Nation-Building merupakan proses terpenting dalam mengkonsolidasi kemerdekaan dan keutuhan NKRI.  Republik Indonesia yang tidak ber-bangsa tentunya bukan negara.  Yang dimaksud dengan bangsa di sini bukanlah race -- karena dunia tidak mengenal adanya Indonesian Race -- yang ada hanyalah Indonesian Nation -- Bangsa Indonesia -- yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa yang  merupakan salah satu suku besar di Indonesia.
Yang dimaksud dengan Nation-Building di sini adalah pembangunan nasion Indonesia yang bersandar atas Bhinneka Tunggal Ika -- yaitu pluralisme, citizenship-based-nation yang menentang rasisme dan terwujudnya nasion Indonesia yang makmur dan demokratik.
Indonesia pernah memiliki sebuah organisasi massa yang menitik-beratkan Nation-Building dalam program politiknya. Organisasi yang dimaksud adalah Baperki -- Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.Â
Â
Ia didirikan tepat 68 tahun yang lalu, pada 13 Maret 1954. Â Bung Karno, Presiden pertama Indonesia, menyatakan bahwa ia mendukung Baperki karena menurutnya, organisasi ini aktif dalam Nation-Building.Â
Â
Sebentar lagi, kita akan merayakan pula pendirian sebuah organisasi yang turut berperan dalam sejarah Indonesia, yaitu Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Ia didirikan pada 17 Maret 1900.
Kedua organisasi ini, walaupun didirkan oleh tokoh-tokoh Tionghoa, berperan dalam proses pembangunan bangsa (nasion) Indonesia.Â
Ironisnya, walaupun Indonesia sudah merdeka lebih dari 76 tahun, pengertian nasion Indonesia masih tetap kabur. Banyak tokoh politik di zaman now, mencanangkan pluralisme. Akan tetapi tindak tanduknya justru bertentangan dengan esensi Bhinneka Tunggal Ika dan Nation-Building yang diidam-idami para founding fathers NKRI. Â
Â
Makalah ini ditulis dalam rangka memperingati HUT ke -122 tahun THHK dan ke - 68 tahun Baperki, Â untuk menganalisis sumbangsih dua organisasi yang didirikan dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh Tionghoa dalam proses Nation-Building.
Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK)
Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) -- Rumah Perkumpulan Tionghoa -- didirikan pada 17 Maret 1900 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia  (Jakarta).  Tujuan utama para pendirinya adalah mendorong Tionghoa yang bermukim di kawasan Hindia Belanda (nama Indonesia ketika ia dijajah oleh Belanda) untuk mengenal identitas-nya.  Mereka menginginkan komunitas Tionghoa yang sudah bergenerasi hidup di Hindia Belanda mengenal kebudayaan Tionghoa sehingga mereka bisa bersatu sebagai satu kelompok komunitas yang dihormati oleh penjajah Belanda.  Proses pengenalan kebudayaan atau pencarian identitas yang ditempuh oleh para pendiri THHK adalah penyebar-luasan ajaran Kong Hu Cu, ajaran atau "agama" yang dijunjung oleh komunitas Tionghoa baik di dalam maupun di luar Tiongkok pada zaman itu.Â
Pengertian bangsa Tionghoa  berkaitan dengan Chinese Race, karena memang pada waktu itu, persoalan negara dan bangsa belum jelas. Pembentukan THHK mendahului pembentukan Republik Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen.
Lahirnya THHK membuahkan beberapa sikap penting dalam sejarah Indonesia.Â
Para pendiri THHK memutuskan untuk menyebar-luaskan ajaran Kong Hu Cu ini melalui jalur pendidikan. Â Berdirilah sekolah-sekolah THHK di berbagai kota besar di Hindia Belanda. Â Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Guo Yu -- Mandarin . Guru-guru lulusan Tiongkok dan berbagai tempat lainnya di "import" untuk mengajar dengan program pendidikan modern yang secara keseluruhan bersandar pada apa yang berkembang di Tiongkok. Â
Upaya THHK disambut oleh komunitas Tionghoa di Hindia Belanda, baik mereka yang berasal dari kelompok peranakan (yang sudah bergenerasi di Hindia Belanda) maupun yang berasal dari kelompok totok (yang lahir di Tiongkok). Â Sekolah-sekolah THHK berkembang pesat. Â Komunitas Tionghoa yang berhubungan dengan THHK terdorong untuk berkiblat ke Tiongkok dan mengenal, bahkan mendukung, nasionalisme Tiongkok.
