Mohon tunggu...
Yai Baelah
Yai Baelah Mohon Tunggu... Pengacara - (Advokat Sibawaihi)

Sang Pendosa berkata; "Saat terbaik dalam hidup ini bukanlah ketika kita berhasil hidup dengan baik, tapi saat terbaik adalah ketika kita berhasil mati dengan baik"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tentang Jiwa (Nafs) Manusia, Bagian Kedua: Ammarah Bissu'

23 April 2019   10:41 Diperbarui: 1 Juli 2021   06:33 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga: Memahami Jiwa Manusia pada Teks "Phaedo"

Perlu dijelaskan bahwa agar jangan disalahpahami bahwa istilah nafs dan "nafsu"  tidaklah sama atau tidak sesederhana pengertiannya bila kita mengkaitkannya dengan pengertian bahasa keseharian yang kita pahami selama ini yang  mana kata nafsu itu dimaknai sebagai  "keinginan atau hasrat yang cenderung untuk berbuat buruk", sehingga ini menjadi bermakna sempit yakni hanya berkenaan dengan keinginan yang bersifat negatif saja. 

Demikian pula  menurut kamus bahasa Indonesia (KBBI) yang ternyata mencontohkan hal-hal yang berkenaan dengan nafsu ini hanya tertuju kepada keinginan terhadap perbuatan-perbuatan yang kurang baik saja. Padahal, pada asalnya kata "nafsu" ini yang diadopsi dari kata "nafs" bermakna lebih luas tak hanya menyangkut keinginan (hasrat) yang negatif saja tapi juga terhadap hal-hal yang positif seperti yang akan kita jumpai pada  "nafs  muthmainnah" yang selanjutnya  nanti akan diulas secara khusus dan lebih terperinci.      

Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. (Q. S. al-Infithar: 5).  

Demikian pula tentang pemaknaan jiwa dan ruh, itu adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing memiliki penjelasannya tersendiri,  yang insyaa Alah akan dapat Penulis jelaskan nantinya. Meski nyatanya hanya sedikit yang bisa diketahui tentang ruh ini, berbeda dengan nafs atau jiwa  tadi. Pula, ulama termasyhur sendiri ternyata tak memiliki kesamaan pandangan tentang memahami jiwa dan ruh ini. Ada ulama yang menganggap sama jiwa dengan ruh ini, tapi di sisi lain ada yang berpendapat jiwa dan ruh itu adalah objek yang berbeda. 

Dalam hal ini penulis sepakat dan berpihak kepada mereka yang berkesimpulan bahwa jiwa (nafs) dan ruh, itu adalah hal yang berbeda, tidak sama. Demikian Penulis berpendirian. Karenanya pula, Penulis memaklumi bila pembaca tak hendak terikat dengan apa yang disampaikan dalam tulisan sekarang ini. Bahkan boleh jadi, suatu waktu, di masa depan, Penulis sendiri akan berubah pendirian pada ketika menemukan hal-baru tentang kebenaran yang benar-benar itu(hakiki).  Allahu a'lamu.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85) 

Allah memegang jiwa ketika matinya dan (memegang) jiwa  yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS. Az-Zumar:42)

Berbeda dengan ketika kita memaparkan hal nafsu (dalam arti sempit) yang berhubungan dengan watak-watak atau sifat-sifat umum manusia seperti pemalas, rajin, pemarah, pengasih,  yang demikian ini bisa mudah ditangkap, namun dalam hal men-defenisi-kan  nafs dalam pemaknaan yang lebih hakiki akan cukup sulit untuk dipahami banyak orang, utamanya yang masih tergolong awam. Memahami hal "nafsu",   setidaknya ini lebih mudah menggambarkannya atau me-visualisasi-kan sifat-sifat tadi, dibanding mencoba menjelaskan bagaimana halnya dengan "nafs" atau jiwa itu sendiri. 

Maka, secara sederhana, dapat Penulis tegaskan disini, bahwa jiwa (nafs) adalah bagian lain dari diri manusia, diri kita sekarang ini, yang terdiri dari jasad (raga) dan jiwa. Jadi keduanya sebenarnya adalah materi, ada yang berwujud, disebut jasad/raga/tubuh, lalu ada yang tak berwujud, yakni jiwa/nafs tadi. 

Sementara ini, perlu dipahami bahwa jiwa dan nafs dalam tulisan ini adalah bermakna sama, yakni "sesuatu" yang melekat pada manusia yang menjadi pendorong timbulnya keinginan-keinginan,  baik itu berupa hal yang bersifat negatif (buruk/jahat)maupun hal yang positif (yang baik). Katakanlah, ini adalah tentang siapa yang mem-provokasi sifat-sifat  baik, pula sifat-sifat buruk yang abstrak pada diri manusia itu. Karena membahas nafs atau jiwa ini berarti membahas sesuatu yang bersifat ghaib, abtraks tadi. Tak bisa diraba, tak bisa ditampakkan nyata oleh mata, tapi bisa diketahui adanya.  Allahu a'lamu. 

Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q. S. As-Syams: 7-10). 

Maka karenanya, membicarakan jiwa , adalah membicarakan materi sebagaimana halnya kita membicarakan jasad/raga.  Di mana raga bersifat kasar, sedangkan jiwa itu katakan semacam makhluk halus.  Demikianlah mengapa jiwa inilah yang nantinya yang  akan "dituntut pertanggungjawaban" di alam akhirat.  Pada akhirnya, jiwa inilah yang bisa merasakan sakit, yang bisa merasakan bersalah itu, yang akan menyesali dirinya. Pula sebaliknya.  

"Dan aku bersumpah demi jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. Al-Qiyamah:2) 

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku! (Al-Fajr:27-30)

Kembali ke soal Nafs Ammarah Bissu' tadi,  menurut Ustadz Muhammad Alfatih Sukardi,   bahwa "nafsu ini adalah yang paling jahat dan paling zhalim. Jika berbuat kejahatan, dia berbangga diri dengan kejahatannya. Jika ada orang yang mengingatkannya tentang kejahatannya, dia akan menjawab, “Siapa saja yang mencoba untuk mengalangi tindakanku akan menanggung akibatnya!” Bayangkanlah, kalau orang seperti ini menjadi pemimpin dan berkuasa.

Baca juga: Benarkah terdapat Konektivitas Jiwa Manusia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun