Memulai pembahasan sesuai topik sebagaimana dikemuka pada judul tulisan ini, bahwa bila kita mengadopsi kaidah tafsir yang di ulas pada bab awal tadi, Â dalam rangka memahami suatu teks suatu puisi, maka demikianlah pula mestilah kita memperhatikan konteksnya puisi itu dibuat.Â
Berkaitan dengan apa puisi itu dibuat, apa yang melatarbelakang diri si pembuat puisi hingga terciptalah puisi itu dalam bentuk gambar-gambar tulisan berbentuk hurup, diksi dan terminologi yang menyertainya.Â
Meski dalam "menterjemah" puisi ini nyatanya lebih sulit, karena merupakan keniscayaan bahwa  subjektifitas pembuat puisi sudah tentu akan mendominasi dari sebab watak egosentris sang pemuisi,  layaknya karakter seorang "penyeni"  atau seniman yang memang lebih suka "asyik sendiri",  sehingga kita  (pembaca/pendengar) terpaksa harus berkata bahwa "Ibarat memasak nasi goreng tanpa nasi, maka hanya si pembuat puisi dan Tuhanlah yang mengetahui pasti apa makna yang tersembunyi dari puisi yang dia kreasi".
Berkaitan dengan itu, maka mestilah pula kita, pembaca/pendengar, Â berusaha sedapatnya mengenali karakter si pemuisi itu sendiri. Baiklah, di sini saya menggunakaan sebutan "pemuisi", meski saya tak suka, karena lebih cenderung menyebutnya "penyair". Tapi tak apalah. Bukan itu pokok masalahnya yang lagi dibahas sekarang ini. Â Â
Kembali ke soal utama tadi, penting kita kenali "polanya" si pemuisi, dengan melihat, membandingkan dengan karya-karyanya sendiri, karya-karya lain sebelumnya atau sesudahnya, yang kadang tak bisa dihindari bawa seorang pemuisi itu akhirnya akan memiliki ciri khasnya tersendiri, gayanya sendiri, alirannya sendiri. Â
Bisa pula mengenalinya dengan cara memperhatikan  bidang-bidang  apa yang  ditekuninya, karena umumnya yang terjadi, atau bisa saja terjadi inspirasi si pemuisi itu timbul atas kejadian keseharin yang ditemuinya, sehubungan dengan pekerjaanya/kegiatan rutinnya.  Dari sana, kita bisa menemukankan karakternya, bahkan 'madzhab dan akidahnya' sang pemuisi bisa terdekteksi, sehingga kita bisa lebih mengena dalam memahami makna dari setiap pesan dalam tulisannya (puisi, sajak, syair),  yang tergambar dalam setiap diksi dan terminology yang dipergunakannya. Meski itu tak menjamin  sepenuhnya . Karena, tetap saja tafsir terjemahnya akan kembali kepada apa kata si pembuat kata. (Hhaahh!)Â
Seorang penulis atau pemuisi yang bijaksana, dalam arti ia seorang yang memikirkan kepentingan  pembaca, maka ia akan memberikan kesempatan (peluang berhasil) kepada pembaca dalam memamahmi puisinya dengan cara antara lain dengan memberikan atau menyisipkan  "clue" pada judul misalnya,  yang sengaja dimaksudkan si pemuisi untuk mengarahkan pembaca kepada tema/topik tertentu. Atau dapat pula dengan melampirkan gambar-gambar/ilustrasi yang berhubungan.Â
Begitulah. Puisi  itu adalah abstrak, sesuatu yang ghaib, hasil imajinasi.  Imajinasi sendiri merupakan atau bersumber dari pikiran dan rasa seseorang. Maka demikian, siapa yang bisa memastikan pikiran atau rasa seseorang?. Â
Dus, saya tidak sependapat dengan pernyataan bahwa yang dapat atau mampu menafsirkan puisi itu atau yang layak memberikan terjemahan atas suatu puisi itu adalah (hanya) mereka para pakar puisi, kritikus puisi, atau akademisi satra.Â
Menurut saya, kompetensi keilmuan itu tidaklah cukup. Seberapa paham pun  seseorang dengan ilmu yang dimilikinya berkenaan sastra, sehebat apapun dia sebagai praktisi sastra (pemuisi/penyair terkenal), tidaklah berarti dia mengerti benar dengan makna puisi orang lain.Â
Tidak mutlaq kepahamannya dalam bidang sastra  itu menjamin dia bisa paham dengan pesan yang terdapat dalam suatu puisi atau syair atau sajak karya orang lain. Â