Terhitung tanggal 16 Juli 2018, BPS menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia telah memasuki babak baru di angka satu digit yaitu sekitar 9,82 persen. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,3 persen dari September 2017 dan sekaligus mencatat kemiskinan terendah sejak reformasi.Â
Seketika, berita ini menjadi viral di media sosial dan masyarakat. Â Seperti biasa, pro dan kontra akan data yang disajikan BPS mulai bermunculan.Â
Sebagian merasa bahwa data yang dihasilkan sesuai dan merasa terpuaskan karena kinerja dalam mengentaskan kemiskinan terlihat berhasil. Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan kebenaran data tersebut terutama mereka yang kurang terpuaskan dengan data tersebut. Kritik tentang metodologi yang digunakan oleh BPS mulai bermunculan dari berbagai kalangan.
 Salah satu kritik paling tajam yang disampaikan serta yang paling ramai pula dibicarakan adalah kritik tentang penentuan Garis Kemiskinan. Seorang penduduk disebut miskin ketika pengeluarannya berada dibawah Garis Kemiskinan maka tentu penentuan besar Garis Kemiskinan ini menjadi titik krusial yang justru banyak dipertanyakan.Â
Banyak kalangan menilai bahwa Garis Kemiskinan yang digunakan oleh BPS yaitu sebesar 383.908 ribu rupiah per kapita per bulan itu tidak realistis. Angka ini jika dihitung dari sisi per hari menjadi sebesar 12.700 rupiah.
Uang sejumlah ini menurut sebagian kalangan digunakan untuk makan sehari-hari saja tidak akan cukup apalagi jika ditambah untuk kebutuhan-kebutuhan lain seperti berobat atau keperluan sekolah.Â
Argumentansi ini banyak didukung oleh sebagian kalangan sehingga akhirnya terbentuklah opini bahwa data yang disajikan BPS tidak benar dan hanya berdasarkan 'Asal Bapak Senang' belaka. Tetapi, apa benar demikian?
BPS sendiri sebenarnya sudah memberikan penjelasan terkait Garis Kemiskinan tersebut. Kepala BPS dalam sebuah statemennya di salah satu majalah mengatakan bahwa BPS tidak pernah main-main dengan data.Â
Bagaimana mungkin BPS memainkan dan memanipulasi data sedang untuk mendapatkan data tersebut, nyawa yang menjadi taruhan? Tidak sedikit petugas BPS yang harus rela naik gunung bahkan naik perahu untuk bisa mendatangi suatu desa demi keperluan pendataan.Â
Bahkan, di Indonesia timur sana, ada seorang petugas BPS yang kehilangan jarinya bahkan hampir kehilangan nyawanya saat melakukan survei kemiskinan ini. Ia mengalami kecelakaan di perahu saat kembali dari melakukan survei di sebuah pulau yang ada di timur sana. Jika sebesar itu pengorbanannya, apa etis jika data itu dimainkan?
Terkait Garis Kemiskinan sendiri, Kepala BPS RI telah menjelaskan bahwa sebagian orang salah dalam menginterpretasikan Garis Kemiskinan tersebut.Â