitu pula pada karakter dan aura pembawaannya secara fisik tetap stabil dan selalu mampu menempatkan dirinya.

Sedangkan yang satunya lagi, orangnya ekstrovert dan memang good looking, tapi dia bisa menguatkan energi positifnya melalui tampilan kecantikan secara fisik yang diimbanginya dengan kesupelannya, keaktifannya dan keluwesannya yang selalu powerfull dan energik.

Jadi, disinilah kiranya yang bisa direferensikan dari mereka berdua bagaimana untuk menguatkan ke khas-an inner beauty, karakter dan aura pembawaannya masing-masing dalam rangka menerapkan leadership.

Kedua, mengkombinasi dan mengimprovisasi poin pertama dengan kemampuan public speaking dan public relation yang smart.

Sebenarnya kemampuan tata bicara, gaya bicara, tata bahasa atau secara umumnya dalam hal komunikasi yang berkaitan dengan public speaking, sejatinya wanita lebih unggul dari kaum pria.

Begitu juga halnya dalam public relation atau menjalin sinergitas hubungan antara orang per orang sebenarnya wanita lebih mudah mengkondisikan dan membangunnya.

Jadi, tinggal dikombinasikan saja dengan inner beauty dan aura pembawaan diri masing-masing, sehingga disinilah pengaruh dan peforma kepemimpinan itu semakin nampak kuat dan memancarkan energi positif dan power yang semakin kokoh, karena selalu memanfaatkan dan mengoptimalkan keunggulan public speaking dan public relation tersebut dengan bijak dan santun.

Ketiga, selalu self awareness dan visioner.

Ya, seperti yang sudah juga penulis sampaikan, bahwa hati dan perasaan wanita itu sangat peka dan halus, maka girls, untuk menguatkan leadership ini, kamu harus selalu self awareness dan visioner.

Kamu jangan pernah surut dan mudah banget jatuh terbawa ataupun terlampau peka soal hati dan perasaan ini, memang sih ini tidak mudah bagi kamu.

Namun demikian kalau kamu mampu selalu self awareness yaitu bisa merefleksi diri dengan memanajemen hati dan perasaan untuk selalu kuat dan visioner menghadapinya, maka kamu akan bisa mengontrol berbagai tekanan yang mempengaruhi dan membebani emosional dan pikiran kamu agar tidak berdampak pada hati dan perasaan.

Dengan kata lain, self awareness di sini adalah kamu mampu menguasai keadaan, membuat diri sendiri sadar tentang emosi yang sedang di alami dan juga pikiran-pikiran mengenai emosi tersebut dengan cara yang visioner, yaitu berpikir jauh dua tiga langkah kedepan, bahwa tantangan soal hati dan perasaan ini harus di hadapi dengan mental baja.

Bahwa semua tantangan tekanan terhadap hati dan perasaan tersebut bukan sebagai goresan luka, tapi sebagai proses untuk mengembangkan diri, mengenali diri, menjadi diri sendiri, memotivasi diri dan menemukan kepribadian diri dan menyadari bahwa pengaruh faktor-faktor tekanan tersebut adalah berlaku wajar dalam interaksi kepemimpinan.
-----

Nah girls, inilah kiranya yang bisa penulis referensikan berdasarkan pengalaman, pengamatan, analisa dan penilaian secara langsung di lapangan, dan semoga apa yang penulis sampaikan melalui artikel ini bisa bermanfaat.

Yang jelas dalam hal ini, penulis ingin menegaskan, bahwa wanita itu memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk menjadi atasan ataupun pemimpin.

Jadi girls, agar bagaimana hegemoni patriarki itu dapat dilunturkan ataupun bagaimana bisa mengimbangi dominasi kepemimpinan yang lebih banyak di tempati kaum pria, maka tinggal bagaimana kamu bisa menunjukan dan membuktikannya dengan keunggulan-keunggulan tersendiri yang di miliki oleh wanita yang tidak dipunyai kaum pria, bahwa wanita pun pasti bisa jadi atasan yang kompeten.

Semoga bermamfaat.
Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun