Dan yang pasti, pemain yang dilanggar hanya akan menjadi ‘korban’ belaka. Apakah itu seru? Apakah seorang Bartomeau tak berpikir bagaimana jika seorang ‘Messinya’ dilanggar (dengan berat dan beresiko cedera) oleh pemain bertahan lawan, dengan lawan tak mendapat hukuman apa pun?
Memang kartu merah dan penalti bisa menjadi momen yang merubah ‘keseruan’ sebuah pertandingan sepak bola, ‘merampok’ tensinya dan merugikan tim yang menerimanya. Tapi apa pun, itu adalah ‘hadiah’ dari ‘dosa’ yang dilakukannya. Tanpa menafikan banyak kejadian di mana wasit yang kurang jeli sering membuat keputusan yang salah (seperti diving penyerang lawan di kotak penalti), sebuah tim memang dituntut bermain bersih. Karena permainan bertensi tinggi tapi bersih dan penuh penghormatan terhadap lawan itulah yang sebenarnya merupakan keindahan dan keluarbiasaan sepak bola.
Ada peraturan dalam sebuah permainan, tapi seiring waktu, selalu ada keinginan untuk merubah suatu aturan permainan yang sudah diterapkan. Celakanya, terkadang perubahan itu diinginkan demi mengakomodasi satu ‘sudut pandang tertentu’ yang jika diterapkan sebenarnya justru membuat sebuah permainan kembali seperti pada saat aturan yang mengakomodasi semua celah keadilan dan sportifitas belum diterapkan.
Tentu saja kasihan bagi tim jika pertandingan baru beberapa menit berjalan, tiba-tiba mendapat kartu merah, tiba-tiba mendapat penalti, atau mendapat penalti dan kartu merah sekaligus. Akan menguntungkan tim lawan dan pertandingan akan berjalan kurang seimbang, atau pertandingan itu kehilangan tensinya.
Tapi apa pun, kartu merah atau penalti itu adalah komitmen sebuah dua tim yang bertanding. Dua tim harus bermain sportif jika tak ingin kehilangan tensi atau keindahan atau apa pun dalam sepak bola. Lagipula, bukankah manis dan membanggakan jika menang dengan ‘bersih’?
Tapi bukan tak mungkin usulan itu dipertimbangkan FIFA, dan (mungkin) diterapkan entah seperti apa bentuknya. Kenapa mungkin? Karena usulannya datang dari orang dari klub besar. ‘Orang besar’ suaranya menggelegar, biar pun konyol, nyatanya lebih sering di dengar. Orang kecil suaranya kecil, seperti kilik-kilik yang menggatalkan kuping, bukan didengar, tapi malah bisa digampar.
Bisa dibayangkan jika keinginan Bartomeau diterapkan, sportifitas bisa menguap dari sepak bola. Seorang pemain atau sebuah tim tak akan ragu-ragu untuk melanggar demi kemenangan. Bayangkan juga jika itu diterapkan di Indonesia. Horor, bukan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H