Sebetulnya, cukup banyak  media online (juga media cetak)  yang siap memuat tulisan para Penulis. Tak terbatas pada penulis senior saja, tapi siapapun berpeluang dan akan diberi kesempatan oleh media dimaksud. Pun ia belumlah dikenal, tidak cukup dikenal, masih pemula istilahnya. Begitulah yang saya dengar, baik lewat kabar yang beredar di dunia maya ini maupun demikian pula penjelasan dari media bersangkutan, dalam arti bahwa mereka, pihak media itu tidak menjelaskan kalau kita mestilah menjadi penulis terkenal lebih dahulu, dengan kata lain mestilah memiliki pengalaman kerja sebagai penulis di tempat lain terlebih dahulu. Tidak mesti begitu.  Bahkan  media cetak/online sekelas Kompas  yang boleh dikata merupakan media  terbesar yang biasa menampung tulisan-tulisan para pakar itu pun tak mesyaratkan demikian.Â
Memang, siapapun pun penulis, pastilah termotivasi untuk menulis di surat kabar (media cetak) atau media online yang berbayar, apalagi ternyata diketahui bayarannya lumayan besar. Tidak sekedar hanya cukup membayar kopi dan bakso atau cuma bisa  buat melunasin hutang sotonya pak Felix Tani sebagaimana beredar kabar yang telah menggegerkan banyak  Kompasianer di dunia Kompasiana ini. (Hhahahahhahahh! Maaf pak Felix, terpaksa saya menjadikan anda sebagai sample yang terbilang akurat buat melengkapi tulisan saya sekarang ini. Ihik.. ihik...ihik.....)Â
Iya, dengan jaminan bayaran besar, siapapun akan tergiur, tertarik, terpicu terpacu tergoda untuk turut bertarung berebut 'kursi', maaf maksudnya bukan kursi dewan yaa, tapi berebut untuk mendapat tempat di hati Tim Moderator/Editor media tersebut. Dengan kata lain, tulisan kita diterimanya dan  layak dimuat di halaman mereka.Â
Setidaknya, dengan dimuatnya tulisan kita di media yang dianggap bergengsi, setidaknya ini akan sedikit menaikkan 'derajat'Â sang Penulis, disamping bisa menambah sedikit lebih tebal dompet yang tadinya kempes tak berisi. Â Bhuuaahhhhhhhhhhh! Â Â
Memang, bila tulisan kita lolos seleksi, maka energi kita paling tidak bisa terganti. Jerih payah penulis telah dihargai. Di sisi lain, kita tak terbebani membuat tulisan/artikel sedemikian banyak  hingga meleber berember-ember demi mengejar viewer.  Karena satu artikel lumayan besar bayarannya. Kabarnya begitu. Entah kalau itu hanya hoaks. (Wkwkwkwkwkwkw)Â
Permasalahannya, menembus dinding media cetak atau media online itu  tidaklah mudah. Begitu banyak persaingan. Karena  tentunya bukan diri kita saja yang kepingin masuk ke sana.  Semua penulis, baik senior maupun pemula, kelas bantam kelas layang kelas ringan bahkan kelas berat dipaksa bertarung di ring yang sama. Â
Sebetulnya itu semua, tarung bebas tadi,  tak mesti membuat kita yang pemula berkecil hati (keder), karena persaingan beratnya  bukanlah dengan mereka, tapi ini sesungguhnya yang terberat adalah bersaing dengan diri kita sendiri. Maksudnya? Â
Jikalau kita bisa menghilangkan ego kita dalam menggunakan gaya penulisan, yakni dengan meninggalkan  gaya yang tidak "universal" yang selama ini telah "terbawa-bawa" dalam setiap tulisan yang kita buat, misalnya gaya "ugal-ugalan" atau ceplas-ceplos sebagaimana yang sering dipraktekan oleh beberapa penulis, Yai Baelah sendiri misalnya, lalu kemudian beralih menggunakan gaya penulisan standar yang kebanyakan digunakan penulis profesional,  layaknya jurnalis atau kolumnis yang sudah sering/biasa mengisi kolom opini media ternama,  maka tentu ini akan menjadi modal yang berguna buat meraih kesempatan diterimanya tulisan kita tadi.Â
Mungkin inilah yang terjadi pada diri saya barusan di mana kemarin saya mencoba menerobos salah satu media online pertama dan ternama, ternyata tulisan/artikel saya itu ditolak dengan cara mentah-mentah. Artinya,  tanpa ada  kesempatan koreksi sedikit pun yang diberikan buat saya.  Â
Memang, tak cukup hanya bermodalkan tema menarik dan up to date saja untuk  dijadikan sebagai jaminan agar tulisan kita bisa dimuat, tapi gaya penulisan tadi adalah salah satu hal penting, menjadi perhatian utama pihak moderator.  Â
Betapapun baik dan pentingnya pesan yang dimuat dalam tulisan kita, namun bila gaya penulisan ini tak memenuhi standar pihak editor/moderator, maka akan terbuang percuma. Masuk kotak sampah!.
