Mohon tunggu...
Gandi
Gandi Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis dan mendesain

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hukuman Penalti dan Kartu Merah (Ingin) Dihapuskan?

19 Januari 2016   11:22 Diperbarui: 19 Januari 2016   14:24 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Adalah keinginan yang disampaikan Presiden FC Barcelona, Josep Maria Bartomeau yang disampaikan kepada FIFA bahwa penalti dan kartu merah adalah dua hal yang mengurangi keindahan dan intensitas sebuah permainan sepak bola, jadi sebaiknya penalti dan kartu merah itu dihapuskan dari sepak bola.

Keinginan itu mencuat usai pertandingan antara Barcelona melawan Athletic Bilbao yang berkesudahan 6 – 0 untuk Barcelona di lanjutan La Liga. Pada pertandingan itu, Bilbao harus mendapat penalti sekaligus kehilangan kiper mereka Gorka Iraizoz yang melanggar Luis Suarez pada saat pertandingan baru memasuki menit ke 4. Keadaan yang menurut Bartomeau membuat pertandingan kemudian berjalan tak seimbang dan membosankan.

Penalti adalah hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan di dalam garis kotak di depan gawang yang juga disebut kotak penalti, berupa tendangan langsung ke gawang dengan hanya si penjaga gawang seorang tim yang dihukum penalti yang boleh menghadangnya.

Kartu merah diberikan apabila pelanggaran berat (yang bisa mencederai fisik dan mengancam masa depan pemain yang dilanggar) dilakukan seorang pemain terhadap pemain lawan. Kartu merah yang diberikan wasit kepada seorang pemain  yang melakukan pelanggaran adalah tanda bahwa seorang pemain tersebut harus keluar meninggalkan permainan dan tak bisa diganti dengan pemain lain. Hukuman demikian diterapkan agar pemain sepak bola bisa mengontrol diri sehingga permainan sepak bola sendiri menjadi permainan yang ‘bersih’ yang bebas dari banyaknya pelanggaran.

Tak jarang seorang pemain melakukan pelanggaran berat yang berujung kartu merah, di kotak penalti pula. Keadaan yang bisa membuat sebuah tim mendapat dua hukuman sekaligus. Tendangan penalti dan kehilangan seorang pemain di sepanjang sisa waktu pertandingan.

Tak jarang pula bahwa kartu merah atau penalti, atau bahkan kartu merah sekaligus penalti seringkali menjadi momen yang mengubah jalannya pertandingan. Mempengaruhi intesitasnya dan ‘celakanya’ lebih sering membuat ‘keseruan’ dari sebuah pertandingan hilang, karena tim yang mendapat hukuman tersebut menjadi kehilangan ‘angin’.

Bagaimana pun, kartu merah akan membuat sebuah tim berkurang seorang pemainnya menjadi hanya 10, melawan 11 pemain lawan. Lalu penalti sendiri adalah hukuman yang sanggup membuat sebuah tim goyah. Ketika wasit meniup peluit tanda pelanggaran dan menunjuk titik putih berjarak 12 meter di depan mulut gawang tanda penalti, seringkali terasa bahwa tim itu ‘sudah’ kemasukan satu gol.

Keinginan itu bisa jadi akan didukung oleh banyak pihak yang (tak jarang) berpendapat bahwa kartu merah atau penalti itu sangat merugikan sebuah tim, bahkan bisa menghilangkan peluang menang sebuah tim. Apalagi sebuah hukuman penalti terkadang bukan datang dari pelanggaran yang dilakukan di dalam kotak penalti oleh pemain tim yang bertahan, melainkan dari kelicikan pemain penyerang lawan yang melakukan diving, menjatuhkan diri seakan-akan dia dilanggar.

Keinginan Bartomeau yang disampaikan itu bisa menjadi dilema. Akan menjadi perdebatan karena kecuali banyak yang (mungkin) mendukung, tapi tentunya tak sedikit pula yang menentang.

Jika dua jenis hukuman itu dihilangkan, barangkali memang akan membuat sebuah pertandingan sepak bola tak kehilangan ‘keseruan’ dan ‘sensasi’ tensi tingginya dari dua tim yang bertanding. Sepak bola tidak akan kehilangan keindahannya.

Tapi bagaimana dengan sportifitas? Jelas, keinginan Bartomeau akan sulit untuk diterapkan. Tanpa hukuman kartu merah, seorang pemain, atau bahkan sebuah tim, tidak akan ragu melakukan segala cara untuk menang. Termasuk melakukan pelanggaran. Tanpa penalti, seorang pemain bertahan akan ‘main kayu’ untuk mempertahankan gawangnya.

Dan yang pasti, pemain yang dilanggar hanya akan menjadi ‘korban’ belaka. Apakah itu seru? Apakah seorang Bartomeau tak berpikir bagaimana jika seorang ‘Messinya’ dilanggar (dengan berat dan beresiko cedera) oleh pemain bertahan lawan, dengan lawan tak mendapat hukuman apa pun?

Memang kartu merah dan penalti bisa menjadi momen yang merubah ‘keseruan’ sebuah pertandingan sepak bola, ‘merampok’ tensinya dan merugikan tim yang menerimanya. Tapi apa pun, itu adalah ‘hadiah’ dari ‘dosa’ yang dilakukannya. Tanpa menafikan banyak kejadian di mana wasit yang kurang jeli sering membuat keputusan yang salah (seperti diving penyerang lawan di kotak penalti), sebuah tim memang dituntut bermain bersih. Karena permainan bertensi tinggi tapi bersih dan penuh penghormatan terhadap lawan itulah yang sebenarnya merupakan keindahan dan keluarbiasaan sepak bola.

Ada peraturan dalam sebuah permainan, tapi seiring waktu, selalu ada keinginan untuk merubah suatu aturan permainan yang sudah diterapkan. Celakanya, terkadang perubahan itu diinginkan demi mengakomodasi satu ‘sudut pandang tertentu’ yang jika diterapkan sebenarnya justru membuat sebuah permainan kembali seperti pada saat aturan yang mengakomodasi semua celah keadilan dan sportifitas belum diterapkan.

Tentu saja kasihan bagi tim jika pertandingan baru beberapa menit berjalan, tiba-tiba mendapat kartu merah, tiba-tiba mendapat penalti, atau mendapat penalti dan kartu merah sekaligus. Akan menguntungkan tim lawan dan pertandingan akan berjalan kurang seimbang, atau pertandingan itu kehilangan tensinya.

Tapi apa pun, kartu merah atau penalti itu adalah komitmen sebuah dua tim yang bertanding. Dua tim harus bermain sportif jika tak ingin kehilangan tensi atau keindahan atau apa pun dalam sepak bola. Lagipula, bukankah manis dan membanggakan jika menang dengan ‘bersih’?

Tapi bukan tak mungkin usulan itu dipertimbangkan FIFA, dan (mungkin) diterapkan entah seperti apa bentuknya. Kenapa mungkin? Karena usulannya datang dari orang dari klub besar. ‘Orang besar’ suaranya menggelegar, biar pun konyol, nyatanya lebih sering di dengar. Orang kecil suaranya kecil, seperti kilik-kilik yang menggatalkan kuping, bukan didengar, tapi malah bisa digampar.

Bisa dibayangkan jika keinginan Bartomeau diterapkan, sportifitas bisa menguap dari sepak bola. Seorang pemain atau sebuah tim tak akan ragu-ragu untuk melanggar demi kemenangan. Bayangkan juga jika itu diterapkan di Indonesia. Horor, bukan? 

gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun