Mohon tunggu...
Sidik Permana
Sidik Permana Mohon Tunggu... Editor - Freelance

Saya hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi

23 Juli 2023   16:01 Diperbarui: 23 Juli 2023   16:20 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Sebagai contoh, putusan MK terkait eksistensi pidana mati, sifat melawan hukum materiel pada tindak pidana korupsi, dan lainnya, yang menjadi persoalan adanya putusan MK yang tidak diikuti oleh MA. Suhariyanto (2016) menjelaskan bahwa fenomena praktik peradilan dimana tidak terlaksanakannya atau tidak diikutinya putusan MK oleh MA ini menimbulkan sebuah asumsi bahwa meskipun sifat putusan MK yang final dan mengikat secara umum (erga omnes) serta setara dengan undang-undang (negatif legislator), ternyata tidak serta merta dapat mengikat atau dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Hal ini menjadi persoalan eksekutabilitas yang menarik untuk dicerna karena berhubungan dengan peran dan kedudukan MK.

            Ketika melihat MK berwenang untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, sedangkan MA menguji peraturan di bawah UU, rasanya muncul kesan bahwa MK berada di atas MA secara struktural. Pandangan ini tentu saja terbantahkan dengan fakta bahwa semua lembaga tinggi negara setara secara kekuasaan di mata konstitusi yang mana kewenangannya sudah ditetapkan. 

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay (2006) menyebutkan jika mengacu kepada ajaran Pemisahan/Pembagian kekuasaan, konsep tersebut dinilai kurang tepat karena pada prinsipnya ajaran ini justru lebih memandang bahwa tiap-tiap kekuasaan telah ditentukan dalam ruang lingkup kekuasaannya masing-masing sebagaimana diatur dalam konstitusi. Persinggungan ini nyatanya sudah usai ketika konstitusi menyatakan demikian, bahkan dipertegas dalam Pasal 26 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.

            Semua penjelasan tadi memberikan kita gambaran terkait komitmen hukum dan ekosistem peradilan yang mendukung satu sama lain, serta membangun kerja sama antar lembaga negara, sehingga mampu menghasilkan dan menjalankan putusan hukum tanpa hambatan. 

Kendati muncul perbincangan dan perdebatan merupakan hal yang wajar dalam bernegara, namun semua mesti diselesaikan dengan segera melalui instrumen yang ada, dalam hal ini hukum. Dengan demikian, peran MK dan MA ini bisa menjadi sebuah percontohan bagi lembaga tinggi lainnya dalam membangun sebuah sinergitas dan ekosistem peradilan sehat di Indonesia. Tetapi, apakah sinergitas dan independensi MK ini punya respons yang sama di depan persoalan politis.

Mahkamah Konstitusi dan Perang Politis

            Berbicara mengenai isu-isu politik yang berusaha menyerang, dalam artian infiltrasi independensi MK, menjadi salah satu topik yang cukup menimbulkan rasa waswas bagi segelintir orang, mungkin Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD) bagi alumni "98" dan pemerhati hukum. Kita mulai membukanya dengan persoalan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto. Polemik ini dimulai ketika Aswanto, selaku Hakim Konstitusi, diganti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun pada saat yang bersamaan anggota dewan menyepakati Guntur Hamzah, Sekretaris Jenderal MK, untuk menggantikan posisinya sebagai Hakim Konstitusi. 

Hal ini jelas menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, dengan keras ICW, sebagaimana dikutip dari laman antikorupsi.org (2022), menyebutkan jika langkah DPR terhadap MK ini semakin memperlihatkan sikap otoritarianisme dan pembangkangan hukum. Secara garis besar, upaya ini dinilai menggerus independensi MK.

            Tidak tanggung-tanggung, ICW mengutarakan enam poin kekeliruan DPR ketika merombak komposisi majelis hakim konstitusi, diantaranya: 1) Kekeliruan dalam menafsirkan surat dari ketua MK yang secara substansial merupakan konfirmasi atau pemberitahuan dampak Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020 tentang periodisasi jabatan hakim MK; 2) Menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; 3) Pemberhentian dinilai ahistoris, imateriel, dan cacat formal; 4) Keputusan syarat akan politik yang ditujukan kepada lembaga kekuasaan kehakiman; 5) Dasar pemikiran atas pemberhentian Aswanto bermuatan konflik kepentingan dan seolah hendak menundukan mahkamah; dan, 6) Inkonstitusionalnya keputusan DPR akan menjadi preseden buruk bagi masa depan MK.

            Melalui reaksi dan kritik keras ini, kita menyadari bahwa MK memiliki dua misi dalam menjalankan tugasnya, yaitu selain mewujudkan kewenangan dan tanggung jawabnya juga menjaga independensi MK agar tetap konsisten. Bagaimana pun, MK memiliki peran vital dan fatal bila dipandang dalam sudut pandang politik. Tidak heran, bila segelintir oknum dalam kekuasaan berusaha mengintervensi MK. Kita mungkin sulit menyadari akan intervensi itu akan berdampak buruk di masa depan yang sangat acak, karena itu "too good to be true". Tapi, insting para akademisi dan praktisi di bidang hukum, dan pemerhati lainnya, mungkin bisa dijadikan sebuah eksperimen berpikir.

Dari Reformasi Hingga Konsistensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun