Seperti upaya menghidupkan api cerutuku saat ini, berulangkali kubakar, berulangkali pula ia mati (padam).
Ya, mungkin karena tembakau racikanku terlalu padat, jadi susah menghisapnya sehingga bara apinya menjadi padam. Tapi, meski begitu, tak pula bosan-bosan masih saja tetap ku pantik "mancik" murahan ini hingga cerutuku akhirnya menyala, bisa kunikmati.....
Intinya, diri ini tak berhenti berupaya, tak kapok mencoba, tetap berusaha membakarnya demi mendapatkan suatu kenikmatan.
Begitu pula dalam menulis, bila kita merasa nikmat dalam kegiatan menulis, maka tentunya kita akan cenderung terus menulis. Ya, terus menulis, sepanjang kenikmatan itu masih terus bisa didapatkan....
Persoalannya, dalam hubungannya dengan menulis ini, kerap kali yang didapatkan bukanlah kenikmatan tapi justru "ketersiksaan".Â
Ya, bisa saja. Yang kita rasakan atau kita dapatkan adalah justru berupa kekecewaan. Hal ini bisa terjadi karena apa yang kita harapkan dari kegiatan menulis tadi ternyata tidak tercapai. Â
Memangnya apa yang hendak dicapai? Ya, itu tergantung niat kita diawal, untuk apa kita menulis. Demi apa kita menulis. Apa yang kita harapkan dari menulis, atau hasil apa yang hendak kita dapatkan dari menulis. Â
Kalaulah tadinya kita mengharapkan perhatian atau pujian dari orang lain atas tulisan yang kita buat, lalu kemudian ternyata respon berwujud pujian itu tidak kunjung tiba, sedikit yang membaca, sedikit yang like, maka bisa saja kita akan menjadi kecewa.Â
Atau, dari hasil menulis tadi kita mengharapkan semacam reward, baik berupa piagam atau pun bayaran uang misalnya. Tapi kemudian apa yang kita harapkan tadi ternyata tidak didapatkan, maka kecewa, tentu saja, marah, kesal, bahkan sakit hati.
Ya, itu sekedar contoh saja. Berbagai niat atau motivasi seseorang dalam rangka menghasilkan karya tulisnya.
Tidak ada yang salah. Tidak ada yang salah dengan niat menulis seseorang. Â Namun permasalahan yang hendak saya angkat di sini adalah bahwa dari sebab niat yang tidak tepat, Â bisa saja nantinya akan menimbulkan "kerumitan" Â bagi diri kita sendiri, akan menjerumuskan kita ke dalam "lubang penderitaan" yang kita gali sendiri. Percayalah....
Kini terasa semakin rumit...
Rumit?
 Yaa.... rumit  menjelaskannya....
So?Â
Yeaaa...! Â Kamu jangan bikin ini jadi tambah rumit dengan pertanyaanmu yang rumit tentang apa dan bagaimana itu rumit.
Maka, niat menulis itu perlu untuk diluruskan. Bukan berarti niat tadi bengkok yaaa..., hehe. Â Tidak pula maksudnya tadi hendak mengatakan niatnya sesat.Â
Sebetulnya, istilah yang paling tepat untuk digunakan  di sini adalah "penyesuaian" niat.Â
Disesuaikan dengan apa? disesuaikan dengan kenyataan bahwa kenikmatan menulis hanya mungkin akan bisa didapatkan dengan mudah jikalau kita memasang niat yang "ringan-ringan saja".Â
Niat yang ringan-ringan saja? yang enteng? yang tidak membebani?. Â Bagaimana itu?.
Ya, misalnya kita tanamkan saja bahwa niat menulis tadi adalah tak lebih dari sekedar hanya cuma "untuk berbagi" saja.Â
Setelah memposting tulisan, ya selesai deh. Habis urusan.Â
Mau pembacanya banyak atau sedikit, ada pujian atau nggak, itu sudah tak perlu dipikirkan lagi.  Mau label "Pilihan", "Artikel Utama", terpopuler, nilai tertinggi dan sebagainya dan sebagainya  sa' bodo!.  Mau dapat reward apa nggak, emang gue pikirin!.
Ringan bukan?
Ya, begitulah. Percayalah,  bila niat kita hanyalah untuk berbagi, maka begitu kita  membagikan (share) suatu tulisan, maka seketika maksud tujuan kita telah tercapai. Sudah terbagi!
Dan, bilamana tujuan sudah tercapai, tentu saja kenikmatan dengan sendirinya akan kita dapatkan. Terpuaskanlah hasrat kita menulis...!
Jikalau  tidak berupa "rasa nikmat" itu sendiri yang didapatkan,  minimal tidak ada rasa menyiksa yang membebani diri....Â
Bukankah "ketidaktersiksaan" itu juga adalah suatu nikmat?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H