Berdirinya BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Sejak 1 Januari 2014 sebenarnya menandai lahirnya reformasi sektor kesehatan di Indonesia.
BPJS Kesehatan merupakan badan yang menjamin biaya pengobatan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dipungut iuran setiap bulan. BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan terbesar di dunia. Dengan jumlah anggota lebih dari 215 juta orang.
Namun seiring berjalannya waktu, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Bahkan sampai dengan tahun 2019 defisit mencapai Rp. 28,3 Trilyun, dan yang lebih parah lagi BPJS Kesehatan diprediksikan akan menderita defisit sampai Rp77,9 triliun di tahun 2024.
Berkaitan dengan ini, yang jadi masalah adalah apabila defisit ini terus membesar dan tak terkendali, maka tidak saja hanya mengancam kesinambungan program, tapi juga mengancam kesinambungan fiskal.
Padahal kebijakan fiskal telah dilakukan oleh pemerintah melalui Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang JKN agar pajak rokok dapat menambal defisit BPJS Kesehatan. Dengan aturan ini, sebanyak 75 persen dari setengah penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan kepada BPJS Kesehatan. Namun tetap juga tidak dapat mengatasi masalah defisit tersebut, malahan defisit terus bertambah?
Jadi, boleh dikatakan BPJS Kesehatan sedang dalam kondisi "Sakit" atau tidak sehat dan diambang kebangkrutan, nafsu besar tapi tenaga kurang.
Sebuah Badan/Lembaga yang seharusnya dapat memberikan pelayanan kesehatan tapi faktanya saat ini sedang sakit, bagaimana mau menyehatkan anggotanya?
Lalu apa sebabnya BPJS Kesehatan selalu saja mengalami defisit? Inilah Faktanya;
Seluruh proses pembayaran BPJS yang berkaitan dengan keuangan, diterapkan secara terpusat tunggal dan sentralistik, sehingga menyebabkan ketidak efektifan dan kurang pengawasan serta pengendalian dalam proses pembayaran karena bertitik tumpu pada pusat, dan tidak mengikutsertakan peran pemerintah daerah.
BPJS juga Tidak tepat dalam memetakan dan mendata sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional diseluruh Indonesia. PBI yang didaftar sebagai peserta JKN oleh Kemensos (Kementerian Sosial), ternyata di lapangan banyak ditemukan seharusnya peserta tersebut masuk kategori PBPU (peserta mandiri).
Kurangnya Sosialisasi kepada peserta Penerima Bantuan Iuran dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional diseluruh Indonesia, menyebabkan terjadinya diseminasi informasi kepada masyarakat.
Ditambah lagi masyarakat Indonesia peserta mandiri banyak yang menunggak membayar premi, masyarakat banyak yang tidak memahami dan menyadari jika membayar membuat program ini bisa berjalan berkelanjutan. Sehingga Peserta mandiri tidak teratur membayar premi sehingga membuat anggaran BPJS Kesehatan minus.
Dalam hal ini BPJS Kesehatan belum mampu menciptakan sebuah sistem yang bisa memaksa peserta mandiri membayar tunggakan iurannya. Teknis dan strategi dalam meningkatkan keuangan tingkat partisipasi peserta membayar iuran relatif rendah.
Lalu semakin membengkaknya kewajiban pembayaran klaim pihak rumah sakit, karena BPJS dinilai kurang teliti dalam melakukan audit manajemen terhadap rumah sakit, terutama dalam hal pengawasan dan pemeriksaan secara faktual dan disinyalir membengkaknya tagihan dari pihak rumah sakit tersebut dikarenakan banyaknya klaim pembayaran layanan kesehatan yang tidak wajar.
Dalam hal ini, secara keseluruhan terdapat kinerja dan sistem manajemen BPJS yang dinilai kurang baik dalam mengatur berbagai alur mengenai anggaran dan berbagai proses lainnya.
Kemudian berkaitan dengan ini, untuk menyelamatkan BPJS dari kebangkrutan karena terus mengalami defisit, pemerintah malah menaikan besaran iuran peserta mandiri dan tidak tanggung-tanggung besaran kenaikan tersebut mencapai dua kali lipat dari iuran yang sebelumnya atau 100 persen.
Seperti diketahui berdasarkan daftar iuran BPJS Kesehatan yang akan diterapkan pemerintah terhitung mulai tanggal 1 Januari 2020 adalah;
Peserta mandiri kelas 1 dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Peserta mandiri kelas 2 dari Rp 55.000 menjadi Rp 110.000.
Peserta mandiri kelas 3 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Apakah kenaikan iuran ini bisa menyelamatkan BPJS dari defisit dan kebangkrutan?
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani bersikeras tetap menaikan iuran premi BPJS bagi peserta mandiri, bahkan dikatakan bahwa Presiden Jokowi telah menyetujuinya dan akan segera diteken dan diberlakukan tahun 2020 mendatang.
