Sengaja penulis membuat judul artikel opini ini, Hamil, Para Emak Tak Dinafkahi "Om Cika"Â karena sangat merasa prihatin dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja atau kalau boleh berkenan di sebutkan sebagai "Om Cika".
Karena, bila kedepannya "Om Cika" ini disahkan, ternyata juga banyak merugikan dan mendiskriminasi para pekerja dari kaum perempuan atau kaum hawa.
Ternyata, tidak ada satu pun pasal yang terdapat kata perempuan, tidak ada satu kata pun yang menyebut perempuan sebagai tenaga kerja yang berkontribusi dalam lingkup pekerjaan.
Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, sejumlah hak pekerja dari kaum perempuan tampak dianggap sangat mengganggu, menghalangi dan menghambat fleksibilitas investasi pemerintah, bahkan malah ada yang dihilangkan, seperti cuti hamil ataupun cuti haid.
Padahal cuti hamil ataupun cuti haid, dan sejumlah hak-hak perempuan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003, tentang hak-hak perempuan tegas disebutkan secara normatif.
Seperti halnya tentang cuti hamil, yaitu hak khusus bagi perempuan dalam rangka cuti untuk masa proses persiapan hingga selesai melahirkan, dalam hal ini "Om Cika" justru akan menghilangkannya.
Sehingga soal hak cuti hamil yang dihilangkan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, tentu saja sangat merugikan bagi para pekerja dari kaum perempuan, karena cuti hamil yang biasanya diberikan sebelum dan sesudah melahirkan selama total tiga bulan tersebut jadi hilang.
Artinya kalau para pekerja perempuan tetap mengambil kepentingan cuti hamil ini, dianggap karena kepentingan pribadi atau atas dasar inisiatif sendiri, maka penghasilannya tidak akan dibayar oleh pihak pemberi kerja.
Jadi, dari soal cuti hamil saja, betapa telah terlihat, ternyata Negara ini justru semakin kaku dan berlaku diskriminatif serta tidak adil terhadap para pekerja dari kalangan kaum perempuan dan lebih memihak pada pemberi kerja.
Tentu saja hal ini akan sangat dikomplain oleh para pekerja dari kaum perempuan, maka hal yang logis bila para emak-emak akhirnya melakukan aksi power of emak-emak, para janda, para wanita karier, dan para tokoh wanita yang lainnya bersuara lantang memperjuangkan hak kesetaraan kaum mereka.
Karena dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja ternyata nantinya Negara lebih memberikan keuntungan bagi pihak pemberi kerja untuk tak menafkahi atau tak membayar penghasilan kaum perempuan saat harus mengambil cuti hamil.
Bisa dilihat ke depan, bila tanpa revisi soal hak cuti hamil yang dihilangkan bagi para pekerja kaum perempuan, maka betapa merananya dan sedihnya para perempuan ketika tak dibayar penghasilannya saat mengambil cuti hamil. Para emak-emak pekerja saat hamil harus kehilangan penghasilan untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga.
Nampaknya dalam hal ini, ternyata pemerintah lebih berpihak kepada para pihak pemberi kerja, karena cuti hamil dianggap merugikan para pihak pemberi kerja bila harus tetap membayar penghasilan tersebut kepada pekerja dari kaum hawa.
Ke depan bila RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Om Cika) disahkan, mungkin akan banyak sekali kenyataan miris di depan mata.
Demi memenuhi kebutuhan hidup daripada tidak dibayar sama sekali, maka para pekerja perempuan harus bekerja saat hamil, atau besok melahirkan besoknya juga harus sudah bekerja. Betapa menjadi ironi sekali kalau ini terjadi. Betapa pemerintah tega dan kejam kalau membiarkan ini terjadi.
Jadi kasihan dan dilematis kalau begini caranya nasib para pekerja wanita, mau tetap kerja tapi berisiko pada kondisi kehamilan, karena kalau ada apa-apa, seperti keguguran dan resiko lainnya saat hamil dan melahirkan belum tentu pemerintah dan pihak pemberi kerja berkenan bertanggung jawab, tapi kalau mau mengambil cuti hamil tidak dibayar penghasilannya, sungguh memang dirasa diskriminatif, masa pemerintah harus setega itu kepada para pekerja dari kaum perempuan.
Ini baru satu soal saja yaitu tentang cuti hamil, belum lagi soal-soal lainnya yang terkait dengan hak-hak pekerja dari kaum perempuan yang dihilangkan dan hak-hak lainnya yang terkesan didiskriminasi.
Pemerintah seharusnya dapat menghargai buah perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika dan para pahlawan perempuan lainnya dalam perjuangannya bagi kesetaraan kaum perempuan.
Betapa sedihnya para pahlawan wanita tersebut bila kenyataannya kedepan cita-cita luhur mereka demi emansipasi dan kesetaraan wanita saat berjuang di masa kolonial/penjajahan harus dihancur leburkan oleh pemerintah yang sekarang.
Oleh karenanya pemerintah seyogianya dapat lebih mempertimbangkannya kembali terkait soal kesetaraan gender dan hak pekerja dari kaum perempuan, agar kiranya jangan terlalu mendiskrimanasi pekerja dari kaum perempuan, jangan malah jadi kolonial atau kapitalis baru bagi kesetaraan pekerja dari kaum perempuan.
Secara umumnya, RUU Omnibus Law yang lintas sektoral ini, dalam perjalanannya banyak diklaim, ditentang, diprotes dan ditolak secara tegas oleh masyarakat, karena tidak berimbang dan lebih memberatkan kepada masyarakat.
Karena kalau terkait RUU Omnibus Law pemerintah tetap bersikukuh memberlakukannya dengan berbagai ketidak berimbangannya tersebut, jelaslah sudah dalam hal ini pemerintah bisa dikatakan "Otoriter". Pemerintah justru jadi kolonial/penjajah dan kapitalis bagi rakyatnya sendiri.
Maka dari itu, pemerintah harusnya dapat mengevaluasi dan dapat mempertimbangkannya kembali secara lebih mendalam lagi, secara detil dan proporsional lagi.
Semoga saja kelahiran Omnibus Law lancar, sukses dan dapat memberi kesejahteraan rakyat, seperti yang dicita-citakan dan membawa kemakmuran bagi bangsa dan negara yang kita cintai bersama ini.
Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H