Perkembangan ini  mengkhawatirkan pemerintahan Belanda.  Penjajah Belanda terdorong untuk membuka sekolah-sekolah Belanda khusus untuk komunitas Tionghoa pada 1908.  Tujuannya adalah menarik sebanyak mungkin siswa Tionghoa supaya pengaruh nasionalisme Tiongkok bisa berkurang.
THHK berhasil menyebabkan komunitas Tionghoa, terutama generasi mudanya, mengenal ajaran Kong Hu Cu dan kebudayaan Tionghoa. Â Walaupun ini tidak berubah menjadi keinginan untuk "kembali" ke Tiongkok, oleh banyak sejarawan, dampaknya, dinyatakan mendorong kebangkitan nasionalisme Indonesia pada 1908.
Selain penemuan identitas Tionghoa dan ke-Tionghoaan ala Hindia Belanda, THHK  melahirkan pula sebuah istilah yang memiliki makna penting.  THHK merupakan organisasi pertama yang memperkenalkan dan menyebar-luaskan penggunaan istilah Tionghoa (menurut dialek Hokkian) atau Zhong Hua (menurut dialek Mandarin), menggantikan istilah "Cina".  Para pejuang revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Dr Sun Yat Sen mengukuhkan istilah Tionghoa. Republik yang ia dirikan pada 1911 dinamakan Zhong Hua Ming Guo  (dalam Mandarin) atau Tiong Hoa Bing Kok (dalam Hokkian). Tionghoa dijadikan istialh perjuangan.
Para pejuang nasionalis Indonesia-pun menganut istilah "Tionghoa" sebagai istilah perjuangan.  Bagi mereka, istilah "Tionghoa" memiliki makna yang sama dengan istilah "Indonesia" yang dijadikan dasar pemersatu perjuangan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada  1928.Â
Sejarah menunjukkan bahwa istilah "Tionghoa" digunakan oleh komunitas Indonesia dan  pemerintah RI, hingga  pemerintah Suharto mengeluarkan kebijakan pada tahun 1967 untuk menggantinya dengan istilah "Cina", sebuah istilah yang mengandung konotasi penghinaan terhadap Tionghoa.
Pengaruh THHK berangsur berkurang pada tahun 1930-an, karena program pendidikannya dianggap kurang sesuai dengan kebutuhan komunitas Tionghoa di zaman penjajahan. Â Perannya bisa dikatakan hilang setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945.Â
Walaupun demikian, ia telah meninggalkan sebuah warisan sejarah, yaitu identitas ke-Tionghoaan Indonesia, yang oleh sebuah organisasi massa  di zaman yang berbeda, dianggap sebagai bagian penting dari nasion Indonesia.  Organisasi massa yang dimaksud adalah Baperki dan tidak bisa disangkal bahwa "akarnya" adalah THHK.Â
Secara simbolik, hubungan THHK dan Baperki tercatat dalam sejarah. Â Sekolah pertama THHK yang didirikan pada 1901 di Batavia, merupakan salah satu sekolah Baperki terbesar di Jakarta, hingga ia dijadikan sekolah Negeri pada 1966.
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa pada 13 Maret 1954.  Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki bukan lagi identitas ke-Tionghoaan.  Yang mereka hadapi adalah rasisme di berbagai bidang .  Ini lalu membangkitkan perjuangan mempercepat Nation-Building dan  menentang rasisme.
Perbedaan fundamental antara Baperki dan THHK terletak pada program kerjanya. Â THHK, seperti banyak organisasi Tionghoa lainnya, menitikberatkan program pendidikan dan sosial. Sedangkan Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.
Baperki menekankan bahwa dengan terbentuknya NKRI, terwujud pula bangsa atau nasion Indonesia.  Baperki mempertegas bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beraneka ragam kebudayaan serta adat istiadat-nya.  Bersandar atas Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu), Baperki mendorong diterimanya komunitas  yang ke-Tionghoaannya terwujud dan berkembang di Indonesia  sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia.
Baperki mengembangkan prinsip ini dengan paham integrasi. Mereka menganjurkan Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya dalam semua tingkat kegiatan Indonesia, sehingga aspirasi rakyat Indonesia menjadi aspirasi  Tionghoa.  Mereka mempertegas bahwa untuk ini, suku Tionghoa, sama halnya dengan para suku lainnya, tidak perlu menanggalkan ke-Tionghoaannya, secara  biologis maupun kebudayaan.  Persatuan tidak berarti semua golongan yang ada dipaksa untuk meleburkan dirinya ke dalam tubuh pihak mayoritas.Â
Baperki menentang paham assimilasi yang berkembang pada awal tahun 1960-an.  Pihak yang melahirkan konsep assimilasi menghendaki komunitas Tionghoa menanggalkan atau mencampakkan ciri-ciri ke-Tionghoaan sehingga di suatu saat, mereka berargumentasi, komunitas  Tionghoa "lenyap" dari permukaan bumi Indonesia.
Proses membangun bangsa -- Nation Building, menurut Baperki, harus dikaitkan dengan kewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Indonesia-lah yang memberi makna hukum keberadaan nasion Indonesia. Â Baperki berargumentasi, rasisme terhadap Tionghoa tidak bisa dilegitimasikan karena Kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal asal usul keturunan, agama dan status sosial-nya.
Baperki juga berpendapat bahwa nasion Indonesia hanya bisa dikonsolidasi perwujudannya bilamana ia berkembang sebagai nasion yang makmur.  Baperki mendesak pemerintah untuk mendukung perdagangan dan produksi domestik, tanpa mendiskriminasikan siapa pemilik modal domestik.  Baperki menentang kebijakan pemerintah yang menindas atau membatasi  pengembangan modal milik pedagang-pedagang Tionghoa.
Baperki belajar dari THHK. Â Kegiatan sosial dikaitkan dengan usaha dalam dunia pendidikan. Â Pada 1958 Baperki mendirikan dan menjalankan ratusan sekolah di berbagai kota besar. Â Ini dilanjutkan dengan pendirian universitas Baperki dengan kampus-kampus di Jakarta, Surabaya, Semarang, Malang, Solo dan Medan.Â
Akan tetapi program pendidikan Baperki berbeda dengan apa yang dijalankan THHK.  THHK bersandar atas program pendidikan Tiongkok, sedangkan Baperki menitikberatkan kurikulum nasional.  Dan, Baperki mendorong pendidikan politik di sekolah-sekolahnya.  Para siswa dan mahasiswa Baperki didorong untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik  nasional untuk mempercepat proses Nation-Building. Baperki tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai organisasi massa Tionghoa yang paling berhasil dalam memobilisasi komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya.
Â
Kegigihan Baperki dalam memperjuangkan proses Nation-Building ini menyebabkan Presiden Soekarno ber-ulang kali menyatakan bahwa Baperki adalah organisasi massa yang patut dijadikan teladan.
Jendral Suharto berhasil menghancurkan kekuasaan Sukarno pada 1966. Â Setelah itu, PKI dan semua organisasi yang dianggap berhaluan kiri, termasuk Baperki, dibubarkan.
Walaupun banyak tokoh pemerintah Suharto mencanangkan slogan persatuan dan kesatuan bangsa, proses Nation-Building yang dengan gigih diperjuangkan oleh Baperki secara sistimatis dihentikan.  Bahkan perkataan Nation- Building lenyap dari perbendaharaan kata politik.
Prospek Masa Depan
Perkembangan politik belakangan ini cukup menyejukkan. Presiden Jokowi dan banyak tokoh pemerintahan menunjukkan bahwa konsepsi suku Tionghoa sudah diterima resmi opleh pemerintah. Â
Perayaan tahun baru Imlek di kota-kota besar Indonesia berjalan lancar. Â Rakyat Indonesia bisa menikmati pertunjukan Liang Liong dan Barongsai yang dilakukan secara besar-besaran. Yang mencolok, perayaan yang mengikut-sertakan partisipasi para suku non Tionghoa, Â berlangsung tanpa kerusuhan. Â
Ini menunjukkan bahwa Rakyat Indonesia memiliki toleransi terhadap adanya perbedaan dan menghargai adat istiadat serta kebiasaan yang dianut oleh para suku.
Apakah ini berarti proses Nation-Building sudah mencapai hasil yang diinginkan? Ternyata tidak.
Narasi banyak tokoh politik yang berpengaruh di berbagai pemilihan umum menunjukkan bahwa rasisme terhadap Tionghoa dan anti non-Islam, kerap dipergunakan untuk menyulut kemarahan Rakyat demi kepentingan politik. Jelas ada upaya untuk menjadikan Tionghoa sasaran kemarahan Rakyat pada waktu yang ditentukan, terutama menjelang Pemilu. Ini mengkhawatirkan dan sekaligus berbahaya.
Arus yang bertentangan dengan Nation-Building harus kita lawan Bersama. Â Kegagalan melawannya akan membuahkan kehancuran NKRI.
THHK, Baperki dan Nation-Building
 Oleh: Siauw Tiong Djin  Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H