Ini tidak berarti meng-eliminir ketentuan yang sudah ada. Legalitas Kompasiana tidak terganggu karenanya. Dapat saja, sebagaimana ketentuannya yang sudah ada, pihak mediator memutuskan sendiri dengan mengambil tindakan sepihak menghapus atau memberikan tindakan lainnya dengan tanpa peringatan terlebih dahulu, lalu kemudian, belakangan atas protes/keberatan dari Kompasianer sang pemilik tulisan yang mengalami "perlakuan tak mengenakkan" tadi, maka putusan itu dapat ditinjau kembali, untuk di-revisi bila mana keharusan atau kewajarannya memang mesti demikian.
Tentu saja, setelah menjalani proses pembuktian atau klarifikasi (mendengarkan alasan-alasan). Dengan demikian tidak sampai menghilangkan wibawa hukum Kompasiana sebagaimana telah ditetapkan dalam Syarat dan Ketentuan atau pun katakanlah tidak sampai merongrong pasal-pasal tertentu yang berlaku di Kompasiana.Â
Ya, bukan hal yang berat pula tidak merugikan, justru ini akan meningkatkan prestise Kompasiana, sebagai blog bergengsi di negeri ini.Â
Hukum tak akan rusak meski dilanggar oleh seribu penjahat, tapi hukum itu akan rusak bila penguasa tak mengerti bagaimana caranya bertindak.#yaibaelah
Dus, tanpa perlu merubah ketentuan Kompasiana yang sudah ada, lembaga banding dapat saja terbentuk, asal ada keinginan dari pihak Kompasiana sendiri. Â Ini semata demi memperjuangkan keadilan, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan, Â ataupun kezoliman, Â demi tercapainya kehidupan yang lebih baik, aman, nyaman dan tentram.
IV. Membedah Manajemen Kompasiana
Mengamati susunan struktur organisasi Kompasiana ini, seperti yang tercantum di Tentang Kompasiana, yang  dipublikasikan pihak Kompasiana sendiri, terlihat dan dapat dipahami bahwa  dalam kegiatan pengelolaannya, berkaitan dengan kegiatan tulis menulis dan moderasi yang mengiringinya, (berkenaan dengan tulisan/artikel dan penerbitannya/penayangan), ternyata Kompasiana ini diurus oleh suatu tim,  sebagaimana nama-namanya yang tercantum pada CONTENT & COMMUNITY DIVISION. Merekalah yang kemudian bertugas, bertanggungjawab, berwenang mengendalikan siklus kehidupan di blog 'rumah susun' ini, Kompasiana yang kita cintai ini.
Inilah Rumah Kita, kata Ahmad Albar. Tapi, tidak seperti kata Ahmad Albar dalam lirik lagunya yang digambarkan sebagai gubuk derita yang membawa bahagia, lebih dari itu, "rumah kita" di Kompasiana ini patut digambarkan sebagai sebuah bangunan mewah, menjulang tinggi, bak gedung pencakar langit, yang semua orang iri ingin bergabung tinggal di dalamnya, Â meski menginap hanya semalam.Â
Tak perlu berpanjang-panjang membedah " rumah orang". Silahkan baca, amati, pelajari sendiri. Agar kita paham siapa kita, siapa mereka. Sebagai bagian dari pelajaran mengenal diri. Dengan mengenal diri tadi, maka kita akan dapat mengenal mereka. Selanjutnya pula, apabila sudah saling mengenal, dalam arti sudah mengetahui batas-batas masing-masing diri, yakinlah kemudian konflik yang kita khawatirkan itu akan terhindarkan, minimal, bisa diminimalisir.  Sehingga hidup ini akan terasa lebih baik, lebih indah. Demikian kata sang pecundang yang filsuf itu, Yai Baelah.Â
V. Penutup
Syndrom kekuasaan boleh dibilang adalah  “ketidaksiapan mental" seseorang dalam memegang kekuasaan yang diamanatkan padanya.  Semacam euforia, perasaan gembira yang berlebihan. Ini juga mirip seperti itu, perasaan bangga pada diri secara berlebihan dengan adanya kekuasaan  yang dimiliki. Ada rasa kepuasan batin yang sangat besar ketika berhasil "menghukum" seseorang dengan kekuasaan yang dipegangnya.Â
Arogansi kekuasaan bukanlah cerita baru. Terjadi di mana saja. Begitulah syndrom kekuasaan tadi, umum menerpa orang yang sedang berkuasa. Ini dikenal dengan istilah In Power Syndrome, di mana bagi orang yang sebelum berkuasa perilakunya sangat toleran dan ucapannya lembut seperti orang bijak, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan berusaha mati-matian menikmati kekuasaannya itu dengan cara apapun. Yang jelas, apapun namanya, perilaku abuse of power, penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan diri demi mendapatkan kepuasan tersendiri pada diri (walaupun hanya sebatas kepuasan batin) yang demikian adalah tidak layak buat dipertahankan karena akan menimbulkan korban, kerugian bagi orang lain yang berada di luar kekuasaan. Tentu jangan sampai terjadi hal demikian.