Mohon tunggu...
Gandi
Gandi Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis dan mendesain

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Atletico Sayang, Atletico Malang

1 Februari 2016   11:12 Diperbarui: 1 Februari 2016   11:46 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

gambar

Akhir pekan lalu saya merasa agak gembira ketika dalam ‘tur pencet-pencet remote’ menemukan siaran langsung pertandingan besar dua penguasa klasemen sementara La Liga, Barcelona vs Atletico Madrid. Perasaan gembira itu selain karena belakangan ini siaran langsung pertandingan sepak bola di saluran gratis mendekati kelangkaan, juga karena berada pada jam-jam yang masih lumayan sore.

Pertandingan yang tak kalah pamor dengan El Clasico menurut saya, merujuk pada persaingan keduanya di puncak klasemen saat ini. Kecuali anda fanatik pada salah satu klub, anda pasti berharap pertandingan yang seimbang yang diwarnai dengan saling serang, penuh trik, penuh intrik, yang membuat anda geregetan mengingat mereka tengah sengit berebut puncak klasemen untuk mengamankan titel juara di akhir musim. Saya pun berharap begitu.

Barcelona dengan segala superioritasnya jelas tak terbantahkan, tapi Atletico di bawah Diego Simeone adalah tim yang bergairah. Apa yang mereka tunjukkan sampai pekan lalu menegaskan hal itu. Entah bagaimana Simeone bisa membuat mereka yang ‘bukan bintang cemerlang’ bisa menjadi ‘nyamuk nakal’ yang menggelisahkan Barcelona dan Real Madrid.

Atletico berhasil memenuhi harapan itu dalam pertandingan akhir pekan lalu. Meredam superioritas Barcelona. Superioritas itu membosankan, bahkan, cenderung menjengkelkan. Menang terlalu mudah dalam sebuah pertandingan ‘tanpa perlawanan’ itu menyedihkan. Menang dengan susah payah dan berdarah-darah, itu baru seru.

Sejak Kick Off, Atletico membuat pemain Barcelona gagap, seperti pemain gitar yang kelupaan ‘kunci kord’ dalam sebuah konser. Permainan melodi menjadi sedikit kacau, karena Atletico mampu membuat distorsi dengan irama yang menghentak. Orkestra Barcelona yang biasanya mengalun mereka buyarkan dengan distorsi ala musik metal. Permainan menjadi tak mudah bagi Barcelona, tapi inilah yang membuat pertandingan menjadi hidup. Sesuatu yang anti mainstream terkadang memang menghibur, bukan?

Nuansa pertandingan akan berjalan seru dan sengit, di mana Barcelona mungkin akan berdarah-darah untuk memenangkannya semakin terasa ketika Koke dengan tengilnya membobol gawang Claudio Bravo. Modal bagus untuk menekan Iniesta cs di rumah mereka sendiri.

Tentu saja Barcelona kemudian dengan segenap ‘potensi yang ada’ mencoba memperbaiki keadaan. Setelah gol Koke, Atletico yang di menit awal sampai gol itu terjadi tampak ulet dan licin, entah mengapa sedikit kendor. Mereka memang tak terlihat akan bertahan dengan keunggulan satu gol tersebut. Tapi tekanan mereka agak berkurang.

Mereka berhasil membuat Messi mati kutu sejak menit pertama, tapi ketika sekejap saja mereka kelepasan menjaga si kutu, gawang mereka ikut terbelah juga. Gol Messi tampak lebih membawa efek kejut ketimbang gol Koke.

Pertandingan semakin menggairahkan. Seperti dua pecatur yang ulet, tak ada yang ditunggu keduanya kecuali tentu saja kelengahan masing-masing. Serangan-serangan Atletico kemudian tampak lebih menggigit dan membuat pertahanan Pique cs lumayan pontang-panting.

Sekilas pertandingan akan terasa alot setelah kedudukan 1 – 1, sampai akhirnya para pemain bertahan Atletico sadar bahwa mereka harus membayar mahal ketika sekali saja seseorang bernama Luis Suarez ‘terlepas’. Dani Alves tiba-tiba membuat keputusan untuk memberi umpan panjang ke depan. Entahlah, pada titik ini barangkali dia merasa jika ia memberi umpan pendek sebagaimana biasa, mungkin lagi-lagi akan mentok oleh ketatnya para pemain Atletico yang malam itu seperti penjudi yang terus memegang kartu bagus.

