Kebaikan dan keburukan politik kerap diimplikasikan dengan reputasi para politisi yang berkecimpung didalamnya.
Banyak politisi yang mencalonkan diri jadi calon-calon wakil rakyat ketika sudah menjabat, ternyata seiring waktu berjalan malah terbius karena godaan jabatan dan kekuasaan.
Bahkan banyak fakta menunjukan, para politisi akhirnya malah menjelma menjadi koruptor atau tersangkut korupsi.
Padahal diharapkan para politisi tersebut memiliki integritas dalam melawan korupsi, tapi karena ada juga yang tidak kuat karena godaan kekuasaan dan jabatan justru malah bertindak sebaliknya.
Alhasil, Â jabatan birokrasi hingga saat ini selalu jadi terkonotasi secara negatif dengan tujuan politisi untuk berkuasa semata dan menjadi ladang korupsi belaka, apalagi bila sudah tergabung dengan birokrat-birokrat lainnya yang juga terlibat didalam jabatan birokrasi.
Politik yang berlaku sekarang di Indonesia selama ini masih banyak dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan saja.
Maka tidak heran jika perilaku politik yang di jalankan adalah meng "halal" kan segala cara untuk merebut, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan. Politik hanya dijadikan motif menuju kekuasaan, atau seni meraih kekuasaan belaka.
Persepsi umum bahwa politik adalah tentang usaha usaha untuk memperoleh kekuasaan, meniscayakan selalu lahirnya pihak pemenang dan pihak pecundang.
Pihak yang kalah akan terus berupaya, untuk membangun dukungan agar dapat mengambil kekuasaan dari yang berkuasa.
Politik karena kekuasaan merupakan sebuah kesalahan sistem politik yang sudah mengakar lama di Indonesia sehingga politik sekarang ini terkesan minim etika atau kurang memiliki etika lagi di dalamnya.
Politik yang ada sekarang ini hanya menjadi tontonan episode drama-drama di mata masyarakat, bukan menjadi suatu tuntunan seperti yang diharapkan dan condong hanya mengatasi kepentingan pribadi, bukan kepentingan negara dan masyarakat.
Satu sistem yang menduduki posisi paling atas akan terus berkelanjutan mendikte sistem-sistem di bawahnya.
Bila keadaan politik Indonesia masih terus berlangsung seperti sekarang ini, maka bukan tidak mungkin politik Indonesia akan semakin kehilangan kesejatiannya yaitu politik yang beretika, berdemokrasi yang demokratis.
Sampai dengan saat ini masih cukup sulit untuk memperbaiki kondisi perpolitikan di negara ini, kecuali ada kelegowoan dan keseriusan para politikus untuk mau berubah. Keadaan ini adalah buah kegagalan dari berbagai partai politik di Indonesia untuk melahirkan negarawan.
Sehingga keniscayaan makin kuatnya cengkraman politik oligarki dan politik dinasti, atau berlakunya politik identitas, politik dua kaki, politik muka dua atau konotasi perilaku politik lainnya akan semakin subur bertumbuhkembang di negeri ini.
Justru yang jadi korban darisemua ini adalah rakyat dan masyarakat yang awam politik, yang harus menyaksikan dan dipertontonkan pahitnya perebutan kekuasaan di dunia politik.
Inilah akhirnya yang membentuk pola dan cara berpikir rakyat, yang akhirnya membentuk pemahaman bahwa  kekuasaan adalah akar masalahnya, karena politik selalu berhubungan dengan kekuasaan yang dipandang sebagai kekuatan untuk berkuasa.
Meskipun sebenarnya politik juga berpotensi untuk menjadi kekuatan positif bertransformasi menuju arah demokrasi yang demokratis.
Sekarang ini yang terjadi, politik cenderung menjadi terlepas dari warga negara, ini karena warga negara memiliki perasaan dikesampingkan oleh politik, bahwa politik tidaklah menyangkut mereka, melainkan milik para elite politik, milik pemerintah, milik partai politik, ataupun media.
Akhirnya warga negara menumpahan segala kekecewaan dan keluh-kesahnya itu melalui jejaring-sosial sehingga berbagai Tagar (#) menyangkut politik dan pemerintah sering menjadi trending topic dunia di Twitter dan jejaring sosial lainnya.
Oleh karena itu, sejatinya warganegara harus mengambil kembali politik dan membuat politik bekerja untuk rakyat.
Karena rakyat sipil yang berpikir dan bertindak secara politik berarti mampu mengartikulasikan, memahami dan memikirkan cara-cara solutif dan negosiatif untuk mencapai tujuan bagi kepentingan negara.
Yang jelas secara umumnya harapan perbaikan etika politik itu masih ada, Bisakah semua itu terwujud, tentu saja bisa jika para politikus dan para partai politik memiliki niat yang benar-benar murni untuk kepentingan negara dan rakyat, serta dapat mengebelakangkan tujuan atau kepentingan untuk berkuasa semata.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H