Mohon tunggu...
Siauw Tiong Djin
Siauw Tiong Djin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Politik Indonesia

Siauw Tiong Djin adalah pemerhati politik Indonesia. Ia bermukim di Melbourne, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tan Kah Kee dan Siauw Giok Tjhan

8 Juni 2024   16:43 Diperbarui: 8 Juni 2024   19:49 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebentar lagi, pada tahun ini,  di berbagai lokasi, terutama di Tiongkok dan Singapura, akan dirayakan hari ulang tahun ke 150 Tan Kah Kee.

Banyak orang Indonesia tidak mengetahui siapa Siauw Giok Tjhan, apalagi Tan Kah Kee.

Akan tetapi di Singapura, nama Tan cukup dikenal. Paling tidak ada satu  stasiun MRT di Singapura bernama Tan Kah Kee Station.  Di Tiongkok, terutama di Xiamen, Chen Jiageng, demikian nama Tan dalam bahasa Mandarin, cukup dikenal pula. Di sana ada gedung museum khusus untuk memperingatinya kiprah dan jasanya dalam sejarah Tiongkok. Salah satu warisannya adalah Universitas Xiamen, yang ia dirikan pada 1921.  Ada pula berbagai sekolah di Singapura dan Xiamen yang ia bantu dirikan pada awal abad ke 20.

Tulisan pendek ini menguraikan pengaruh Tan Kah Kee terhadap Siauw Giok Tjhan dalam berkiprah di dalam berbagai zaman di Indonesia.

Siauw merupakan seorang tokoh Tionghoa yang berperan dalam sejarah pembangunan Bangsa Indonesia dari zaman penjajahan Belanda (1932) hingga ia wafat pada 1981.   Ia terlibat dalam berbagai bidang: pers, politik nasional (sebagai anggota legislatif maupun eksekutif), ketua Baperki -- (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan pendidikan.

Beberapa sejarawan dan Indonesianis, seperti Dan Lev, Marry Somers Heidhues, Ruth McVey dan Charles Coppel, menggambarkan Siauw sebagai seorang tokoh politik yang paling berhasil dalam memobilisasi komunitas Tionghoa untuk berpolitik.

Selain dunia dagang di mana Tan menjadi seorang legendaris, Tan dan Siauw memiliki banyak persamaan.  Kedua-duanya aktif dalam bidang pers, politik berhaluan kiri dan dalam bidang pendidikan. Keduanya giat membantu pembangunan Tiongkok.

Tan Kah Kee lahir pada 1874 di Jimei, Xiamen. Ia tiba di Singapura pada umur 16 tahun untuk membantu usaha ayahnya dalam dunia perdagangan beras. Di sana ia berkembang sebagai seorang "self-made-man", berhasil menjadi seorang pedagang yang kaya raya dalam berbagai bidang, terutama perkebunan karet, pengalengan makanan dan transportasi laut.

Pengaruhnya sebagai de-facto pemimpin Tionghoa perantauan di Asia Tenggara menonjol pada waktu Jepang menyerbu Tiongkok pada 1937. Ia diangkat sebagai ketua dari South-East Asia Federation of the China Relief Fund,  memimpin upaya pengumpulan dana dan tenaga tempur untuk membantu Republik Tiongkok dalam melawan Jepang.  Pengumpulan dana ini terorganisasi cukup baik dan melibatkan komunitas-komunitas Tionghoa di Singapura, Malaya dan Indonesia.

Di sinilah rupanya nama Tan Kah Kee diketahui untuk pertama kalinya oleh Siauw Giok Tjhan.  Ketika Jepang masuk ke Tiongkok pada 1937, Siauw sudah dua tahun berada di kota Surabaya, memimpin kantor harian Matahari di sana.

Siauw sangat terpengaruh kegiatan anti Jepang. Tulisan-tulisannya sebagai wartawan harian Matahari mengukuhkan sikap anti Jepang-nya. Ketika kegiatan pengumpulan dana yang dipimpin oleh Tan, dikoordinasikan di Surabaya, Siauw segera aktif di dalamnya.

Tan sangat berpengaruh dalam upaya pengumpulan dana membantu Tiongkok melawan Jepang di Asia Tenggara. Ia berhasil mengumpulkan $10 juta dan berhasil pula mendorong sekitar 3000 relawan dari Singapura dan Malaya untuk berangkat ke Tiongkok.  Mereka turut dalam medan pertempuran sebagai montir, teknisi, dokter, juru-rawat atau terlibat dalam pertempuran.

Pada 1937, komunitas Tionghoa di Surabaya mengirim tim medis ke Tiongkok, dipimpin oleh Dr. Go In Tjhan. Pada tahun yang sama ada pula pemuda yang berangkat ke Tiongkok untuk bertempur melawan Jepang, Siauw Giok Bie, adik Siauw. Siauw Giok Bie kemudian bergabung dengan tim Dr Go in Tjhan di Tiongkok. Mereka kembali ke Indonesia pada 1942. 

Sejak muda Siauw berkecimpung dalam tiga dunia. Dunia pendidikan barat, sebagai siswa HBS (sekolah elite Belanda), dunia Tionghoa totok yang diturunkan kakeknya, Kwan Sie Liep, seorang tokoh totok Tionghoa Siang Hwee di Surabaya dan dunia Tionghoa peranakan, karena ia tumbuh di daerah Kapasan Surabaya yang dihuni oleh komunitas Tionghoa peranakan.

Keberadaannya dalam ketiga dunia ini mempermudah Siauw untuk efektif dalam penggalangan dana yang dikumpulkan untuk dikirim ke Tiongkok. Di saat itulah Siauw berkenalan dengan para tokoh Tionghoa totok di Surabaya yang berhubungan dengan jaringan Tan Kah Kee.

Ketika Jepang masuk Singapura pada Februari 1942 dan Indonesia pada Maret 1942, kelompok anti Jepang di ke dua lokasi ini menjadi sasaran utamanya.

Tan kah Kee berhasil melarikan diri ke Indonesia, awalnya ke Sumatra, tetapi kemudian pindah ke beberapa kota di Jawa, hingga akhirnya pada 1943 ke Kota Malang dan kemudian menetap di Batu. Ia  dibantu oleh para pendukung Tionghoa totok yang pernah belajar di sekolah dan universitas yang didirikan oleh Tan Kah Kee di Xiamen.  Yang paling banyak menolongnya di Malang dan Batu adalah Lee Eng Khoon dan Lie Joeng Koen. Ke dua-duanya merupakan kenalan Siauw sejak masa penggalangan dana Tionghoa melawan Jepang.

Kehadiran Tan di Malang dan Batu bersamaan dengan kehadiran Siauw di Malang. Siauw, sebagai pemimpin redaksi harian Matahari di Kota Semarang sejak 1939, bersikap anti Jepang. Ia menjadi sasaran Jepang, sehingga  dengan keluarganya melarikan diri dari Semarang dan bersembunyi di Malang.

Siauw tetap berhubungan dengan gerakan anti Jepang di bawah tanah, baik dari kalangan pemuda Indonesia di Jawa Timur, seperti Amir Sjarifuddin dan Sudisman, maupun dari kalangan Tionghoa totok.  Melalui kelompok Tionghoa totok inilah pada 1943, Siauw, 29 tahun,  dipertemukan dengan Tan Kah Kee,  69 tahun,  yang bersembunyi di Batu, daerah pegunungan dekat Malang.

Kehadiran Tan di Jawa Timur ternyata tercium oleh Jepang. Mereka menyebar-luaskan perintah penangkapan. Bahkan ada tawaran 1 juta Gulden bagi siapa yang bisa membawa pasukan Jepang untuk menangkapnya. Bisa dibayangkan bagaimana rahasianya kehadiran Tan di Batu.  Siauw ternyata masuk dalam kelompok sangat kecil yang kerap menemuinya.

Sikap Jepang terhadap Tan yang sangat terkenal itu berbeda dengan sikap Jepang terhadap Siauw. Siauw masuk dalam daftar hitam Jepang ketika mereka masuk kota Semarang pada 1942. Tetapi militer jepang tidak mencarinya di Malang. Bahkan keaktifan Siauw dalam masyarakat di Malang bukan saja menjadi masalah bagi Jepang, tetapi malah dihargainya.  Mereka menganggap Siauw sebagai pemimpin komunitas Tionghoa di Malang.

Melalui pertemuan-pertemuan inilah Siauw memperoleh pengarahan untuk tidak terperangkap oleh kebijakan militer Jepang. Hubungan baik Siauw dengan para pemuda Indonesia yang masuk dalam PETA -- Pembela Tanah Air dan Seinandan (Barisan Pemuda Jawa) yang dibentuk Jepang,  menurut pengarahan Tan, harus tetap dijalin sebaik mungkin.

Akan tetapi, menurut Tan, jangan sampai, barisan Tionghoa yang juga dibentuk oleh Jepang, Kebotai, nantinya diadu domba untuk berbaku hantam.

Ketika Kebotai dibentuk oleh Jepang di Malang, pada 1943, Jepang memilih Siauw sebagai komandannya. Kebotai merupakan para-militer Tionghoa. Para pemuda Tionghoa di Malang yang kerap berkumpul dengan Siauw, masuk di dalamnya.

Tan memiliki keyakinan bahwa Jepang pasti akan kalah dalam Perang Dunia ke dua.  Dan Indonesia akan memiliki kesempatan untuk merdeka. Keyakinan ini mempengaruhi Siauw untuk mempersiapkan para pemuda Tionghoa Malang untuk bersikap militan, yaitu tidak menjadi penonton, tetapi ikut berperan dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan.

inilah yang menyebabkan Siauw membentuk Angkatan Muda Tionghoa, dipimpin oleh Siauw Giok Bie dan Palang Biru, dipimpin oleh Tan Sie Liep, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada Agustus 1945, tidak lama setelah Jepang menyerah.  

Setelah pengaruh Jepang hilang di Indonesia, keberadaan Tan Kah Kee tidak perlu disembunyikan lagi. Pada akhir 1945, pemerintah Inggris memerlukan menjemput Tan dari Jakarta, dengan pesawat khusus, sebagai tanda penghormatannya terhadap jasa Tan dalam upaya melawan Jepang.  

Sekembalinya di Singapura, Tan segera terjun kembali dalam kegiatan dagang dan filantropisnya. Ia membangun dan membantu perkembangan beberapa sekolah.  Pada 1946, ia mengunjungi Tiongkok dan mengamati sendiri perkembangan politik di Tiongkok. Ia kunjungi Chiang Kaishek di Chongqing dan Mao di Yenan.

Siauw mengikuti arahan Tan. Ia menolak untuk mempersenjatai Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru. Ia segera berhubungan dengan pimpinan-pimpinan laskar pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Sumarsono dan Sudisman, untuk mencegah timbulnya pertikaian bersenjata antara barisan pemuda Tionghoa dan Indonesia.

Angkatan Muda Tionghoa berperan untuk menolong pengungsi Tionghoa dan melawan arus anti Tionghoa yang dianggap dekat dengan Belanda. Palang Biru ditugaskan untuk mengumpulkan obat dan membantu perawatan medis di medan pertempuran.

Pada 10 November 1945, yang kemudian dikenal sebagai hari pahlawan, Siauw dan para kawan yang bergabung dalam Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru turut berada di dalam medan pertempuran.

Setelah kemerdekaan, peran Siauw di zaman penjajahan dan di Malang, mengantar Siauw ke dalam kancah politik nasional. Walaupun berasal dari komunitas Tionghoa, Siauw diterima sebagai politikus berpengarug oleh para pejuang nasionalis lainnya. Siauw masuk ke Partai Sosialis dan menjadi anggota Polit Biro-nya. Ia diangkat menjadi anggota KNIP -- Komite nasional Indonesia Pusat pada awal 1946, dan menjadi anggota Badan Pekerja KNIP pada tahun yang sama. Badan Pekerja KNIP merupakan parlemen Indonesia di awal kemerdekaan.