Maka umpan panjang Alves membuat Suarez nyalang, dua pengawal dan Jan Oblak sendiri tak cukup untuk menghentikan Suarez. 2–1.

Tapi, meskipun begitu, Simeone mungkin memang seorang peracik strategi dan motivator ulung. Para pemain Atletico tak kehilangan gairah meski dalam dua kali kelengahan, dua kali itu pula gawang mereka bobol. Pertandingan tetap tak mudah bagi Barcelona. Saya bahkan berpikir, bisa jadi pertandingan itu akan seri, Atletico malam itu tak seperti Real Madrid yang pada laga El Clasico pertama musim ini seakan ‘lupa’ cara bermain sepak bola, dan ‘lupa’ bahwa mereka adalah bintang-bintang yang sama terang.

Sampailah kemudian pada menit 44 saat Filipe Luis melakukan sesuatu yang mengejutkan. Melanggar Messi dengan keras tepat di depan hidung Luis Enrique. Sang pelatih marah bukang kepalang, dan wasit mencabut kartu dengan warna yang menjadi sinyal bahwa pertandingan seru itu ‘sudah berakhir’ setengah babak sebelum waktu sebenarnya. Kartu merah.

Mereka memang tertinggal, tapi pelanggaran itu terlalu konyol untuk dilakukan tim yang justru sedang menekan, meskipun tertinggal. Mereka berhasil menekan, menguapkan superioritas Barcelona di rumah sendiri, tapi salah seorang pemain membuat keputusan ‘salah’ karena tak berhasil menjaga suhu di kepala.

Tapi ajaibnya, usai turun minum, pemain Atletico yang tinggal sepuluh orang itu tetap ‘terlihat lebih banyak’ dari para pemain Barcelona yang masih utuh sebelas orang. Tak berbeda seperti ketika jumlah mereka sama banyak. Mereka tetap sanggup membuat Barcelona repot. Bahkan, Antoine Griezmann hampir membuat gol penyeimbang jika saja kaki Claudio Bravo tak menjadi ‘lantaran’ keberuntungan Barcelona.

Saya salah sangka, pertandingan ternyata tetap seru, tetap menarik, dan superioritas Barcelona seperti mengendap entah di mana oleh ‘kegairahan’ anak-anak asuh Simeone. Tapi lagi-lagi, dalam satu hal, yaitu mengendalikan emosi baik secara tim maupun individu, para pemain Atletico harus belajar banyak dari Barcelona. Diego Godin kembali melakukan pelanggaran berat terhadap Luis Suarez yang berujung kartu kuning kedua dan itu berarti kartu merah untuknya dan kartu merah kedua untuk Atletico.

Sembilan orang, jelas kondisi yang pincang dan menghadirkan ironi atas apa yang sudah ditampilkan Atletico sejak menit pertama. Mereka berhasil menekan, membuat pertandingan cenderung ‘mudah’ bagi mereka. Tapi kegairahan mereka dinodai oleh rasa frustasi mereka sendiri. Mereka berhasil membuat Andres Iniesta tampak bodoh dengan berkali-kali salah umpan, Rakitic seperti anak kecil yang berlari-lari di lapangan tanpa tahu untuk tujuan apa ia melakukan itu. Neymar tampak seperti bukan Neymar, Suarez seperti hilang di lapangan, dan Messi? Ia mungkin lupa mengunci lemari tempat ia meletakkan ke lima trofi Ballon d’Ornya, sehingga ia gelisah karena takut seseorang masuk rumah dan mengambilnya. Jadi ia hanya terlihat pada saat pemain bertahan Atletico ‘lupa’ mengapitnya dan memberi gol yang mengejutkan.

