Mohon tunggu...
Gandi
Gandi Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis dan mendesain

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola, Harga Diri dan Emosi

10 Februari 2016   11:29 Diperbarui: 10 Februari 2016   12:02 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah sampai saat ini anda masih takjub dengan pesawat yang, begitu besar dan beratnya, tapi bisa terbang? Terus terang saya katakan, saya juga tetap takjub kalau melihat pesawat terbang. Memang ada banyak penjelasan mengenai itu, dan kita bisa mencari tahu kenapa itu bisa terjadi di buku, internet, bahkan bertanya pada Pak Habibie (kalau mau) yang ahli membuat pesawat. Semua penjelasan mengenai cara kerja pesawat (makanya) bisa terbang itu ilmiah, memenuhi logika, dan bisa diterima akal sehat, meski akal sehat itu milik orang awam yang samar-samar.

Tapi ketakjuban pada pesawat (kok) bisa terbang tak pernah hilang bagi saya, karena pada dasarnya pesawat itu adalah rangkaian besi dan berbagai bahan lain, dan walaupun bermesin, mesinnya juga adalah rangkaian berbagai bahan pembentuknya. Ketika sudah terangkai, begitu besar dan beratnya. Entah butuh berapa ribu orang jika ingin iseng mengangkatnya dengan tangan kosong. Tapi sekali lagi, bisa terbang, dan (bahkan) mengangkut orang.

Hal yang sama juga akan kita rasakan jika melihat sepak bola sekarang ini. Sepak bola pada dasarnya adalah permainan tim berjumlah sebelas orang, melawan tim lainnya yang berjumlah sama. Tempatnya (menurut standar) adalah sebuah tanah lapang seluas (kira-kira) 110 x 85 meter persegi dengan dua buah gawang di kedua ujungnya.

Sebuah bola adalah obyek yang dimainkan dengan tujuan dimasukkan di tengah gawang lawan. Lawan juga ingin memasukkan bola ke gawang kita, jadilah bola itu diperebutkan untuk kemudian diusahakan dengan berbagai macam taktik dan strategi dimasukkan ke gawang lawan masing-masing. Ketika gawangnya terancam, lawan akan menghadang dan berusaha merebutnya, dan begitu juga sebaliknya. Begitulah permainannya sehingga sepak bola menjadi permainan yang seru untuk dilakukan.

Dalam sepak bola, bola yang diperebutkan itu hanya boleh dieksplorasi dengan kaki, kepala atau dada, tidak boleh dengan tangan, kecuali seorang saja dari masing-masing tim yang menjadi penjaga gawang.

Pada dasarnya begitulah permainan sepak bola. Bisa dimainkan anak-anak, remaja, atau orang dewasa. Tempatnya bisa di mana saja, lapangan dengan ukuran sesungguhnya, halaman rumah, gang kecil, bahkan jalanan.

Siapa yang pertama kali memainkan permainan ini? Konon orang Inggrislah yang menemukan permainan seru ini. ada juga yang menyebut bahwa permainan ini dari Tiongkok, ada yang mengatakan dari India, bahkan ada yang dengan mencibir mengatakan, bahkan sebelum para penjelajah Eropa menjelajah dunia dan membawa pengaruhnya, orang suku Indian juga sudah memainkannya. Kenapa segala sesuatu selalu diklaim berasal dari Eropa?

Bagi saya, siapa yang pertama memainkannya, yang pasti adalah manusia, bukan dinosaurus. Tidaklah terlalu penting siapa atau orang mana penemu sepak bola. Sejak kecil tahu-tahu kakak-kakak sepermainan bermain sepak bola, di mana permainannya terlihat seru dan menyenangkan yang membuat saya juga ingin ikut bermain. Bagi saya itu permainan sederhana tapi sangat menyenangkan.

Tapi ketika ternyata ada turnamen sepak bola antar kampung, di mana saya melihat para pemainnya adalah orang dewasa, mengenakan seragam, bersepatu dengan gerigi sangar di telapak sepatunya dan kaos kakinya setinggi lutut, serta disaksikan oleh ribuan orang yang berdiri di garis tepi lapangan sambil bersorak dan berseru tegang, saya mulai melihat bahwa sepak bola terasa tak sesederhana yang kami mainkan di halaman rumah dengan bola plastik.

Terkadang terjadi perkelahian antara pemain dan kemudian penonton di pinggir ikut merangsek masuk ke lapangan ingin ikut berkelahi. Permainan yang seru itu bisa berubah menjadi mengerikan.

Lalu ketika saya pertama melihat tayangan langsung sepak bola antara tim Indonesia melawan Bangladesh yang disiarkan TVRI semasa kecil, saya mulai berpikir bahwa sepak bola adalah permainan hebat. Buktinya Negara Indonesia sampai membentuk tim untuk melawan tim dari negara lain. Bahkan kemudian saya mendengar nama-nama pemain banyak disebut-sebut. Rully Nere, Hery Kiswanto, Zulkarnaen Lubis, Dede Sulaiman, Ricky Jacobi, Hermansyah, sebagai nama-nama yang terkait dengan sepak bola hebat. Saya berpikir mereka pasti hebat karena dipilih negara.

Yang membuat saya takjub adalah lapangan yang dikelilingi tribun tempat duduk melingkar dan berbaris landai tempat mereka bermain. Ribuan orang duduk di sana menyaksikan pertandingan sepak bola. Tempat yang disebut stadion. Ternyata sepak bola mempunyai tempat sendiri. Bukan di halaman, bukan di jalan, tapi di stadion.

Saya kemudian mendengar orang-orang menyebut Piala Dunia. Ternyata sepak bola juga dimainkan oleh negara-negara lain dan membuat saya akhirnya tahu bahwa sepak bola bukan permainan kakak-kakak sepermainan saya saja, tapi permainan manusia sedunia. Sampai kemudian nama Maradona muncul menjadi ikon pembicaraan kakak-kakak saya yang dewasa.

Maradona? Saya menemukan sosoknya di sampul buku tulis baru. Memakai celana pendek hitam dan kaos putih bergaris vertikal biru langit sedang berlari mengejar bola. Ada tulisan Mexico 86, dan gambar trofi piala dunia yang bentuknya aneh menurut saya, karena piala yang sering saya lihat diberikan Pak Camat pada juara lomba tarik tambang tujuh belasan, bentuknya identik dengan piala untuk lomba bayi sehat. Tapi bentuk Piala Dunia sangat berbeda.

Semakin hari saya semakin tahu bahwa sepak bola yang sederhana itu tidak sederhana. Ternyata bukan sebuah kampung atau RT saja yang membuat tim sepak bola dan bertanding dengan kampung atau RT lain, tapi kota besar juga mempunyai tim sepak bola dengan pemain pilihan untuk bertanding melawan tim kota lain, hingga negara punya tim sepak bola untuk melawan tim negara lain.

Semakin saya besar dan mengerti saya semakin menyadari jika sepak bola bukan permainan (lagi) sederhana bahkan jauh sebelum saya lahir. Piala Dunia pertama sudah berlangsung sejak 46 tahun sebelum saya lahir. Bahkan liga-liga Eropa sudah dimulai lebih lama lagi.

Stadion adalah tempat untuk membuat permainan sepak bola lebih agung dan bisa menjadi bisnis. Sekarang sepak bola bukan sekedar bisnis lagi, tapi industri. Sepak bola layaknya produk yang seseorang harus membayarnya jika ingin mengkonsumsi.

Keseruan sepak bola di lapangan bermuatan banyak hal. Persaingan, prestasi, harga diri, menunjukkan jati diri, menunjukkan kelas, adu strategi, dominasi, dan lain-lain. Semua itu dikelola untuk tujuan membangun industri, dikemas menjadi menarik sehingga stadion selalu penuh sesak meski harga tiketnya mencekik. Segala pernak-pernik berbau sepak bola dipropagandakan dengan iklan untuk melipatgandakan pendapatan dari sepak bola.

Sepak bola yang sudah menjadi produk industri pun lantas menjadi mahal bagi penonton tayangan langsung di televisi. Harga hak siar yang semakin hari melambung kian tinggi membuat televisi harus berpikir bagaimana mengemas sepak bola menjadi tayangan yang semua orang merasa ‘wajib’ menonton, sehingga mereka tak keberatan ‘membayar’ layaknya penonton yang datang langsung ke stadion dengan cara berlangganan tv kabel.

Sepak bola yang sudah menjadi produk industri yang menjelma sebagai hiburan mahal. Tapi tetap mampu membuat orang rela membayar untuk bisa menyaksikannya, karena sebagai produk industri, sepak bola telah dikemas menjadi sedemikian menarik, menggiurkan, dan membuat ketagihan.

Simbol harga diri

Sepak bola juga sudah menjadi simbol harga diri suatu klub, dari kelas kampung nan amatir sampai profesional, bahkan harga diri suatu bangsa. Berapa kali klub menjuarai suatu liga atau turnamen menjadi kekuatan untuk menepuk dada. Bahkan untuk klub kecil berkompetisi di kasta teratas juga bisa membuat mereka bangga.

Untuk level negara, berapa kali menjuarai Piala Dunia adalah ukuran-ukuran yang selalu coba dicapai. Sampai berapa kali tampil di Piala Dunia bagi negara dengan kekuatan kelas dua pun bisa menjadi tolok ukur kebanggaan dan harga diri.

Memang, saya dulu juga kesal diejek jika kalah sampai belasan gol dalam pertandingan sepak bola di halaman rumah, atau diejek kakak kelas yang menang dalam pertandingan Class Meeting, bahkan sekolah lain dalam Porseni.

Ya, sepak bola sebagai sebuah permainan memang sederhana, seru, dan menyenangkan. Tapi ketika sepak bola dimainkan, ia tidak lagi sederhana, karena tak bisa untuk tak melibatkan emosi. Anda akan dengan ikhlas bergembira ketika membuat gol dan tim anda menang, tapi situasinya akan sulit untuk bisa tetap gembira ketika gawang anda kebobolan dan anda merasa sulit untuk membalasnya.

Keadaan inilah yang membuat kesederhanaan permainan hilang, dan keadaan ini pula yang membuatnya bisa dikemas menjadi bisnis bahkan industri. Harga diri.

*) gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun