UN Indonesia saat ini masih bertitik tumpu pada menjawab soal yang nantinya diujikan dengan cara belajar membaca untuk menghafalkan sesuai mata pelajaran yang diajarkan.
Padahal dihadapkan dengan banyaknya mata pelajaran yang ada, dengan  membaca buku buku mata pelajaran yang bermacam macam jenisnya, pola belajar dengan cara menghafal bukanlah pola yang ideal.
Bagaimana mungkin semua itu bisa dihapalkan, membaca dengan menghafalkan setiap mata pelajaran, menghafalkan rumus matematika, rumus fisika, rumus kimia, ataupun menghafalkan tulisan tulisan yang ada dalam buku yang puluhan jenisnya.
Sehingga yang sering terjadi adalah, saking banyaknya yang harus dihafalkan, anak didik/murid malah jadi berat untuk berpikir dan menghafal dan malah terbebani pikirannya.
Kemampuan menghafal masing masing  juga berbeda, ada yang dua kali atau tiga kali baca sudah hafal, ada yang butuh berkali kali membaca, baru bisa hapal.
Meskipun sudah hafal sekalipun, kondisi lupa untuk mengingat apa yang tadi dibaca dan dihafalkan terkadang tak bisa dihindarkan.
Di samping itu, soal soal yang diujikan mencakup seluruh jenjang kelas sesuai kategori yang ditempuh di sekolah.
Inilah yang dinilai tdak ideal, terlalu beratnya beban anak didik/siswa untuk membaca dengan menghafal seluruh mata pelajaran yang diajarkan sesuai jenjang yang ditempuhnya.
Inilah juga yang menyebabkan nilai nilai UN para anak didik/murid banyak yang jatuh dan jauh dari standar nilai mutu pendidikan dan jadi tidak seperti yang diharapkan.
Apalagi bila dikaitkan dengan sistem zonasi sekolah, jika format UN diganti tentunya akan berpengaruh juga pada sistem zonasi, maka Nadiem juga perlu mempertimbangkan apakah sistem zonasi perlu dihapus/diganti formatnya atau tidak, karena sistem zonasi yang sekarang ini berlaku secara umumnya masih berdasarkan hasil nilai UN yang diraih.
Selain itu sistem zonasi, banyak jadi perdebatan publik, karena dirasa banyak ketimpangan, dan dirasa kurang mengedepankan asas keadilan dan pemerataan.