Buat apa menulis di Kompasiana?(!). Mungkin pertanyaan ini pernah terbersit di pikiran banyak penulis di sini. Â Dan saya yakin itu. Â Yang saya tidak yakin adalah apa jawaban masing-masing orang, bahkan saya tidak yakin dengan jawaban saya sendiri, yang juga Kompasianer di sini (sebutan buat penulis di Kompasiana).Â
Boleh jadi, ada banyak motivasi, motivasi yang berbeda-beda yang melatarbelakangi para penulis sehingga mereka masih setia mengirimkan artikelnya di blog gratisan ini. Ya, setidaknya masih gratis hingga hari ini, meski sebetulnya sejak setahun belakangan ini pihak manajemen Kompasiana sudah menyediakan opsi berbayar (premium) dengan segala fasilitas khusus yang tak dimiliki oleh penulis gratisan tadi, antara lain kenyamanan tampilan monitor smartphone/laptop yang dibersihkan dari segala macam iklan yang menganggu dan menyedot kuota internet.
Untuk sementara lupakan dulu soal  "Premium" tadi, saya tidak bermaksud membahas itu hari ini. Lagian, saya lebih senang jika monitor saya banyak dipenuhi iklan. Gunanya buat memanipulasi perasaan saya seolah-olah diri ini penulis yang sukses. (Ngerti kan maksud saya?).
Kembali ke soal motivasi tadi. Â Buat apa sih menulis di Kompasiana?!. Â Pasti dapat uang dari K-Reward juga tidak. Â Bukannya untung malah buntung. Waktu, pikiran, perasaan, keringat dan biaya tidak sedikit yang dikorbankan demi menulis di Kompasiana. Belum lagi bagi perokok berat seperti saya. Satu artikel itu bisa menguras sekian batang rokok (baca;bungkus) seiring semakin derasnya pikiran dan perasaan saya yang mengalir sehingga akhirnya terciptalah sebuah karya tulis.Â
Namun, dengan semua "pengorbanan" itu tampaknya tak menjadi penghalang bagi penulis untuk terus menyumbangkan karyanya di Kompasiana ini. Mengapa?.Â
Ya, Mengapa? (saya bertanya sama kamu).
Coba dijawab di kolom komentar di bawah ini yaaa.....
Yaa.... tentunya kalian lebih menuntut saya untuk terlebih dahulu memberikan jawaban atas pertanyaan tadi itu bukan? Setidaknya bisa kalian jadikan sebagai bahan contekan. Begitu kan?(!).
Baiklah.
Sebenarnya sulit bagi saya untuk memilih jawaban yang tepat.  Karena orang seperti saya ini sudah tidak banyak "kepingin".  Sebentar lagi usia saya 50 tahun.  Beberapa tahun belakangan ini saya sudah "latihan"  untuk tidak lagi mengharapkan pujian. Jadi kalau tujuan menulis agar mendapat pujian, yaa.... insyaa Allah tidak. Tidak lagi. Dan semoga tidak lagi, buat selamanya. Karena pujian itu akan menjauhkan kita dari Nya. Saya berharap, dalam menjalani masa-masa akhir kehidupan ini, saya dapat terampil mengelola jiwa ini sebaik-baiknya, dalam arti  mampu menetralisir rasa ingin dipuji, sekaligus pula rasa ingin membenci. Sehingga akhirnya saya benar-benar tidak membutuhkan itu.Â
Uang? Â Tadi saya dengar kalian menanyakan apakah saya tidak membutuhkan uang?
Tentu saja saya masih butuh. Dari awal saya tidak bilang kalau saya tidak butuh uang. Coba scroll tulisan ini ke atas. Baca lagi benar-benar!.
Tapi.... tadi katanya menulis di sini tidak pasti dapat uang? Lalu, apa? Mengapa masih menulis di Kompasiana?
Entahlah.....
Bagaimanapun setiap kegiatan itu akan ada sisi baik dan sisi buruknya. Termasuk pula dalam kegiatan menulis. Tidak hanya di Kompasiana ini.Â
Hendaknya kita mesti pandai-pandai menghitung, kalau masih ada sisi baiknya maka tak ada salahnya untuk terus menulis. Sebaliknya, bila ternyata lebih banyak mudhoratnya, maka tak ada alasan untuk terus melanjutkan kegiatan yang bisa membawa kerugian, termasuk kerugian yang paling kecil atau samar sekalipun, misalnya kerugian "perasaan".  Maksud saya, perasaan yang akan bisa terlena, terbuai, sehingga porsi waktu kita buat mengingat Nya, buat mengingat anak dan istri/suami menjadi terkorbankan  dari sebab "kesibukan" kita menulis tadi. Â
Untuk disadari, kegiatan menulis ini adalah kegiatan yang paling banyak menyita waktu, pikiran dan perasaan dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Â Jangan dikira menulis ini dimulai saat jejari kita menari di atas tombol keyboard, tapi sesungguhnya kesibukan itu sudah berlangsung jauh sebelum itu, kesibukan di alam pikiran dan perasaaan si penulis. Bahkan meski tulisan itu sudah selesai di-upload, tetap saja sibuk memikirkan tulisan tadi. Â Maka dampaknya, akan terlupakanlah yang lain. Â Begitulah.
Maka, bila kegiatan menulis itu  mulai  nampak "membahayakan  jiwa", tak ada salahnya untuk tidak lagi menulis, setidak mengurangi kegiatan menulis. Dan itu akan sangat tergantung sekali kepada kemampuan kita "melihat".  Tergantung kualitas "mata ketiga" kita, yang dengan mata ketiga itu akan nampak apa yang baik apa yang buruk, mana yang benar mana yang salah.Â
Lalu mengapa masih terus menulis?.
Ya, tadi sudah saya terangkan. Â Karena masih ada sisi baiknya maka tak ada salahnya untuk terus menulis. Baik, menjalin hubungan dengan sesama penulis di sini. Saling bertegur sapa. Berbagi pengalaman atau pengetahuan. Baik, Â menjalin hubungan dengan pembaca Kompasiana, yang siapa tahu "merasa" rindu (baca;perlu) Â dengan tulisan kita atau mendapat manfaat dari cerita yang kita bagikan di Kompasiana ini. Â
Dan... setidaknya, dengan menulis di Kompasiana, uneg-uneg kita (ide, keluhan, kemarahan, dan segala macam pikiran ataupun perasaan) dengan mudah tersalurkan. Tidak terpendam terlalu lama di dalam kepala atau dada. Maka, inilah manfaat terbesar dari Kompasiana, sebagai  wadah buat kita "memuntahkan" pikiran dan perasaan!. Dan itu baik bagi kesehatan. Untuk itu, kita, penulis di sini, layak berterimakasih kepada Kompasiana.Â
Terimakasih Kompasiana!.Â
*Catatan; Tulisan ini bukan kritikan, Â tapi pujian kepada Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI