I. Latar Belakang
Kerena terlanjur cinta dengan Kompasiana, meski beberapa kali mengalami hal yang "tak mengenakkan", namun kecintaan itu telah mengalahkan kemarahan, lagi pula ternyata damai itu lebih menenangkan daripada menyimpan 'dendam', kemarahan yang tak tersalurkan.
Memang, suatu kenyataan yang tak perlu ditutup-tutupi, perselisihan atau konflik kadang bisa terjadi, selalu terjadi, mungkin dapat terjadi di Kompasiana ini. Dan sewajarnyalah terjadi, selayaknya dalam suatu hubungan pergaulan sesama manusia, pada suatu komunitas, komunitas apapun, bahkan pada tingkat pergaulan dunia, antar negara, juga di dalam masing-masing negara itu sendiri, dapat terjadi konflik.
Tak usah jauh-jauh, di dalam keluarga sendiri konflik itu bisa terjadi, tak terkecuali di lingkungan Kompasiana yang banyak warganya ini. Perselisihan antar sesama penulis (kompasianer), pula dapat terjadi antara Kompasianer dengan pengelola Kompasiana ini. Itulah resiko. Resiko bergaul. Konsekuensi dari terjalinnya sebuah komunikasi, di manapun itu, kapan pun, hal yang wajar, suatu keniscayaaan. Dalam bidang apapun, baik dalam perjalinan bisnis, hubungan percintaan, dan sebagainya dan sebagainya, semuanya. Konflik dapat terjadi, suka atau tidak suka. Begitulah. Meski tak mestinya begitu.
Maka di sinilah hukum itu diperlukan. Perlu adanya suatu aturan main, aturan yang mesti dibuat, ditentukan, ditetapkan. Tak hanya itu, tak hanya dibuat, tapi perlu dan penting juga ditegakkannya hukum itu, dengan baik, adil, memenuhi rasa keadilan. Sebagaimana maksud diciptakannya hukum itu sendiri yakni untuk menjaga keseimbangan dalam suatu komunitas guna menjaga kesinambungan, keberlangsungan komunitas itu sendiri dengan aman dan tentram karena adanya keadilan yang dirasakan. Tanpa hukum, tentu saja di dalam dunia ini cenderung akan terjadi kekacauan, kerusakan.
Bukan hanya Penulis saja yang pernah mengalami 'konflik' di Kompasiana, tapi ada beberapa teman Kompasianer yang juga mengalami hal yang "tidak mengenakkan" di sini.
Persoalannya, kendati pun ada hukum, kadang kekacauan itu bisa saja tetap terjadi dengan berbagai sebab. Dari sebab atau faktor kepemimpinan yang tidak tegas, tingkat ketaatan yang rendah atau justru disebabkan ketidakbaikan system hukum (regulasinya), utamanya pelaku penegak hukum itu sendiri.
Kendati ada rasa pesimis dengan adanya berbagai kenyataan hukum yang mengecewakan itu, tetap saja hukum itu diperlukan. Intinya, keteraturan dan upaya-upaya untuk menjaga keteraturan itu perlu dan penting. Bersamaan itu pula, perlu dan penting bagi semua pihak yang terlibat, yang bakal terlibat, mestilah mengetahui, memahami dan mengindahkan hukum yang telah dibuat. Ketaatan tidak hanya bagi warganya, tapi juga buat mereka yang berkuasa. Begitulah kesepakatannya.
Berangkat dari "rasa itu", kecintaan, kecintaan kepada Kompasiana dan teman-teman Kompasianer, sebagaimana telah sedikit disentil pada bagian awal tadi dan tentu saja karena dilatarbelakangi kejadian-kejadian nyata yakni peristiwa semacam konflik atau perselisihan antara Kompasiner dengan mediator/editor Kompasiana di blog ini, berhubungan dengan kegiatan menulis dan penerbitan tulisan, baik yang dialami penulis sendiri maupun beberapa teman penulis lainnya, lalu karenanya Penulis jadi tergerak, termotivasi untuk memberikan inspirasi, berupa ide positif berkenaan dengan konsep "perbaikan hukum" yang sudah ada di Kompasiana ini, dengan tanpa bermaksud memprovokasi akan hal-hal yang bersifat negatif di lingkungan masyarakat intelektual, para penulis, yang bergabung di lapak keroyokan, Kompasiana ini.
Ide atau gagasan berupa usulan perbaikan hukum ini penting dan perlu, bagi perbaikan hubungan antara Kompasianer dengan pihak pengelola Kompasiana (admin/mediator/editor) di masa depan yang lebih baik dan menguntungkan, mengingat pengelola di sini bukan hanya mewakili penguasa tapi juga sebagai pengusaha, di mana sebetulnya seperti diketahui, meski secara formal Kompasiana menyatakan dirinya sebagai sebuah produk media sosial, namun suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri kalau blog Kompasiana pada prakteknya adalah blog profit. Sebagaimana pula di sisi lain Kompasianer juga adalah pengusaha, setidaknya menjadi mitra pengusaha, dengan tulisannya yang dapat menghasilkan uang, langsung atau tidak langsung. Jadi, urgen dan relevan bila hubungan baik ini diperlukan, penting untuk dipertahankan.
Faktanya, para Kompasianer (dalam satu kesatuan) sengaja tak sengaja telah men-support suatu kegiatan usaha dengan artikel-artikelnya yang menarik minat pengiklan dengan banyaknya pembaca (pageviews), yang tentu saja berbayar. Jadi, di sini, layak dikatakan bahwa telah terjadi semacam hubungan simbiosis mutualisma, dengan adanya profit yang didapat dan telah diraih Kompasiana, di sisi lain para kompasianer mendapat semacam reward (K-Rewards) dari pihak Kompasiana atau perusahaan yang menaunginya, Kompas Cyber Media, sebagai pemilik blog sekarang ini.
Hukum yang baik, tidak hanya memuat wewenang dan hak-hak penguasa, tapi juga memuat norma/kaidah yang mempertimbangkan kepentingan khalayak yang diaturnya, hak warga yang mesti dijaga dan juga dilindungi. Bukan hanya memuat kewajiban-kewajiban warga saja, lalu kemudian terkesan bahwa mereka yang diatur itu hanya sekedar menjadi objek dari penguasa, sehingga akhirnya aturan itu sengaja dibuat sedemikian rupa semata demi kepentingan subjektifitas penguasa itu sendiri#yaibaelah
II. Tentang Konflik Yang Terjadi Di Kompasiana
Dalam tulisan ini, Penulis sengaja menggunakan istilah "konflik". Ini tidak bermaksud untuk mendramatisir apa yang terjadi, tapi ini semata untuk menggambarkan bahwa nyata telah terjadi permasalahan di lingkungan/komunitas Kompasiana ini. Meski secara riil belum dapat dikatakan sebagai perselisihan atau sengketa, namun secara sepihak, ini dirasakan sebagai permasalahan yang telah tidak membuat nyaman, tidak mengenakkan para Kompasiner, setidaknya buat sebahagian kompasiner. Baca; Banding Atas Vonis Kompasiana.
Seperti pada kasus penghapusan gambar ilustrasi, juga penghapusan artikel, yang dialami sendiri oleh Penulis (Yai Baelah). Lalu kasus yang menimpah Arkasya Platikova yang mengalami perlakuan yang tak menyenangkan atas peristiwa "pengobrak-abrikan teks pada judul artikelnya", lalu mbak Lusy Mariana yang kehilangan puisinya. Dan ternyata Edy Supriatna Syafei juga pernah berduka karena mengalami hal serupa. Belum lagi teman-teman Penulis lain, bila di data seluruhnya, tak bisa dibilang sedikit, setidaknya meski tak banyak, namun tak layak buat diremehkan, disepelehkan.
Bukan rahasia, banyak orang yang tak bersalah masuk penjara
Memang, sesuai dengan kebijakan pemilik blog ini, Kompas Cyber Media, sebagaimana yang telah dituangkan dalam Syarat Ketentuan Kompasiana, bahwa pihak mereka (Tim Mediator Kompasiana), berwenang, berhak dan dapat melakukan tindakan-tindakan sepihak tanpa perlu persetujuan dari Kompasianer/penulis, terhadap tulisan/artikel yang ditayangkan di Kompasiana.
Namun demikian, sebagaimana maksud hukum itu diciptakan, sebagaimana tujuan dari dibuatnya aturan itu, bahwa kesemua itu pada akhirnya demi menjaga dan mempertahankan keberlangsungan suatu komunitas sebagaimana tujuannya, yang diselimuti oleh suasana yang tidak hanya sebatas aman, tapi juga tentram/nyaman, yang mana kenyamanan dan ketentraman itu tak akan mungkin tercapai bila suatu waktu rasa keadilan seseorang yang menjadi warga komunitas itu ternoda atau rasa keadilannya telah dirampas atau diabaikan.
Boleh jadi seseorang itu memiliki kewenangan, tapi tidak berarti ia boleh sewenang-wenang.#yaibaelah
III. Lembaga Banding
Sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu, terkait dengan rasa keadilan, bahwa dalam rangka memberikan, menjaga dan menyelamatkan rasa keadilan tadi, maka Kompasiana berbasis BlogPlatform ini, perlu dan penting didukung oleh suatu system hukum yang baik, regulasi yang baik, pula personil penegak hukum yang baik , di bawah kepemimpinan yang baik dan tegas (Chief of law enforcement officer), guna menangani dengan baik persoalan-persoalan yang mungkin timbul nantinya. Di mana diharapkan, sebagai langkah serius dan itikad baik dari pihak Kompasiana yang bersungguh-sungguh untuk memperhatikan kepentingan dari rasa keadilan yang sudah tentu dirindukan semua orang ini, dalam hal ini warga Kompasiana (Kompasianer, baca;defenisi).
Maka dalam rangka itu, hendaknya pihak Kompasiana dapat membentuk suatu atau semacam lembaga banding, yang bersifat arbitrase atau sebagai Pengadil internal yang dibentuk sendiri oleh Kompasiana, yang memeriksa (menangani dan menengahi) keberatan Kompasianer atas putusan yang ditimpakan terhadapnya.
Tak usah muluk-muluk, cukuplah dengan menempatkan seorang personil terpercaya, yang bertugas khusus untuk itu, yakni yang bertugas merespon (dengan cepat) keluhan/keberatan-keberatan warga Kompasiana, para Kompasianer tadi, atas hukuman/sanksi yang telah diputuskan atau diberlakukan terhadap diri Kompasianer tersebut, putasan mana yang boleh jadi tidak bisa diterimanya (protes/keberatan).
Kongkritnya, petugas atau personil khusus tadi, yang bertugas khusus dan wewenang khusus atas nama pemilik atau pimpinan Kompasiana, hendaknya diberikan wewenang dan tugas untuk menyelesaikan permasalahan antara Penulis dengan Mediator/Editor. Karenanya ia, petugas tadi, mesti menyediakan waktu untuk itu, melayani berbagai keberatan, memeriksa, meninjau, memutuskan hal terkait keberatan itu. Dialah yang berfungsi/berperan sebagai arbiter (wasit), di Kompasiana ini.
Lebih baik membebaskan seribu penjahat, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah
Ini tidak berarti meng-eliminir ketentuan yang sudah ada. Legalitas Kompasiana tidak terganggu karenanya. Dapat saja, sebagaimana ketentuannya yang sudah ada, pihak mediator memutuskan sendiri dengan mengambil tindakan sepihak menghapus atau memberikan tindakan lainnya dengan tanpa peringatan terlebih dahulu, lalu kemudian, belakangan atas protes/keberatan dari Kompasianer sang pemilik tulisan yang mengalami "perlakuan tak mengenakkan" tadi, maka putusan itu dapat ditinjau kembali, untuk di-revisi bila mana keharusan atau kewajarannya memang mesti demikian.
Tentu saja, setelah menjalani proses pembuktian atau klarifikasi (mendengarkan alasan-alasan). Dengan demikian tidak sampai menghilangkan wibawa hukum Kompasiana sebagaimana telah ditetapkan dalam Syarat dan Ketentuan atau pun katakanlah tidak sampai merongrong pasal-pasal tertentu yang berlaku di Kompasiana.
Ya, bukan hal yang berat pula tidak merugikan, justru ini akan meningkatkan prestise Kompasiana, sebagai blog bergengsi di negeri ini.
Hukum tak akan rusak meski dilanggar oleh seribu penjahat, tapi hukum itu akan rusak bila penguasa tak mengerti bagaimana caranya bertindak.#yaibaelah
Dus, tanpa perlu merubah ketentuan Kompasiana yang sudah ada, lembaga banding dapat saja terbentuk, asal ada keinginan dari pihak Kompasiana sendiri. Ini semata demi memperjuangkan keadilan, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan, ataupun kezoliman, demi tercapainya kehidupan yang lebih baik, aman, nyaman dan tentram.
IV. Membedah Manajemen Kompasiana
Mengamati susunan struktur organisasi Kompasiana ini, seperti yang tercantum di Tentang Kompasiana, yang dipublikasikan pihak Kompasiana sendiri, terlihat dan dapat dipahami bahwa dalam kegiatan pengelolaannya, berkaitan dengan kegiatan tulis menulis dan moderasi yang mengiringinya, (berkenaan dengan tulisan/artikel dan penerbitannya/penayangan), ternyata Kompasiana ini diurus oleh suatu tim, sebagaimana nama-namanya yang tercantum pada CONTENT & COMMUNITY DIVISION. Merekalah yang kemudian bertugas, bertanggungjawab, berwenang mengendalikan siklus kehidupan di blog 'rumah susun' ini, Kompasiana yang kita cintai ini.