Pertemuan Tan dan Siauw di Batu tentu menyinggung pandangan Tan tentang Tiongkok. Tan berkali-kali ke Tiongkok dan mengenal dekat kepribadian Mao Zedong dan Chiang Kaishek. Tan yang kecewa dengan kepemimpinan Chiang dan mengagumi kepemimpinan Mao dalam keseriusan bertempur melawan Jepang, pasti mengutarakannya ke Siauw.

Tan dan Siauw memiliki langgam kerja yang serupa. Kedua-duanya mementingkan kehadiran surat kabar dalam perjuangan politik. Pada 1923 Tan mendirikan Nanyang Siang Pau di Sinaapura. Tidak lama setelah Tan kembali di Singapura dari persembunyian di Malang, ia mendirikan Nan Chiao Jit poh.

Siauw bekerja sebagai wartawan di Matahari sejak 1933, dan menjadi pemimpin redaksi setelah Kwee Hing Tjiat meninggal pada 1939. Matahari ditutup oleh Jepang semasa pendudukannya di Indonesia. Setelah kemerdekaan, pada awal 1946, Siauw mendirikan dua majalah mingguan di Malang,  Pemoeda dan Liberty. Kedua-duanya merupakan majalah politik yang memberitakan perkembangan politik di Indonesia.

Tan dan Siauw memiliki keyakinan yang sama tentang perkembangan politik di Tiongkok. Mereka berkeyakinan bahwa Mao dari Yenan akan mengalahkan rezim Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kaishek di Chongqing dan pada akhirnya akan menjadi pemimpin Tiongkok. Keduanya bersepakat untuk mendukung Mao, melalui tulisan-tulisannya.

Keduanya-pun terinspirasi oleh Edgar Snow yang menulis buku berjudul The Red Star Over China, terbit pada 1937.

Baik Nan Chiao Jit Poh di Singapura maupun Pemoeda dan Liberty menyuarakan sikap memuji dan mendukung Mao di Tiongkok. Bahkan buku Red Star Over China diterjemahkan oleh Siauw dan secara berkala sebagian isi buku itu terbit dalam majalah Pemoeda.

Tan dan Siauw berjumpa lagi di Singapura di awal 1947.  Indonesia mengirim delegasi yang cukup besar ke India untuk menghadiri Inter Asian Relations Conference, yang diselenggarakan pada 23 Maret - 2 April 1947.  

Delegasi Indonesia dibagi dua. Satu dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan dan yang lain dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo. Delegasi Siauw jauh lebih besar, terdiri dari belasan tokoh politik nasional, di antaranya Djohan Sjaroesah,  tiba di India melalui Singapura. Pulangnya-pun melalui Singapura. Dana untuk perjalanan ternyata terbatas.  Tan menerima Siauw sebagai kawan karib-nya.  Tanpa diminta ia memberi bantuan dana, sehingga delegasi bisa mengikuti konperensi di India dan kembali ke Indonesia dengan selamat, menghindari blokade Belanda.

Siauw menjadi salah satu pembicara di konperensi tersebut. Ia membantah tuduhan wakil Tiongkok, George Yeh, yang menyatakan bahwa pemerintah RI tidak memiliki kemampuan untuk melindungi keselamatan Tionghoa yang kerap menjadi korban kerusuhan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Siauw menegaskan bahwa kerusuhan merupakan taktik Belanda untuk mencemarkan nama RI di dunia internasional dan pemerintah Indonesia mampu menjaga keselamatan Tionghoa di Indonesia.

Di dalam perjalanan kembali ke Indonesia, delegasi Siauw tersangkut di Singapura.  Sekitar April 1947, Tan mengundang Siauw untuk berbicara di sebuah pertemuan dengan komunitas Tionghoa di Singapura untuk mengecam Belanda atas kebijakan yang merugikan Tionghoa di Indonesia.

Ketika Amir Sjarifuddin menjadi perdana menteri pada Juli 1947, Siauw diangkat menjadi menteri negara dengan tugas khusus menyelesaikan masalah minoritas.  

Hubungan Siauw dan Tan ternyata tidak terhenti di situ. Setelah Tan meninggalkan Singapura pada 1950 untuk menetap di Tiongkok, Siauw tetap berhubungan dengan Tan.

Pada tahun 1957, Tan menanggalkan kewarganegaraan Inggris yang ia perolehnya  ketika ia menetap di Singapura. Di Tiongkok, Tan mengerahkan dananya untuk pembangunan proyek-proyek pembangunan di daerah Xiamen.

Siauw berkecimpung dalam kancah politik nasional sejak 1945. Ia menjadi anggota parlemen, bahkan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif,  yang aktif dalam berbagai bidang HAM, Demokrasi, kewarganegaraan dan menggalang kekuatan melawan rasisme terhadap Tionghoa.

Pada 1954, bersama beberapa tokoh Tionghoa lainnya, Siauw mendirikan Baperki -- Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, sebuah organisasi massa Tionghoa yang berhasil memobilisasi komunitas Tionghoa untuk berpolitik, menuntut persamaan hak dan melawan berbagai kebijakan rasisme dengan sikap yang membangun.

Diskusi-diskusi dengan Tan rupanya memperkuat keyakinan Siauw bahwa dunia pendidikan, selain merupakan upaya melawan rasisme dalam bidang pendidikan , tetapi merupakan salah satu fondasi pendidikan politik yang paling ampuh.

Angkatan Muda Tionghoa di Malang mendirikan setingkat SMA di Malang,  untuk menampung para siswa Tionghoa yang putus sekolah di zaman pendudukan Jepang.  Ada ratusan siswa yang tertolong.  Sekolah ini berlangsung hingga awal 1950-an.

Salah satu kegiatan utama Baperki sejak 1958 berfokus pada dunia pendidikan, menampung lebih dari seratus ribu siswa Tionghoa, dari tingkat taman kanak-kanak hingga universitas, yang tidak bisa menerima pendidikan karena  kebijakan rasisme terhadap Tionghoa.  Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki yang dipimpin Siauw, memiliki ratusan sekolah dan beberapa kampus universitas Baperki di berbagai kota besar di Indonesia.

Dalam dunia pers, Tan dan Siauw memiliki kesamaan.  Kedua-duanya aktif di bidang ini setelah Perang Dunia II berakhir.

Selain Mingguan Pemoeda (1947-1947)  dan Liberty (1946 -- 1951)  di awal kemerdekaan, Siauw mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi Harian Rakyat pada 1950 dan kemudian dijualnya ke PKI pada 1953, harian Republik (1955-1960) dan Mingguan Sunday Courier (1951-1960). Ia pun aktif dalam Serikat Pemilik Surat kabar dan kerap menulis tajuk berita untuk berbagai surat kabar nasional yang dimiliki para pedagang Tionghoa, di antaranya Sin Min di Semarang dan Warta Bhakti di Jakarta.

Pada awal 1960, Siauw mencari lahan untuk Universitas Baperki di Jakarta. Tan Kah Kee menawarkan lahan yang dimiliki kelompoknya,  di kawasan yang kini dikenal sebagai Pluit, cuma-cuma.  Tawaran tersebut terpaksa ditolak Siauw karena pada waktu itu lahan tersebut merupakan rawa. Ongkos pembangunan gedung dianggap terlalu tinggi. Siauw memilih tawaran tanah gratis dari gubernur Jakarta, Dr. Sumarno di daerah Grogol.

Pada 12 Agustus 1961, Tan meninggal dunia di Tiongkok.  Siauw meninggal dunia pada 20 November 1981 di Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun