Dalam banyak tulisan, artikel di Kompasiana ini, sesungguhnya sudah jelas penulis adalah seorang golput sejati, golput yang ideologis tentunya. Artinya, keputusan golput itu "terpaksa" dilakukan atas suatu pertimbangan-pertimbangan yang rasional,  demi memperjuangkan (baca; protes) suatu "nilai-nilai", ide-ide atau gagasan (yang terpendam) . Di sinilah idealismenya seorang golput atau sebutlah "golputer" biar lebih keren, layaknya Jokower atau Prabower. Hhhhh!.
Di samping pula, tak dapat dipungkiri bahwa ternyata sebab seseorang menjadi golputer tadi bisa saja memiliki alasan yang berbeda-beda. Dari sebab yang tidak sama, bermacam-macam. Tidak semuanya berwatak ideologis, berlatar idealisme berkenaan dengan nilai-nilai tertentu. Tapi juga bisa karena hambatan-hambatan lain yang tak disengaja, atau boleh jadi memang malas datang ke TPS, karena kesibukannya atau boleh jadi karena memang malas bangun pagi, juga siang, mumpung hari libur katanya. Hhhhhh! (lagi)
Namun, sebagaimana telah dikemukakan pada  kata pendahuluan di atas tadi, alasan ideologis, demi mempertahankan idealisme tertentu, nilai-nilai tertentu, maka seseorang akhirnya 'nekat' menjadi golput. Memutuskan memilih untuk tidak memilih.Â
Dalam tulisan ini, penulis akan mengungkapkan suatu kenyataan bahwa  pada satu atau suatu keadaaan, tidak tertutup kemungkinan seorang golput itu 'terpaksa' mesti "berpihak" (meski mestinya tidak mesti) mendukung salah satu kandidat yang bertarung di panggung Pilpires 2019 sekarang ini misalnya.  Lantas, bagaimana wujud "keberpihakan" sang golputer tadi?
Di sinilah persoalannya. Terjadi dilema pada diri si golputer tadi. Di satu sisi dia "mesti" tetap diam demi mempertahankan idealismenya, namun di sisi lain dia berpikir bahwa  betapa pentingnya keberpihakannya terhadap "calon tertentu" itu untuk diketahui oleh banyak orang, yakni penting untuk diketahui oleh orang-orang  yang berencana memilih tapi masih belum menemukan atau ragu terhadap pilihannya. Maka berkaitan dengan itu akhirnya sang golputer sedikit demi sedikit dan dengan pelan-pelan  berusaha  mencoba untuk mengungkap "rahasia pikirannya".  Dengan demikian, apabila "pikiran"nya terhadap calon tertentu itu 'dibocorkan', diketahui masyarakat pemilih,  sang golputer berharap agar mereka yang memilih itu mengikuti "arahannya" untuk memilih calon tertentu tadi.  Â
Paling tidak, dengan "membocorkan rahasia pikirannya" itu,  sang golputer berharap  ide-idenya itu nantinya dapat digunakan oleh mereka (para calon pemilih)  sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pilihannya saat hari pencoblosan.  Tentunya sang golputer dengan ide-ide atau gagasannya itu akan menyodorkan calon yang dinilai lebih bernilai dalam kacamata si golputer tadi, yang dipandang lebih layak dipilih dibandingkan dengan calon lainnya. Â
Meski demikian, si golputer sendiri tetap akan bertahan pada posisinya, tetap akan "istiqomah" tidak melanggar "sumpahnya" untuk golput,  tetap setia pada "Partai Kertas Putih",  partainya mereka-mereka  yang golput tadi.Â
Meski "partai" itu tadi hanya dalam imajinasi penulis. Namun, label  partai yang  hendak didekatkan penulis  pada  golongan putih (golput) ini tidaklah main-main. Mengapa begitu? Karena tak dapat dipungkiri, golput adalah sebuah kekuatan, suatu kekuatan. Layaknya kekuatan yang dimiliki oleh suatu partai. Â
Partai, adalah salah satu kekuatan politik yang sangat berpengaruh. Demikian pula golput. Hanya saja bedanya, kekuatan golput ini tidak diorganisir. Lihatlah, siapa yang memenangkan pemilu 2004, 2009 dan 2014 tempo hari? Terdata di KPU, bahkan 'suara golput', suara pemilih yang tidak bersuara mampu bertengger pada angka dua digit, 30 persen pada Pemilu 2014, setelah sebelumnya lebih 20 persen di 2004 dan tak kurang 27 persen di 2019.  Bukan main-main. Dan bukan main!. Dan bahkan sanggup mengalahkan partai pemenang pemilu 2019 seperti PDIP yang "hanya" 20 persenan.  Bahkan ternyata berdasarkan data yang lebih akurat, sebagaimana dilansir KPU,  tak sampai 20 persen, yakni cuma 18, 95 persen pada  Pileg 2014 lalu.
Dengan kekuatan golput sebesar itu, bagaimana seandainya suara mereka para golputer (golputeres) bisa 'diseret' untuk memihak hanya kepada kandidat tertentu? Dilimpahkan buat Capres tertentu? Bisa dibayangkan bagaimana terjadi kepanikan luar biasa pada kubu yang tidak kebagian? Hhhhhhh! (lagi, lagi).
So, kesimpulan sementara, menyimpang dari pokok masalah yang diulas dalam tulisan sekarang ini, bahwa sebaiknya biarkanlah mereka, para peng-golput, golputeres itu tadi tetap  berdiam diri, bersemayam bersemedih di dalam ruang perenungannya. Jangan ditakut-takuti, jangan diungkit-ungkit,  jangan diusik-usik. Karena bisa jadi jika mereka terbangun dan berbalik,  maka sudah tentu akan bikin panik mereka yang bertarung. Bahkan bisa menjadi bumerang bagi mereka yang berperang, bisa saja berdampak kontraproduktif bagi mereka yang aktif mengikuti aksi panggung politik pada kancah Pemilu 20019 ini.  Tak terbayangkan, betapa membludaknya suara yang akan membanjiri (hanya) pada satu wadah, satu pasang calon (saja).  Hahhh! Jangan dicoba, Sebaiknya tak usah berspekulasi. Mending biarkan saja para golputer itu asyik sendiri dengan pikirannya. Hhhhhhh! (lagi, lagi, lagi).  Â
Kembali kepada tema utama ulasan ini, bahwa bagaimana ketika seorang golput mesti memihak meski ia sendiri tak mesti bergerak, tak harus ikut(ikutan) turun gunung mencoblos di TPS? Â Berpihak seperti apa? Bagaimana?
Terlebih dahulu harus dipahami, bahwa golputer itu kebanyakan adalah orang yang cerdas, rata-rata cerdas, banyak berasal dari kalangan intelektual, meski tak seluruhnya. Khususnya, mereka yang ter-kategori "golput idelogis", golputer sejati dengan segala idealismenya itu. Dan... pernyataan penulis ini tak usah diuji, setidaknya saat ini. Baiknya pada waktunya nanti, pada momen lain di suatu diskusi yang lebih berisi di warung kopi. Hhhhhhhh! (lagi dan lagi).
So? apa hubungan soal cerdas mencerdas tadi?Â
Begini, dengan kecerdasannya itu, kecerdasan tidak dalam tanda kutip, maka sudah tentu sang golputer dapat, mampu dan bisa menilai, dapat memandang baik buruknya, layak tidak seorang calon, katakanlah capres. Lalu, dengan "penilaiannya itu",  sang golputer tadi dapat menyimpulkan hal siapa sebaiknya di antara mereka yang bertanding itu "selayaknya dikalahkan".  Kemudian  sang golputer  berusaha untuk "sedikit turut bermain" dalam permainan politik yang makin menggelitik ini.