Kenaikan iuran tersebut katanya dapat mengatasi defisit BPJS. tapi benarkah ini?
Banyak pakar ekonomi yang pesimis dengan kenaikan iuran ini, selain semakin memberatkan pesertanya, kenaikan ini bisa menjadi bomerang bagi BPJS, pasalnya tunggakan iuran peserta mandiri yang belum selesai terbayar saja masih menumpuk, belum lagi tagihan rumah sakit, bagaimana mau menagih iuran yang baru sedangkan tunggakan iuran sebelumnya saja tidak tertutupi.
Memang besaran iuran sebelumnya terbilang sangat murah dibandingkan dengan negara lainnya, bahkan dengan iuran murah tersebut peserta dapat memperoleh pelayanan yang maksimal. Namun dengan iuran yang murah saja banyak peserta yang menunggak, bagaimana bisa peserta mampu membayar iuran yang baru tersebut. Inilah yang menjadi tanda tanya besar?
Diprediksikan para peserta mandiri akan semakin kesulitan membayar premi, selain dihadapkan dengan kondisi ekonomis masing masing, juga ada yang harus membayar tunggakan tunggakan premi sebelumnya. Jadi menaikan iuran premi BPJS untuk saat ini dirasa belum tepat.
Maka seharusnya pemerintah memperbaiki dulu secara internal tentang kinerjanya dan sistem manajemennya dalam mengelola BPJS tersebut. Seharusnya BPJS membenahi sistem kepesertaan dimana publik bisa mengetahui keaktifan mereka membayar iuran.
Seyogyanya pemerintah memantau berapa banyak tunggakan iuran yang harus ditagih. Tak hanya itu, rumah sakit juga harus dengan tegas menolak atau mewajibkan agar dapat melayani pengobatan, maka calon pasien yang tak membayar kewajibannya harus memenuhi dulu kewajibannya tersebut ditambah juga mengintensifkan sosialisasi tentang kepesertaan BPJS dan memberikan ketegasan agar segera membayar tunggakan premi yang sebelumnya.
Lalu agar pembengkakan kewajiban pembayaran rumah sakit tidak terjadi dan defisit pengeluaran bisa ditekan. Maka BPJS harus memastikan dan mengaudit apakah pelayanan kesehatan yang diberikan pihak rumah sakit sesuai fakta dan kewajaran.
Sehingga perlu diadakan audit investigasi dan melibatkan pihak-pihak yang punya pengalaman dalam bidang layanan kesehatan, apakah memang klaim biaya yang diajukan pihak rumah sakit sesuai dengan ongkos yang harus dibayar pasien ataukah ada ketidak wajaran. Pihak BPJS seharusnya membuat standar pembayaran klaim berdasarkan klasifikasi layanan kesehatan.
Berkaitan dengan ini juga maka perlu adanya peninjauan kembali mengenai perubahan Undang-Undang SJSN, PP, Kepres, Kemenkes, dan SK Dirut BPJS sehingga operasional program JKN dapat berjalan dengan sehat dengan melibatkan pemerintah daerah.
Jadi kalau proses pembayaran dilakukan secara desentralisasi, maka BPJS akan menjadi multi-payors dengan melibatkan peran pemerintah daerah untuk berkontribusi pada jaminan kesehatan di daerah dan pengembangan infrastruktur kesehatan.
Dengan mengembalikan peran pemerintah daerah dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pemerintah daerah akan dapat mengendalikan pesertanya karena yang mengetahui secara detil tentang kepesertaan anggota sesuai wilayah adalah pemerintah daerah.
Oleh karena itu, kenaikan iuran premi peserta Mandiri ini harus dipertimbangkan, agar tidak semakin menambah defisit anggaran BPJS, yang jelas peserta mandiri akan semakin berat membayar iuran dan bisa saja para peserta malah akan semakin menunggak karena  semakin tidak mampu membayar.
Selesaikan dulu masalah internal dalam tubuh BPJS baru bisa menaikan iuran, sehingga tidak serta merta langsung membebankan pada peserta dan memutuskan kenaikan iuran, padahal kerja saja tidak beres.
Bila internalnya sudah tertata dan sudah dapat berjalan dengan baik tentu saja sejak awal masalah defisit anggaran tidak terjadi seperti sekarang ini.
Jadi dapat disimpulkan, kenaikan iuran BPJS bukan alasan yang tepat untuk mengatasi permasalahan defisit anggaran. Bila tetap dilaksanakan maka diprediksikan bukannya akan menyelesaikan masalah akan tetapi menambah masalah baru dan bisa terjadi BPJS bangkrut akan jadi kenyataan. Bagaimana bisa mengobati dan menyehatkan masyarakat kalau diri sendiri saja (BPJS) sedang dalam keadaan "Sakit".
Sigit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H