Tafsir Puisi, Antara Teks dan Konteks
Â
A. Pendahuluan
Dalam ilmu tafsir Al Quran,  ada istilah "Sabab An-Nuzul", sebab turunnya suatu ayat/surat.  Sabab An Nuzul atau jamaknya Asbaabunnuzul, ini sebagai bagian dari Metode Tahliyi/Analisis dalam kajian Ilmu Tafsir/Kaidah Tafsir (Al Quran). Pentingnya Sabab An Nuzul ini dimaksudkan agar penafsir bisa memahami konteksnya, mengetahui latar belakangnya hingga turunnya ayat/surat dimaksud . Karena bisa saja terjadi suatu teks ayat itu bersifat umum, menggunakan kata-kata, kalimat atau pernyataan yang bersifat umum tapi sesungguhnya mengandung pengertian atau makna khusus perihal kasus tertentu, kejadian atau keadaan tertentu.Â
Memang, suatu ayat, kadang tak seperti apa yang tersurat, tapi maknanya bisa saja tersirat. Tak seperti apa yang terlihat, tapi  ada  makna/kandungan tersembunyi dibaliknya, ada hakikat yang mengandung  hikmat yang terang  padanya.Â
Intisari dari suatu teks ini bisa didapatkan dengan jalan berusaha mengetahui konteksnya tadi. Â
Dengan demikian maka penafsir akan dapat menemukan atau menangkap pesan sesungguhnya dari suatu teks, teks yang terdapat di dalam Al Quran tadi misalnya. Apa yang  sebenarnya berita yang ingin dikabarkan oleh sang penerbit teks itu.Â
Pesan apa sebenarnya yang dimaksudkan, apa sebenarnya yang hendak disampaikan sang pembuat/pemberi pesan itu. Begitulah maksudnya, tujuan dilakukannya penafsiran tadi. Â Â
Di samping itu, adalah pula yang namanya Metode Tematik (Maudhu`i). Ini  mengarahkan pandangan penafsir ke satu tema atau topik tertentu, sehingga benak penafsir hanya akan terfokus khusus kepada bidang  tertentu saja, hal/permasalahan tertentu saja.Â
Dengan harapan agar sang penafsir tidak tersesat atau menyasar ke persoalan lain yang tidak relevan, yang tidak terkait atau yang tidak perlu dikaitkan.
Dus, dalam satu atau suatu kasus, meski pula ternyata  ada yang namanya Metode Global ( Ijmaly), tapi tidak semua yang tersurat bisa di-global-kan. Kekhususan makna  akan selalu mungkin terjadi dalam suatu pesan yang disebarkan.Â
Maka, di sinilah pentingnya prinsip kehati-hatian (fokus, jeli), tidak gegabah. Dalam artian tidak seketika menyimpulkannya begitu saja hanya berdasarkan versi subjektifitas diri belaka.Â
Ada banyak sisi pandang dan pertimbangan yang mesti mengimbangi asumsi-asumi yang datang ketika tiba suatu berita. Terutama, memperhatikan sisi objektifitas pesan itu sendiri dengan menempatkan subjektifitas pembuat pesan pada bagian terdepan  dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan subjektifitas diri sang penafsir.  Â
Disamping kaidah-kaidah di atas, ada prasyarat yang tak kalah  pentingnya, bahkan boleh dikata paling penting dan utama, tak cukup hanya prasyarat kecukupan bidang  ilmu yang menunjang atau melatarbelakangi diri seorang calon penafsir,  tapi ada sisi lain yang jarang atau  boleh jadi tak pernah diulas secara jelas dalam literatur-litaratur terdahulu, yakni pentingnya  "kebersihan hati"  dalam diri si penafsir.Â
Yakni, dengan melepaskan, mengabaikan, menyingkirkan  prasangka-prasangka buruk/negative terhadap diri pembuat pesan.  Tidak mendahului memberikan opini berdasarkan prasangka yang dilandasi hawa nafsu.  Â
Demikianlah, kebersihan hati tadi, maksudnya  agar  si penafsir dapat  mempersiapkan dirinya  secara 'total'  guna mendapatkan kondisi yang siap  untuk menerima penjelasan dari sang pembuat pesan  (Al Bayan).Â
Mengapa mesti begitu? Bila hati sedang kotor, dikhawatirkan  nantinya tafsir yang didapat itu cenderung akan menyesatkan dirinya maupun pihak lain yang turut mendengar isi tafsir itu, bilamana ternyata  tafsir yang diberikan penafsir itu berlandaskan hawa nafsu belaka, ditafsirkan hanya demi kepentingan sesaat atau cuma sebagai siasat untuk menguatkan pendapat dalam suatu debat.