Sang golputer sedikit banyak akan sengaja  menyebarkan ide-idenya lewat  komunikasi lisan atau tulisan yang  cenderung menuntun pendengar/pembaca untuk "berpihak" kepada hanya salah satu kandidat saja. Dan dalam komunikasinya itu, bisa saja terjadi  si golputer sedikit  'menyerang'  pihak lainnya yang tidak dikehendakinya untuk jadi/terpilih. Tentu itu semua dilakukan dengan cara cantik, tidak mengobrak-abrik sesuai karakteristik atau watak  asli sang golputer yang (masih) idealis tadi.       Â
Terakhir, timbul pertanyaan yang tak perlu dipersoalkan. Bahwa, apakah ini berarti sang golputer tadi mengurungkan niatnya untuk golput. Tentu konsekuensinya tak layak lagi buat dirinya disebut golput jika ia sudah memantapkan pilihannya terhadap calon tertentu?Â
Tidak begitu. Tidak seperti itu. Tidak berarti ketika ia sudah mulai berpihak dan bahkan boleh dikatakan sampai pada tindakan "mengajak" orang  untuk memilih calon tertentu, namun itu semua tidak dilakukan secara terang-terangan (tidak blak-blakan). Tetap dengan cara  yang terkesan halus, semacam pesan tersembunyi. Ajakannya hanya sekedar mengarahkan kepada calon tertentu meski tidak ditentukan siapa nama orangnya. Hanya dengan memberikan "clue-clue" atau berupa tanda-tanda yang mengarah kepada karakter calon tertentu, yang identik dengan kandidat dimaksud. Â
Begitulah, pada akhirnya, seorang golputer sejati, akan berusaha untuk tetap menjaga  idealime dan mempertahankan ideologinya itu, yang diwujudkan dengan tampilan yang tetap terkesan "netral", tidak memihak.  Yang tampak dari massage-massagenya  yang bernuansa logis, mengajak berpikir rasional dan akademis.
Tentu, ia tak akan seceroboh itu mau merendahkan dirinya dengan turut berpartisipasi dalam kancah politik praktis yang sudah telanjur di cap "kotor" oleh sang golputer itu sendiri. Â Seperti menjilat ludah sendiri yang sudah terbuang. Tentu tidak demikian. Tidak akan demikian. Â Sang golputer tetap akan terikat kepada "kode etik"nya, yakni pantang menyebut nama orang tertentu sebagai dukungan dengan konsekuensi dapat "melukai hati" pihak seberang yang tidak diinginkannya.Â
Begitulah, golputer juga manusia, memiliki kelembutan hati layaknya kalian juga. Bahkan lebih dari itu, perasanya sangat sensitif sehinga ia merasa perlu untuk menjaga kata-katanya sehalus mungkin, jangan sampai ada pihak-pihak, dari pihak manapun mereka, Â yang tersinggung bahkan marah dari akibat pernyataan-pernyatannya. Â
Demikian. Tulisan ini adalah semacam "pengakuan", dari seorang golputer, yang mengetahui  langsung bagaimana sebenarnya keadaan yang sedang terjadi, yang terjadi pada diri pelaku golput. Setidaknya, ini adalah "isi pikiran" dari salah satu golputeres itu.     Â
~~~
*Golput Ideologis adalah mereka yang tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang tengah berlaku. Kelompok Golput Ideologis ini menganggap negara sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elit dan tidak memegang kedaulatan rakyat secara mutlak. Golput Ideologis juga digambarkan sebagai bagian dari gerakan anti-state yang menolak kekuasaan negara. (wikipedia)
*Golput ideologis adalah protes, karena itu perlu penjelasan. Dekati, jelaskan dengan rasioanal, dan suguhkan data yang valid beserta argumentasi yang kokoh, bukan dibuat-buat. Jangan tergesa-gesa mendiskreditkan golput ideologis. Karena, gelagat ini juga boleh jadi bentuk kegagalan kandidat, timses, dan relawan dalam meyakinkan mereka. Jika memang gagal meyakinkan, ini bisa dibaca sebagai bentuk ketidakmampuan kandidat dan timses atau relawan memberikan rasionalisasi serta argumentasi kuat pada mereka.(Arif Nurul Imam)
*Golput sejatinya merupakan sikap politik dalam merespons perhelatan elektoral atau pemilu. Sikap ini sebagai protes baik terhadap sistem maupun alternatif pilihan yang dipandang tidak ada yang kredibel untuk layak dipilih. (Arif Nurul Imam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H