Dalam hal membuat para kreator Barcelona mati kutu, Atletico berhasil, dalam hal membuat suporter tuan rumah yang memadati Camp Nou ketar-ketir, mereka pun sukses. Pun dalam hal memaksa para pemain Barcelona memainkan bola di area pertahanan mereka sendiri di mana berkali-kali mereka berhasil merebutnya dan membuat kotak penalti Claudio Bravo seakan dilanda gempa setiap serangan tiba di sana, mereka juga sukses. Apresiasi untuk Atletico Madrid dan Diego Simeone dalam hal ini patut diberikan.

Saya yakin anda juga memberi nilai plus pada Atletico Madrid. Karena meskipun Godin menyusul Filipe Luis keluar, sembilan koleganya tetap mampu menghadirkan apa yang sebelumnya mereka kerjakan bersebelas. Ini luar biasa karena tim yang mereka hadapi adalah Barcelona. Kenyataan pula bahwa sampai akhir pertandingan, skor 2 – 1 tetap bertahan. Sembilan pemain (maaf) ‘bukan bintang’ Atletico mampu tampil lebih baik ketimbang sebelas bintang cemerlang Real Madrid dalam menghadapi Barcelona.

Bayangkan jika Filipe Luis dan Diego Godin bisa menahan diri dan mereka tak harus keluar lapangan. Ada satu keberhasilan Barcelona selain dua gol yang dibuat dalam ‘dua kesempatan langka’ mereka malam itu. Yaitu daya tahan mereka terhadap situasi sulit. Pengalaman memang sesuatu yang tak terbantah manfaatnya. Mereka sudah ribuan kali berada dalam situasi sulit. Mereka boleh mati kutu, mereka boleh seperti seseorang yang belum pernah bermain sepak bola. Tapi mereka tetap mampu menjaga ‘suhu kepala’ mereka. Seringkali, lawan merekalah yang gagal menjaga dinginnya kepala. Seperti Atletico akhir pekan lalu.

Ingat saat akhirnya mereka disingkirkan Chelsea di semifinal Liga Champions 2011/2012? Situasi mereka sulit. Chelsea bermain oportunis dengan bertahan sepanjang laga dan memetik keberuntungan dari serangan balik yang berbuah gol. Tapi rasa frustasi itu tak membuat mereka bermain kasar. Mereka tersingkir, tapi Chelsea-lah yang banyak dicela lantaran memainkan sepak bola bertahan yang membosankan.

Malam itu Barcelona tertekan, sebelas pemain Atletico (kemudian berkurang menjadi sepuluh, dan lalu sembilan) rasanya menjelma menjadi lebih banyak di lapangan. Seharusnya para pemain Barcelona yang frustasi, yang bermain kasar. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dua pemain bertahan Atletico gagal ‘bermain bersih’. Meskipun ini juga manusiawi karena usaha ‘mematikan’ para pemain bintang Barcelona tentu menguras energi mereka, dan tugas mereka pun bukan hanya semata-mata untuk itu, melainkan juga memenangkan pertandingan. Sedang tim yang mereka hadapi adalah tim terbaik di dunia saat ini, dengan barisan pemain berskil tinggi yang memiliki motivasi memenangkan setiap pertandingan siapa pun lawannya, dan dalam situasi apa pun.

Situasi sulit Atletico sebenarnya hanya ketertinggalan satu gol, sementara situasi sulit Barcelona adalah sulitnya permainan mereka berkembang seperti biasanya karena keberhasilan para pemain Atletico meredamnya. Barcelona bisa dikatakan tak bisa keluar dari situasi sulit itu sepanjang pertandingan karena dengan sembilan pemain pun Atletico tetap sanggup memberikan ancaman.

Seandainya tak ada dua pelanggaran yang berujung kartu merah, bukan saja pertandingan itu akan berjalan jauh lebih sengit, melainkan juga bisa dimenangi Atletico, atau setidaknya seri, dan selisih poin mereka tak melebar. Menjaga kepala tetap dingin dalam situasi sulit memang jauh lebih sulit daripada situasi sulit itu sendiri. Dan seringkali, seseorang gagal karena bukan semata-mata karena situasi sulitnya, melainkan karena mengambil keputusan yang salah akibat kepala yang terlanjur ‘terpanaskan’ situasi sulit.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun