Buat apa, sih, mulai ngerti tentang perubahan iklim? Kenapa kita harus tahu bahkan paham tentang apa yang terjadi beberapa tahun ke depan? Apa yang terjadi jika persediaan karbon di dunia ini telah habis? Apakah masih akan ada transportasi, listrik, penyedia air, internet, dll? Lalu sampai kapan kita bisa menikmati itu semua? Bagaimana dengan anak cucu kita? Mungkin itu semua merupakan beberapa pertanyaan yang sempat terlintas di pikiran kita.Â
Penjelasan mengenai perubahan iklim sudah sering menjadi perbincangan media. Dari persediaan karbon, efek rumah kaca hingga efek dari bumi yang memanas tiap tahunnya. Musim yang terjadi di Indonesia kini tidak dapat diprediksi lagi, hal ini menimbulkan pengaruh terhadap berbagai sektor mulai dari sektor ekonomi, hingga sektor pertanian.
Perubahan iklim berproses secara alami. Dunia kita saat ini telah mengalami pemanasan yang cepat akibat aktivitas manusia, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil seperti bensin, solar, dan batu bara, juga pembukaan lahan dan hutan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.Â
Peningkatan emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia ibarat selimut yang melilit bumi, menjebak panas matahari dan menaikkan suhu. Tempat pembuangan sampah juga merupakan sumber lain penyumbang gas rumah kaca.
 Energi, industri, pertanian dan pembuangan limbah adalah penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Konsentrasi gas rumah kaca saat ini berada pada tingkat tertinggi dalam 2 juta tahun dan terus meningkat. Akibatnya, bumi menjadi sekitar 1,1°C lebih hangat dibandingkan sekitar tahun 1800-an. Banyak dari kita berpikir bahwa perubahan iklim berarti suhu yang lebih panas.Â
Kenaikan suhu hanyalah awal dari bencana. Bumi adalah sebuah sistem, di mana semuanya terhubung, perubahan di satu area dapat memengaruhi perubahan di tempat lain lain. Akibat perubahan iklim yang kita rasakan saat ini: intensitas kekeringan, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut.
Perubahan iklim adalah tantangan bersama. Kita tahu ada banyak solusi untuk mengatasi problem ini. Kalangan ilmuwan menghimbau membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C, akan membantu kita menghindari dampak iklim terburuk dan mempertahankan kehidupan yang layak huni. Mengalihkan sistem energi dari bahan bakar fosil ke energi baru dan terbarukan atau EBT seperti solar akan mengurangi emisi yang mendorong perubahan iklim.
Planning Indonesia untuk pengembangan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) sudah menargetkan 23% dari total sumber listrik berasal dari EBT dan untuk jangka panjang sebesar 31% di 2050.Â
Padahal, sampai dengan 2019, kurang dari 10% pembangkit di Indonesia berasal dari EBT. Mayoritas masih dipegang oleh batu bara dan minyak bumi yang hampir mendominasi 2/3 dari total pembangkit di Indonesia. Namun, untuk perkembangan dari solar energipun tidak terlalu mengecewakan, meskipun masih jauh sekali dari potensi yang dimiliki oleh Indonesia.Â
Indonesia yang terletak di garis katulistiwa dengan musim panas yang cukup lama sepanjang tahun, sudah tentu potensinya sangat besar bahkan secara teori dapat mencapai 200 GW, sayangnya dari 200 GW itu belum ada 0,1% yang digunakan sebagai listrik.
Apa yang menghambat Indonesia untuk menggunakan EBT? Bukankah sudah ada energi terbarukan yang sejak lama digembor-gemborkan menjadi solusi dari dampak perubahan iklim. Memang itu semua sudah dilakukan, bahkan panel surya diperkenalkan sejak tahun 1970.Â
Ternyata "Efisiensi" adalah permasalahan utamanya. Panel surya tahun 1970 mampu mengonversi sinar matahari menjadi listrik dengan efisiensi 15% saja. Sekarang efisiensi tertingginya baru mencapai 25%. Apalagi harga yang mahal membuat jarang konsumen yang menggunakannya. Selain itu, di Indonesia sendiri, market dari panel surya masih sangat kecil, tidak banyak yang tertarik ke EBT secara umum.Â
Kebanyakan industri dalam negeri masih belum siap, jadi pembangkit-pembangkitnya mayoritas masih menggunakan produk impor. Di sisi lain, standing dalam negeri – dalam konteks perbankan – mereka masih belum akrab dengan konsep bisnis EBT.Â
Konsep bisnis EBT membutuhkan modal yang sangat besar jauh di atas rotation dan maintenance cost, jadi membutuhkan uang yang besar di awal. Juga, dari segi personil dan orang yang ahli sudah banyak, namun masih jauh dari apa yang diharapkan.
Lalu bagaimana solusinya? Terdapat dua jenis pengembangan EBT di Indonesia, yaitu Renewable Energy Based Industrial Development dan Renewable Energy Based Economic Development.Â
Renewable Energy Based Industrial Development yaitu dengan membangun pembangkit- pembangkit EBT di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan pertumbuhan industri yang nantinya akan menciptakan permintaan. Selain EBT, untuk sektor yang sudah maju, ada yang ditujukan bagi daerah-daerah yang masih perlu didorong perekonomiannya.Â
Caranya dengan membangun pembangkit-pembangkit off-grid, yaitu membangun pembangkit dengan skala kecil dan tidak tersambung dengan PLN. Misalnya pembangkit EBT yang mampu mengaliri listrik sebanyak 30-50 rumah di daerah 3T (Terluar, Tertinggal, Terdepan).Â
Kondisi atau keadaan energi saat ini mengajarkan pada kita mengenai usaha serius dan sistematis dalam mengembangkan serta menerapkan sumber energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang perlu segera diterapkan.Â
Selain itu dalam penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, tentu juga akan menyelematkan lingkungan hidup dari berbagai dampak buruk yang timbul akibat penggunaan BBM.Â
Terdapat banyak sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, mampu diterapkan segera di Indonesia. Dalam penerapan ini tentu memerlukan adanya kerjasama maupun koordinasi antar departemen teknis serta dukungan dari industri dan masyarakat untuk mewujudkan implementasi sumber energi terbarukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H