Ditambah juga para even organizer yang juga jadi bagian dari wadah orderan job MC turut terdampak, para penggiat EO inipun sepi even.
Sudah job sampingan MC sepi, dirumahkan hingga akhirnya kena PHK pula, dan tentunya gelombang PHK ini juga terjadi besar besaran menimpa karyawan lainnya.
Sampai pada akhirnya banyak rekan kerja penulis yang dirumahkan hingga di PHK berebut mendaftar program kartu prakerja, itupun harus berjibaku berebutan dengan peserta lainnya karena tentunya soal PHK ini juga terjadi di seluruh nusantara ini.
Seperti yang diketahui rincian bantuan melalui kartu prakerja tersebut meliputi dana sebesar Rp. 3.550.000 per orang.
Dana tersebut terdiri dari biaya pelatihan sebesar Rp. 1.000.000 yang dimanfaatkan peserta untuk membeli paket pelatihan yang tersedia di delapan platform mitra program Kartu Prakerja.
Selanjutnya, berupa insentif sebesar Rp. 600.000 per bulan dan diberikan selama empat bulan atau total selama pelatihan sebesar Rp. 2.400.000 per orang. Sedangkan dana sebesar Rp 150.000 diperuntukan bagi biaya survei kebekerjaan yang diisi peserta usai menyelesaikan pelatihan.
Ya, memang program kartu prakerja yang digulirkan pemerintah ini setidaknya cukup meringankan beban ekonomi yang terdampak PHK.
Tapi apakah efektif sebenarnya program kartu prakerja ini, apakah ada jaminan setelah lulus pelatihan langsung dapat atau diterima kerja? Entahlah, karena memang belum tentu juga kan?apalagi kalau masih pandemi?
Seharusnya langkah utama pemerintah sebenarnya bukanlah itu, semestinya langkah pemerintah adalah menelurkan kebijakan ataupun regulasi bagaimana pemerintah bisa tegas memproteksi dan mencegah agar tidak terjadi gelombang PHK massal.
Semestinya pemerintah dapat memberikan jaminan agar tidak ada pemberlakuan PHK oleh para pelaku usaha, bukannya sekedar imbauan agar tidak ada PHK, terang saja kalau hanya imbauan belum tentu mau diikuti oleh para pelaku usaha.