Bagi pelaku dunia usaha baik itu perusahaan ataupun instansi pinjaman atau hutang merupakan sektor penting untuk mendukung permodalan. Begitu juga bagi pelaku individu pinjaman atau hutang dapat membantu modal diluar penghasilan.
Berbicara mengenai pinjaman yang di lakukan oleh perusahaan/instansi tentunya dalam memproses pinjaman tersebut akan sangat selektif dan betul-betul memperhitungkan skala prioritas perlu tidaknya pinjaman tersebut di lakukan.
Para vendor yang memiliki permodalan yang dipinjami juga akan selektif dalam menggelontorkan dana pinjamannya kepada perusahaan/instansi yang menjadi nasabahnya.
Lagi pula, perusahaan/instansi sudah memiliki penyalurkan masing-masing pos pengeluaran anggaran yang telah diatur sedemikian rupa termasuk pos pengeluaran pembayaran cicilan pinjaman, sehingga jarang terjadi adanya kasus kredit macet karena menunggak, meskipun ada kasus juga adanya perusahaan/instansi yang mengalami kredit macet.
Namun secara umum perusahaan/instansi yang terjerat kasus kredit macet masih dalam ambang batas wajar. Oleh karena itu bagi pelaku perusahaan/instansi mengenai pinjaman atau hutang itu, tidaklah terlalu menjadi persoalan.
Hal ini berbeda dengan pelaku individu, yang seringkali melakukan pinjaman, namun ceroboh tidak mempertimbangkan kekuatan dari penghasilan pribadi yang diperoleh, sehingga inilah yang seringkali menjadi masalah munculnya kredit macet.
Atau bahkan seseorang yang belum punya penghasilanpun berani mengambil resiko mengambil pinjaman hanya demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Ini karena seringkali godaan budaya konsumtif sangat mempengaruhi gaya hidup seseorang untuk mendapatkan pinjaman, apalagi dengan iming-iming bunga yang murah.
Selain itu di Era kemajuan peradaban saat ini, makin menjamurnya vendor yang menggelontorkan pinjaman-pinjaman online(Pinjol) dengan syarat yang sangat mudah, semakin menambah trend meningkatnya masyarakat untuk mendapat pinjaman.
Ini menjadi kontradiktif, di satu sisi pihak vendor seperti bank, pegadaian, leasing atau pihak lainnya memberikan syarat ketat bagi peminjam individu, namun pinjol malah jor-joran menggulirkan pinjaman dengan begitu mudahnya. Ditambah lagi masih banyak bergentayangannya para rentenir yang terus mencari peminjam.
Terkait hal ini, sebenarnya yang perlu mengontrol atau mencegah tren budaya hutang bukanlah pemerintah, namun dari diri pribadilah yang bertanggung jawab.
Padahal sudah tau resiko berhutang namun tidak memperhitungkan secara matang, apa bisa bayar atau tidak, bahkan ada yang hutang belum lunas malah hutang lagi, dan hutang lagi.
Memang yang namanya kondisi perekonomian pribadi atau keluarga dihadapkan dengan berbagai kebutuhan hidup, kerap kali harus memutar otak untuk mengatasinya, sehingga jatuhlah kita pada hutang.
Kalau sudah terjerat hutang yang terus bertambah pastinya akan semakin membuat terpuruknya kondisi seseorang, inilah penyebab yang menjadi pemicu terjadinya kasus kasus kriminal dengan mengambil jalan pintas karena sudah kepepet, kasus kriminal seperti mencuri, mencopot gara gara banyak hutang sering juga terjadi.
Bahkan ada juga kasus seorang wanita karena terjerat tunggakan sampai sampai menjual tubuhnya untuk membayar hutang. Jadi sangat jelaslah sudah kalau seseorang sudah berani hutang mesti harus siap menerima resikonya dibelakang hari.
Boleh saja berhutang namun berpikirlah masak masak, yakinkan diri dan keluarga apakah sekiranya memang butuh hutang, kalau memang sekiranya sudah darurat dan perlu banget tentunya itu boleh saja, namun juga harus benar benar perhitungan dan memastikan bahwasanya setelah berhutang harus punya pos untuk membayar cicilannya.
Meski juga ada hutang untuk kehidupan masa depan misalnya seperti hutang untuk KPR, atau beli tanah, atau usaha namun tetap harus memperhitungkan dan mengukur kemampuan diri dan keluarga apakah sanggup untuk bayar cicilannya, sekiranya belum mampu, maka mesti bersabar jangan dipaksakan.
Oleh karena itu, yang paling utama dalam melakukan pinjaman atau hutang adalah, mengukur kemampuan diri dan keluarga, memperhitungkan besaran penghasilan dan mempertimbangkan skala prioritas serta kebutuhan yang benar benar penting dan darurat.
Lebih baik mencegah daripada sudah terlanjur hutang namun menyesal dibelakang hari. Dan yang lebih baik lagi dalam hidup adalah tidak usah ada hutang.
Budaya hidup tidak ada hutang itu menenangkan dan menyenangkan tak perlu pusing dikejar-kejar hutang. Rasanya nyaman banget tak terkira.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H