Di samping itu pula, mestilah kita berusaha menyelidiki sendiri bagaimana karakter dari tulisan-tulisan (kolom/opini) yang biasa dimuat di media yang kita tuju itu. Masing-masing media biasanya tak semua sama tema tulisan yang menjadi perhatiannya yang  dirasa penting untuk dimuat di medianya. Bandingkan misalnya antara  Kompas dengan Republika. Kedua media ini memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Meski ada yang sama, seperti artikel yang bersifat umum, yang mengupas soal politik misalnya,  tapi boleh jadi ada suatu tema tertentu yang hanya akan dimuat oleh salah satu media itu saja.Â
Amatilah, perhatikanlah "polanya" masing-masing media itu,  di samping kita juga memang mestilah memperhatikan  syarat-syarat yang sudah ditetapkan oleh pihak media tersebut sebagaimana syarat yang selalu dicantumkan oleh setiap penerbit, baik yang bersifat terperinci (detil) maupun yang menjelaskan secara garis besarnya saja. Ini penting. Karena pada akhirnya merekalah yang memutuskan, maka selayaknyalah kita memenuhi keinginan mereka. Jangan egois dengan semata-mata menonjolkan keinginan (selera)  kita sendiri, penulis, yang notabene  adalah sebagai "pendatang" yang hendak numpang hidup di rumah orang.Â
Kesimpulannya,  dengan  seringnya melakukan pengamatan, mencari tahu dan berusaha menyelidiki lalu kemudian  mengerti atau  memahami "pola" tulisan di suatu media tertentu, baik  yang bersifat khusus maupun yang sesuai dengan standar umum,   maka diyakini tulisan kita berikutnya akan dimuat. Meski akhirnya tetap saja kembali kepada nasib orang perorang juga. Hhhhhhhhhh
Demikian sekedar berbagi pengalaman dari saya yang belum berpangalaman.Â
Bhhuaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!
*Dalam sastra, gaya penulisan adalah cara mengungkapkan pikiran dalam karakteristik bahasa: individu, periode, sekolah, atau bangsa.[1] Selain unsur-unsur penting berisi ejaan, tata bahasa, dan tanda baca, gaya penulisan merupakan pilihan kata-kata, struktur kalimat, dan struktur paragraf, yang digunakan untuk menyampaikan makna secara efektif.[2]Kelompok unsur pertama disebut sebagai aturan, elemen, hal penting, mekanika, atau pedoman; sedangkan kelompok berikutnya, yakni yang disebut sebagai gaya, atau retorika.[3]Kelompok unsur pertama merupakan aturan-aturan, yakni mengenai apa yang ditulis penulis; sedangkan kelompok unsur kedua, gaya, yakni mengenai bagaimana yang ditulis penulis. Ketika mengikuti aturan-aturan dari pemakaian tatabahasa, penulis memiliki fleksibilitas yang besar dalam cara mengungkapkan suatu konsep.[4] Titik penting gaya penulisan yang baik ialah untuk
- mengekspresikan pesan-pesan kepada pembaca secara sederhana, jelas, dan meyakinkan;
- menjaga perhatian dan keikutsertaan pembaca, serta menarik;[9][10]
tidak
- menampilkan segi kepribadian penulis;[11]
- menunjukkan pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan menulis penulis;[12][13]
meskipun hal-hal tersebut biasanya tetap terlihat, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang oleh para ahli dianggap sebagai gaya individu penulis.[14][15]
(Di kutip dari id.wikipedia.org)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H