Bisa dilihat ke depan, bila tanpa revisi soal hak cuti hamil yang dihilangkan bagi para pekerja kaum perempuan, maka betapa merananya dan sedihnya para perempuan ketika tak dibayar penghasilannya saat mengambil cuti hamil. Para emak-emak pekerja saat hamil harus kehilangan penghasilan untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga.
Nampaknya dalam hal ini, ternyata pemerintah lebih berpihak kepada para pihak pemberi kerja, karena cuti hamil dianggap merugikan para pihak pemberi kerja bila harus tetap membayar penghasilan tersebut kepada pekerja dari kaum hawa.
Ke depan bila RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Om Cika) disahkan, mungkin akan banyak sekali kenyataan miris di depan mata.
Demi memenuhi kebutuhan hidup daripada tidak dibayar sama sekali, maka para pekerja perempuan harus bekerja saat hamil, atau besok melahirkan besoknya juga harus sudah bekerja. Betapa menjadi ironi sekali kalau ini terjadi. Betapa pemerintah tega dan kejam kalau membiarkan ini terjadi.
Jadi kasihan dan dilematis kalau begini caranya nasib para pekerja wanita, mau tetap kerja tapi berisiko pada kondisi kehamilan, karena kalau ada apa-apa, seperti keguguran dan resiko lainnya saat hamil dan melahirkan belum tentu pemerintah dan pihak pemberi kerja berkenan bertanggung jawab, tapi kalau mau mengambil cuti hamil tidak dibayar penghasilannya, sungguh memang dirasa diskriminatif, masa pemerintah harus setega itu kepada para pekerja dari kaum perempuan.
Ini baru satu soal saja yaitu tentang cuti hamil, belum lagi soal-soal lainnya yang terkait dengan hak-hak pekerja dari kaum perempuan yang dihilangkan dan hak-hak lainnya yang terkesan didiskriminasi.
Pemerintah seharusnya dapat menghargai buah perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika dan para pahlawan perempuan lainnya dalam perjuangannya bagi kesetaraan kaum perempuan.
Betapa sedihnya para pahlawan wanita tersebut bila kenyataannya kedepan cita-cita luhur mereka demi emansipasi dan kesetaraan wanita saat berjuang di masa kolonial/penjajahan harus dihancur leburkan oleh pemerintah yang sekarang.
Oleh karenanya pemerintah seyogianya dapat lebih mempertimbangkannya kembali terkait soal kesetaraan gender dan hak pekerja dari kaum perempuan, agar kiranya jangan terlalu mendiskrimanasi pekerja dari kaum perempuan, jangan malah jadi kolonial atau kapitalis baru bagi kesetaraan pekerja dari kaum perempuan.
Secara umumnya, RUU Omnibus Law yang lintas sektoral ini, dalam perjalanannya banyak diklaim, ditentang, diprotes dan ditolak secara tegas oleh masyarakat, karena tidak berimbang dan lebih memberatkan kepada masyarakat.
Karena kalau terkait RUU Omnibus Law pemerintah tetap bersikukuh memberlakukannya dengan berbagai ketidak berimbangannya tersebut, jelaslah sudah dalam hal ini pemerintah bisa dikatakan "Otoriter". Pemerintah justru jadi kolonial/penjajah dan kapitalis bagi rakyatnya sendiri.