Demikian. Memahami konteks, sesungguhnya tidak hanya penting dan diperlukan dalam bidang penafsiran Al Quran, tapi dalam bidang-bidang lain juga sangatlah penting, tak terkecuali dalam banyak bidang kehidupan sehari-hari,  dalam kaitannya dengan sirkulasi komunikasi antar manusia yang memiliki akselerasi tinggi yang banyak kepentingan, yang penting dijaga agar tidak terjadi dis-komunikasi, miskomunikasi yang berakhir pada distorsi tak terkendali . Sampai disini kalian mengerti? (Heeh! Sok pake istilah intelek segala si Yai!).Â
Tapi begini, Â bahwa apa yang saya maksudkan tadi bahwa tafsir yang benar (tepat) itu adalah sangat perlu dan penting, Â itu adalah agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman, salah memahami, Â salah tanggap lalu salahlah pula dalam menyikap. Tentu ini akan menjadi perangkap yang bisa membuat orang jadi terjerebab!.
Tafsir adalah kemungkinan yang mungkin diingini si pembuat surat, silahkan menduga-duga, tapi jangan lupa bertanya pada yang punya.
B. Tafsir Puisi, Mamahami Makna Yang Terkandung Dalam Puisi
Memulai pembahasan sesuai topik sebagaimana dikemuka pada judul tulisan ini, bahwa bila kita mengadopsi kaidah tafsir yang di ulas pada bab awal tadi, Â dalam rangka memahami suatu teks suatu puisi, maka demikianlah pula mestilah kita memperhatikan konteksnya puisi itu dibuat.Â
Berkaitan dengan apa puisi itu dibuat, apa yang melatarbelakang diri si pembuat puisi hingga terciptalah puisi itu dalam bentuk gambar-gambar tulisan berbentuk hurup, diksi dan terminologi yang menyertainya.Â
Meski dalam "menterjemah" puisi ini nyatanya lebih sulit, karena merupakan keniscayaan bahwa  subjektifitas pembuat puisi sudah tentu akan mendominasi dari sebab watak egosentris sang pemuisi,  layaknya karakter seorang "penyeni"  atau seniman yang memang lebih suka "asyik sendiri",  sehingga kita  (pembaca/pendengar) terpaksa harus berkata bahwa "Ibarat memasak nasi goreng tanpa nasi, maka hanya si pembuat puisi dan Tuhanlah yang mengetahui pasti apa makna yang tersembunyi dari puisi yang dia kreasi".
Berkaitan dengan itu, maka mestilah pula kita, pembaca/pendengar, Â berusaha sedapatnya mengenali karakter si pemuisi itu sendiri. Baiklah, di sini saya menggunakaan sebutan "pemuisi", meski saya tak suka, karena lebih cenderung menyebutnya "penyair". Tapi tak apalah. Bukan itu pokok masalahnya yang lagi dibahas sekarang ini. Â Â
Kembali ke soal utama tadi, penting kita kenali "polanya" si pemuisi, dengan melihat, membandingkan dengan karya-karyanya sendiri, karya-karya lain sebelumnya atau sesudahnya, yang kadang tak bisa dihindari bawa seorang pemuisi itu akhirnya akan memiliki ciri khasnya tersendiri, gayanya sendiri, alirannya sendiri. Â
Bisa pula mengenalinya dengan cara memperhatikan  bidang-bidang  apa yang  ditekuninya, karena umumnya yang terjadi, atau bisa saja terjadi inspirasi si pemuisi itu timbul atas kejadian keseharin yang ditemuinya, sehubungan dengan pekerjaanya/kegiatan rutinnya.  Dari sana, kita bisa menemukankan karakternya, bahkan 'madzhab dan akidahnya' sang pemuisi bisa terdekteksi, sehingga kita bisa lebih mengena dalam memahami makna dari setiap pesan dalam tulisannya (puisi, sajak, syair),  yang tergambar dalam setiap diksi dan terminology yang dipergunakannya. Meski itu tak menjamin  sepenuhnya . Karena, tetap saja tafsir terjemahnya akan kembali kepada apa kata si pembuat kata. (Hhaahh!)Â
Seorang penulis atau pemuisi yang bijaksana, dalam arti ia seorang yang memikirkan kepentingan  pembaca, maka ia akan memberikan kesempatan (peluang berhasil) kepada pembaca dalam memamahmi puisinya dengan cara antara lain dengan memberikan atau menyisipkan  "clue" pada judul misalnya,  yang sengaja dimaksudkan si pemuisi untuk mengarahkan pembaca kepada tema/topik tertentu. Atau dapat pula dengan melampirkan gambar-gambar/ilustrasi yang berhubungan.Â
Begitulah. Puisi  itu adalah abstrak, sesuatu yang ghaib, hasil imajinasi.  Imajinasi sendiri merupakan atau bersumber dari pikiran dan rasa seseorang. Maka demikian, siapa yang bisa memastikan pikiran atau rasa seseorang?. Â
Dus, saya tidak sependapat dengan pernyataan bahwa yang dapat atau mampu menafsirkan puisi itu atau yang layak memberikan terjemahan atas suatu puisi itu adalah (hanya) mereka para pakar puisi, kritikus puisi, atau akademisi satra.Â
Menurut saya, kompetensi keilmuan itu tidaklah cukup. Seberapa paham pun  seseorang dengan ilmu yang dimilikinya berkenaan sastra, sehebat apapun dia sebagai praktisi sastra (pemuisi/penyair terkenal), tidaklah berarti dia mengerti benar dengan makna puisi orang lain.Â
Tidak mutlaq kepahamannya dalam bidang sastra  itu menjamin dia bisa paham dengan pesan yang terdapat dalam suatu puisi atau syair atau sajak karya orang lain. Â
Daya memahami makna, bukan soal sejauh mana kualitas keilmuan sastranya, tapi sekali lagi, ini adalah soal rasa. Â Rasa yang tak semua orang sama. Maka semua berpulang kepada yang punya (rasa). Â Demikian. Apa yang saya kemuka tadi adalah fakta. Lantas, siapa yang bisa membantah?
Tidak pula bermaksud melarang seseorang menafsirkan sebuah puisi. Memberikan tafsir atas sebuah puisi. Itu bagus dan baik, karena justru bisa saja akan menyenangkan penulisnya (penulis puisi tadi).  Bagi sang penulis, mestilah itu diperhati  sebagai bentuk perhatian yang layak diperhati.Â
Begitulah pula, penulisi puisi mestilah "merelakan atau mengikhlaskan"  ke  setiap orang untuk bebas menafsirkan puisinya sesuai pemahaman pembacanya, bahkan sesuai seleranya (pembaca), tak juga ada sanksinya.Â
Jadi, jangan pernah membatasi atau memberikan kriteria formalitas (syarat kelayakan) kepada seseorang untuk menjadi pantas menafsirkan puisi. Saya tidak sepakat soal itu.Â
Cuma perlu dicatat saja, mestilah selalu diingat bahwa  tafsir yang paling tepat adalah tafsir yang bersumber dari pelontar kata itu sendiri, si pembuat puisi tadi.Â
Dalam hal ini kita (pembaca/pendengar) mestilah tahu diri.  Sekali lagi, jangan membatasi seolah-olah hanya mereka  yang menguasai ilmu sastra saja yang boleh dan berhak menafsirkan puisi.  Kita bisa saja mengatakan puisi ini baik, puisi itu buruk, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Â
Itu adalah realitas dari sebuah subjektifitas, tergantung kepentingan yang membaca. Kalau dia merasa untung (mendapatkan nasihat/hikmat), merasa mendapat bermanfaat (menginspirasi), merasa nikmat atau sebaliknya, emang masalah boeat loe?!. Hehehehe.  Maka begitulah maksudnya sebagaimana yang sering saya bilang, "tergatung keberuntungan". Â
Sekali lagi, karena puisi adalah imajinasi, maka bebaslah orang menafsir sesuai imajinasinya masing-masing. Tapi ingat, sebaik-baik tafsir, sebenar-benar tafsir adalah tafsir yang diberikan oleh si pembuat puisi itu sendiri.
Menafsirkan puisi oleh pembaca puisi, adalah usaha pendekatan guna memahami pesan yang terkandung dalam suatu puisi, mencoba menangkap pesan apa yang hendak disampaikan si pembuat puisi.
Bukan berarti usaha ini tidak bisa, mustahil maksudnya. Tidak begitu. Puisi, ada yang mudah ada yang sulit dipahami, ada yang terang ada yang gelap (tersembunyi pesannya).Â
 Menafsirkan puisi, hati-hati,  bukan berarti tidak percaya atau takut salah, tidak. Bukan begitu maksudnya. Tapi ketika kita sampai pada puncak perdebatan atas perbedaan penafsiran pada satu objek (puisi), maka mestilah kita mengalah  dan menyerahkannya kepada yang mencipta. Bertanya misalnya, seandainya yang punya masih ada di dunia.Â
Atau, biarkanlah ia menjadi misteri, seandainya dianya sudah tiada atau ternyata yang punya tidak berkenan menjelaskannya. Ambil saja sisi baiknya. Gitu ajah koq repot!.Â
Hahahhahaha. Begitulah,  bila Allah sang Maha Pencipta menghendaki seorang mendapatkan kebaikan dari pesan yang terkandung dalam suatu puisi atau syair para orang suci sebagaimana syair-syair ulama masa lalu, menjadi semacam siraman rohani, tentang  hakikat dan hikmat,  maka itu mudah saja, seketika. Bla bla bla! Maka sang pembaca tercerahkan!.
Saya hendak mengatakan, semua  orang boleh berpuisi, semua orang sah-sah saja menafsirkan puisi. Masalah bisa atau indah berpuisi, itu tergantung pikiran dan perasaannya. Masalah tepat dan  bermanfaat tafsirannya, itulah keuntungannya.   Â
C. Kasus Yang Terjadi
Pada bab ini saya akan mencoba memaparkan beberapa kasus yang saya alami terkait praktek penafsiran puisi, terhadap beberapa puisi yang di unggah di Kompasiana. Puisi (karya) dari beberapa kompasianer, termasuk karya saya sendiri salah satunya.Â
Puisi Apriani Dinni, Zaldy Chan, Puhid Akhidiyat Septana, tak sengaja mengusik Yai untuk ditelisik. Tak bermaksud mengusik  apalagi mengobrak-abrik yang punya puisi, tapi memang puisinya bikin asyik. Pun bermuatan kritik itu adalah otokritik yang boleh jadi identik dengan teman "se-fanatik". Â
Namun, dengan beberapa pertimbangan sendiri, bab ini, berkenaan kasus puisi, penafsiran dan analisanya, yakni beberapa puisi yang coba ditafsir sebagai contoh kasus  dan  juga bab kesimpulan,  nantinya  akan saya publish,  ditulis dan akan dikemukakan pada artikel selanjutnya. Insyaa Allah.
Seorang kritikus sastra dengan semangat berapi-api memberikan penilaian dan penafsiran atas suatu puisi, padahal hanya Tuhan dan si Pembuat Puisi yang mengerti dan mengetahui apa makna tersembunyi dari puisi yang dia kreasi
Bersambung.... Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H