Ekonomi Sulit Pemicunya?
Akhir Juni lalu, giliran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)Â menyampaikan data yang mengejutkan publik terkait judi onine ini. Bahwa lebih dari 1.000 orang di DPR dan DPRD yang kecanduan judi online. Jumlah transaksinya mencapai lebih dari 63.000 dengan perputaran uang mencapai ratusan miliar rupiah. Wow, fantastik bukan? Benar-benar membagongkan khalayak.
Pertanyaannya, apakah fenomena judi online benar-benar mewabah di semua lini, termasuk kelas menengah atas?Â
Kalau menurut hemat penulis, fenomena judi online yang diduga menjalar di kalangan para wakil rakyat itu mungkin ibarat sebuah sisipan saja. Gejala yang sama juga bisa ditautkan dengan sejumlah selebiriti hingga influencer yang sempat diciduk polisi karena terkait dengan praktik judi online.Â
Kelompok ini lebih kuat motivasinya pada mencari hiburan dan keuntungan. Bagi oknum wakil rakyat, mungkin mereka hanya mencari kesenangan dari sensasi judi online, iseng-iseng berhadiah, siapa tahu jackpot kan, hehehe. Atau bisa juga mereka memang hobi berjudi.
Sementara fenomena judi online yang coba dipotret dalam tulisan ini adalah seperti dua contoh kasus di atas. Mereka dililit kesulitan ekonomi, setiap bulan gajinya cenderung minus, karena daftar angsuran yang harus mereka tunaikan. Maka meski naga-naganya seolah mencari huburan, sebetulnya itulah cara mereka lari dari kenyataan yang pahit sambil merawat harapan. Ya meskipun harapan itu sifatnya semu, bahkan delusi.Â
Ya, benang merahnya adalah kesulitan hidup, khususnya di masa ekonomi sulit yang sudah dirasakan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Seperti diketahui, dua tahun masa pandemi telah membuat ekonomi banyak negara mengalami kontraksi hebat. Begitu pandemi berakhir, dunia juga dihadapkan dengan resesi global yang ditandai dengan ancaman inflasi tak terhindarkan.
Masyarakat kecil saat ini mungkin tak paham ditanya soal dampak inflasi, apalagi resesi ekonomi global. Tapi ajaklah mereka bercerita tentang nilai uang yang menurun dalam satu dua tahun terakhir, nominal yang sama tapi nilainya berkurang. Pastilah mereka akan dengan fasihnya berkisah. Duit satus ewu koyo ora ono ajine, begitu kelakar mereka menertawakan realitas pahit mereka sendiri.
Anto misalnya, seorang buruh pabrik yang gajinya sudah UMK. Dia mengeluhkan gajinya yang tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, sekitar satu sampai dua tahun lalu, dengan gaji yang sama ia masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga untuk satu bulan.
Akibatnya, sang istri yang sebelumnya focus mengurus rumah tangga, akhirnya berinisiatif untuk ikut bekerja demi menjaga dapur tetap ngebul.
"Sekitar satu tahun sampai 2 tahun lalu, uang 50 ribu bisa bawa pulang satu kresek besar saat ke pasar, tapi sekarang uang 100 ribu aja kreseknya gak penuh," tutur warga lainnya.