Inilah Rumah Kita, kata Ahmad Albar. Tapi, tidak seperti kata Ahmad Albar dalam lirik lagunya yang digambarkan sebagai gubuk derita yang membawa bahagia, lebih dari itu, "rumah kita" di Kompasiana ini patut digambarkan sebagai sebuah bangunan mewah, menjulang tinggi, bak gedung pencakar langit, yang semua orang iri ingin bergabung tinggal di dalamnya, meski menginap hanya semalam.
Tak perlu berpanjang-panjang membedah " rumah orang". Silahkan baca, amati, pelajari sendiri. Agar kita paham siapa kita, siapa mereka. Sebagai bagian dari pelajaran mengenal diri. Dengan mengenal diri tadi, maka kita akan dapat mengenal mereka. Selanjutnya pula, apabila sudah saling mengenal, dalam arti sudah mengetahui batas-batas masing-masing diri, yakinlah kemudian konflik yang kita khawatirkan itu akan terhindarkan, minimal, bisa diminimalisir. Sehingga hidup ini akan terasa lebih baik, lebih indah. Demikian kata sang pecundang yang filsuf itu, Yai Baelah.
V. Penutup
Syndrom kekuasaan boleh dibilang adalah “ketidaksiapan mental" seseorang dalam memegang kekuasaan yang diamanatkan padanya. Semacam euforia, perasaan gembira yang berlebihan. Ini juga mirip seperti itu, perasaan bangga pada diri secara berlebihan dengan adanya kekuasaan yang dimiliki. Ada rasa kepuasan batin yang sangat besar ketika berhasil "menghukum" seseorang dengan kekuasaan yang dipegangnya.
Arogansi kekuasaan bukanlah cerita baru. Terjadi di mana saja. Begitulah syndrom kekuasaan tadi, umum menerpa orang yang sedang berkuasa. Ini dikenal dengan istilah In Power Syndrome, di mana bagi orang yang sebelum berkuasa perilakunya sangat toleran dan ucapannya lembut seperti orang bijak, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan berusaha mati-matian menikmati kekuasaannya itu dengan cara apapun. Yang jelas, apapun namanya, perilaku abuse of power, penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan diri demi mendapatkan kepuasan tersendiri pada diri (walaupun hanya sebatas kepuasan batin) yang demikian adalah tidak layak buat dipertahankan karena akan menimbulkan korban, kerugian bagi orang lain yang berada di luar kekuasaan. Tentu jangan sampai terjadi hal demikian.
Jangan sampai kesewenangan-wenangan terjadi atau terus akan terjadi. Kezoliman tak hanya akan membuat penderitaan pada diri sang korban, tapi juga akan menjadi beban pertanggungjawaban diri pelaku dihadapan sang Pencipta suatu ketika nanti. Tentu kita semua tak mengharapkan semua itu. Tak ada yang menginginkan dilukai, pula sebaliknya dan sebaiknya tak hendak melukai.
Well... pada waktunya, waktu yang tepat, tulisan ini, ide/gagasan Penulis ini, yang sekedar hanya sebagai usulan yang "revolusioner" (TIDAK/bukan radikal) ini akan disampaikan secara khusus dengan jalur khusus dan tepat kepada pihak yang berkompeten (berkepentingan dan berwenang) di Kompasiana ini, agar nantinya bisa benar-benar diwujudkan, sehingga manfaatnya dapat terasa, dirasakan semua pihak. Tentu, yakinlah, ini adalah akan membawa kebaikan buat semua. Demi kebaikan semua, Kompasiana dan Kompasianer.
Untuk menghindari tuduhan bahwa Penulis seakan hendak mengacaukan, meresahkan, menimbulkan permusuhan atau kebencian di dunia Kompasiana ini, maka karenanya perlu Penulis kemukakan bahwa tulisan sekarang ini dibuat, jauh dari niat menjatuhkan wibawa pengelola yang tentu saja Penulis hormati, atau hendak men-delegitimasi ketentuan kompasiana yang sudah ada. TIDAK, SAMA SEKALI TIDAK DEMIKIAN. Tapi seperti yang Penulis terangkan di atas tadi, ini semua adalah untuk kebaikan semua. Love for All. All For Love.
Sekali lagi, ini perlu dan penting karena tak dapat ditepis, bahwa ternyata, kini, Kompasiana ini telah menjadi milik orang banyak. Banyak yang mencintainya, banyak yang berpartipasi di dalamnya. Hakikatnya, hidup bersama, mati bersama.
Salam damai, mari berkarya, terus berkarya, karya berharga, patut diharga dan saling mengharga.
Hidup Kompasiana!, Beyond Blogging, "Lebih dari sekedar ngeblog”.!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H