“Hidup Brasil!”
Teriakan itu membuat suasana menghangat, kejengkelan oleh dua gol Zidane di babak pertama dan teriakan Eva yang girang menyambutnya sedikit terlupakan. Harapan kian menyala terang ketika Dessaily yang licik itu, menurut mereka, mendapat kartu merah. Luis menjadi pemandu semangat yang membuat harapan kembali mencuat.
Tapi harapan yang dikatakan Luis tak terbukti apa-apa di layar. Pemain Brasil tetap kesulitan membongkar pertahanan Perancis. Mereka sepertinya bermain dengan cara yang sama di babak pertama. Tak ada yang berubah. Pemain-pemain Brasil seperti sekumpulan orang-orang bodoh yang kebingungan oleh cantiknya permainan yang dibuat pemain-pemain Perancis. Menurut mereka.
“Perancis semakin menggila tampaknya, Luis,”
“Kita harus bersabar. Gol akan datang,”
Mereka masih percaya sampai ketika akhirnya Emannuel Petit benar-benar membungkam Brasil dengan golnya untuk melengkapi dua gol Zidane, sementara waktu sudah hampir habis. Luis tampak lemas, kata-katanya yang penuh harapan terkubur dalam-dalam. Brasil bobol lagi untuk yang ketiga kalinya.
0 – 3.
“Goool! Si Kuncir itu hebat!”
Eva tetap girang menyambut gol Petit. Felix segera membungkam mulut Eva dengan tangannya. Sejenak, ibunya pun menghambur memeluknya. Karena orang-orang yang tadi sudah memendam kekesalan pada teriakannya seketika berdiri mendengar teriakan girang Eva sekali lagi.
“Hei, anak bodoh! Kau tahu apa artinya itu?”
“Ricardo, tivimu itu tidak berguna. Tak bisa membuat anakmu tahu sedihnya rakyat Brasil oleh gol-gol orang Perancis!”